makalah ilmu fiqh (mahkum alaih)
OLEH:
MAULIDA MAULAYA HUBBAH
PRODI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS HUKUM ISLAM
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr. wb.
Membahas hukum islam, (syara’), norma
hukum dasar yang ditetapkan Allah SWT kepada nabi Muhammad sebagai rasulnya
yang wajib diikuti oleh setiap orang islam berdasarkan keimanannya. Hukum
syara’ sangatlah penting untuk dipelajari terlebih kaum mukallaf.
seorang
mukallaf sebagai subjek hukum, atau
yang disebut Mahkum Alaih memiliki syarat-syarat, ketentuan, dan pembagian
tertentu sehingga cakap dan pantas disebut sebagai seorang mukallah. Tidak semua kaum muslim dapat ditimpali sebuah hukum. Berdasarkan
hal tersebut, penulis
berinisiatif untuk mengupasnya secara sederhana.
Kemudian
kami sampaikan Terima kasih yang begitu sangat kepada Bapak Noor Harisudin, M.Fil.I, mata kuliah Pengantar Studi Islam Fakultas Syariah Institut Agama Islam
Negeri Jember yang
telah membimbing dan mengajari penulis hingga saat ini.
Demikian pengantar yang dapat kami sampaikan. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat, Akhir kata,
kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.
Wassalamu’alaikum
wr.wb…....
2 – Oktober - 2016
Penulis,
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Mahkum Alaih
2.2 Pengertian Taklif
2.3 Pembagian Ahliyya
2.3 Pembagian Ahliyya
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berawal
dari sebuah acuan yang berdasarkan asas yang jelas dan kongret dalam memutuskan
suatu tindakan, disinilah sebuah hukum dijadikan sebuah landasan. Dalam islam,
hukum disandarkan pada al-qur’an dan al-hadist, serta pemikiran para ulama’.
Ada
beberapa pembahasan yang wajib dipelajari mengenai hukum Islam, diantaranya
ialah Subjek Hukum, atau pelaku hukum tersebut (Mahkum Alaih), sebagai seorang
muslim, wajib bagi kita tau dimana hukum-hukum yang telah disahkan telah
berlaku pada diri kita.
Banyak
dari kaum muslim, masih belum memahami dalam keadaan bagaimana mereka
dijatuhkan sebuah hukum, sebagai manusia yang dituntut untuk terus menggali
ilmu, maka wajib hukumnya bagi kita untuk mempelajarinya. Untuk itulah
penulis tertarik untuk membahas seulas mengenai pembahasan mahkum alaih dalam
pandangan fiqih yang akan kita bahas berikutnya.
1.2. Rumusan Masalah.
Berdasarkan hal-hal yang diuraikan di
atas maka permasalahan yang dirumuskan dalam permasalahan ini adalah sebagai
berikut:
1.
Apa itu mahkum alaih ?
2.
Bagaimana hubungan mukallaf dan taklif?
3.
Apa saja pembagian Ahliyya?
Bab II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Mahkum Alaih
Menurut para ahli usul fiqih,
mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah (materi
atau isi sebuah pembicaraan, yang mendengar dan berbicara, yang berseru dan
menyeru atau yang penulis dan pembaca) maka secara singkat mahkum alaih bisa
disebut subyek hukum yang dalam ilmu fiqih disebut mukallaf.
Sedang menurut etimologi, mukallaf
sendiri bermakna yang dibebani hukum, ialah orang-orang yang telah mampu
bertindak hukum, baik larangan atau perintah Allah. Mukallaf sudah mampu
mempertanggung jawabkan apa yang mereka perbuat.
Apabila seorang mukallaf telah
melakukan kewajibannya maka ia akan mendapatkan pahala atau imbalan bila
mengerjakan perintah Allah, begitu pula sebaliknya apabila mengerjakan
laranganNya, maka ia akan mendapatkan siksa atau resiko atas perbuatan yang ia
lakukan, disamping tidak memenuhi kewajibannya.
2.2. Hubungan
Mukallaf dan Taklif
pada dasarnya seorang mukallaf yang dianggap layak dibebani hukum
(taklif) memiliki ketentuan-ketentun serta syarat-syarat yang wajib terpenuhi,
karena sifat taklif yang berkekuatan mengatur serta “memaksa” mengenai
perbuatan manusia yang berlandaskan hukum syara’. Dengan artian, taklif sendiri
ialah tuntutan atau melimpahkan beban kepada pihak yang menerimanya, yaitu
mukallaf.
2.2.1
Dasar Taklif
Dasar taklif terdapat dalam sebuah
Hadits Rasulullah SAW, sebagai berikut:
رُفِعَ القَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ : عَنِ
النَّا ئِمِ حَتَّى يَسْتيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِّيِّ حتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ
المَجْنُوْنِ حَتَّى يُفِيْقَ
Artinya: Diangkatnya
pembebanan hukum dari tiga (jenis orang): orang tidur sampai ia bangun, anak
kecil sampai ia balig, dan orang gila sampai ia sembuh. (H.R. Bukhori, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu
Majah, dan Daruquthni dari Aisyah dan Ali bin Abi Thalib)
Dari hadits tersebut dapat dipahami bahwa seseorang belum
dikenakan taklif (pembebanan hukum) sebelum ia cakap untuk
bertindak hukum. Para ulama ushul fiqih mengemukakan bahwa seseorang baru bisa
dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya.
Dengan demikian, orang yang tidak atau belum berakal
seperti orang gila dan anak kecil tidak dikenakan taklif. Karena mereka tidak atau belum berakal, dengan
itu mereka dianggap tidak bisa memahami taklif dan syara’. Termasuk ke dalam hal ini adalah
orang yang dalam keadaan tidur, mabuk dan lupa.
2.2.2
Syarat-syarat Taklif
Para ulama ushul fiqih menyatakan bahwa seseorang itu dikenai
hukum apabila orang tersebut memenuhi dua syarat, yaitu:
a. Orang itu telah mampu
memahami khitab syari’ (tuntutan syara’) yang terkandung dalam
Al-Qur’an dan sunnah, baik secara langsung maupun melalui orang lain, karena
seseorang yang melakukan suatu pekerjaan disuruh, atau dilarang, tergantung pada
pemahaman terhadap suruhan dan larangan yang menjadi khitab syari’.
Dengan demikian, orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk memahami khitab
syari’ tidak mungkin untuk melaksanakan suatu taklif.
Kemampuan untuk
memahami taklif tersebut hanya bisa dicapai dengan akal manusia,
karena hanya dengan akal kita bisa mengetahui khitab syari' itu
harus dikerjakan atau ditinggalkan.
b. Seseorang tersebut harus cakap dalam
bertindak hukum, yang dalam istilah ushul fiqih disebut dengan ahliyyah.
Apabila seseorang belum atau tidak cakap dalam bertindak hukum, maka seluruh
perbuatan yang ia lakukan belum atau tidak bisa dipertanggung jawabkan. Seperti
anak kecil yang belum baligh, gila
dan seseorang yang pailit.
2.3. Pengertian
Ahliyya
Secara etimologi ahliyyah berarti kecakapan
menangani suatu urusan. Misalnya, jika seseorang menempati suatu jabatan,
berarti dia mempunyai kemampuan dalam hal itu. Sedangkan secara terminologi,
para ulama ushul fiqih mendefinisikan, bahwa yang dikatakan ahliyyah,
adalah:
صِفَةٌ يُقَدِّرُهَا الشَّارِعُ فِى الشَّخْصٍ تَجْعَلُهُ مَحَلاً
صَالِحَا لِحِطَابٍ تَشْرِيْعِيٍ
Artinya:
Suatu sifat yang dimiliki seseorang, yang dijadikan ukuran oleh Syari’ untuk
menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’.
Berdasarkan devinisi
diatas, dapat disimpulkan bahwa ahliyyah adalah sifat yang
menunjukkan seseorang itu telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh
tindakannya dapat dinilai oleh syara’.
2.3.1 Macam-macam Ahliyyah
Ulama ushul fiqih
membagi ahliyyah menjadi dua bentuk, yaitu:
a.
Ahliyyah wujub
Adalah sifat kecakapan seseorang untuk menerima
hak-hak yang menjadi haknya, tetapi belum cakap untuk dibebani seluruh
kewajiban. Sehingga orang yang dalam ahliyyah wujub belum
cakap untuk dibebani kewajiban-kewajiban, seperti shalat, puasa, dan haji.
Sekalipun mereka mengerjakan amalan-amalan tersebut, maka statusnya bukanlah
sebagai suatu kewajiban, tetapi sekedar pendidikan.
Misalnya, seorang bayi yang ditinggal mati oleh ayahnya, maka ia
berhak atas harta warisan dari ayahnya. Akan tetapi, seluruh harta yang
dimiliki oleh orang yang pada taraf ahliyyah wujub tidak boleh
mengelola harta itu sendiri, tetapi harus dikelola oleh wali, karena mereka
dianggap belum cakap.
Para ulama ushul fiqih membagi tingkatan ahliyyah
wujub dalam dua tingkatan, yaitu:
1) Ahliyyah
al-Wujub al-Naqishah
Adalah kecakapan seseorang untuk menerima hak,
tetapi tidak menerima kewajiban, atau kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi
tidak pantas menerima hak.
Contoh kecakapan untuk menerima hak, tetapi
tidak untuk menerima kewajiban adalah bayi yang ada dalam kandungan ibunya.
Bayi atau janin itu telah berhak menerima hak kebendaan seperti warisan dan
wasiat, meskipun ia belum lahir. Realisasi dari hak itu berlaku setelah
ternyata bayi itu lahir dalam keadaan hidup.
Contoh kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi
tidak cakap menerima hak adalah orang yang mati tetapi masih meninggalkan
hutang. Dengan kematiannya itu ia tidak akan mendapatkan hak apa-apa lagi,
karena hak hanyalah untuk manusia yang hidup. Tetapi orang yang mati tersebut
akan tetap dikenai kewajiban untuk membayar hutangnya. Kewajiban tersebut dapat
dilakukan oleh orang lain, dalam artian ahli warisnya lah yang harus membayar
hutang tersebut.
2) Ahliyyah
al-Wujub al-Kamilah
Adalah kecakapan seseorang untuk dikenai
kewajiban dan juga untuk menerima hak. Adanya sifat sempurna karena kepantasan
berlaku untuk keduanya sekaligus. Kecakapan ini berlaku semenjak ia lahir
sampai ia dinyatakan balig dan berakal, dan sampai ia sekarat selama ia masih
bernafas.
Contoh dalam hal ini adalah anak yang baru
lahir, disamping ia berhak secara pasti menerima warisan dari orangtua atau
kerabatnya, ia juga telah dikenai kewajiban untuk membayar zakat fitrah atau
zakat harta yang menurut sebagian pendapat ulama bahwa pelaksanaannya dilakukan
oleh orangtua atau walinya.
b. Ahliyyah al-‘Ada
Adalah sifat kecakapan bertindak hukum seseorang
yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya,
baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif. Jika ia mengerjakan
perbuatan yang dituntut syara’, maka ia dianggap telah memenuhi kewajiban,
sehingga ia diberi pahala. Dan apabila ia melanggar tuntutan syara’, maka ia
berdosa.
Kecakapan berbuat hukum tersebut terdiri dari
dua tingkatan. Setiap tingkat ini dikaitkan kepada batas umur seorang manusia.
Yaitu sebagai berikut:
1) ‘Adim
al-Ahliyyah
Atau tidak cakap sama sekali, yaitu seseorang semenjak lahir
sampai mencapai umur tamyiz sekitar umur 7 tahun. Dalam batas
umur ini, seseorang belum sempurna akalnya. Sedangkan taklif itu
dikaitkan dengan sifat berakal. Karena itu seseorang dalam batas umur ini belum
disebut mukallaf atau belum dituntut melaksanakan hukum. Perbuatan dan
ucapannya pun tidak mempunyai akibat hukum. Karena itu transaksi yang
dilakukannya dinyatakan tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum.
2) Ahliyyah
al-‘Ada al-Naqishah (cakap berbuat hukum secara lemah)
Adalah seseorang yang telah mencapai umur tamyiz sampai
batas dewasa. Maksud lemah dalam bentuk ini, karena akalnya memang masih lemah
dan belum sempurna. Sedangkan taklif berlaku pada akal yang
sempurna. Seseorang yang dalam batas umur ini hubungannya dengan hukum, bahwa
sebagian tindakannya telah dikenai hukum dan sebagian lagi tidak dikenai hukum.
Sehingga ucapan dan perbuatannya terbagi menjadi tiga tingkatan dan setiap
tingkat mempunyai akibat hukum tersendiri, yaitu:
a.
Tindakan yang semata-mata menguntungkan
kepadanya. Misalnya, menerima pemberian (hibah) dan wasiat. Semua perbuatan
dalam bentuk ini, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan adalah sah dan
terlaksana tanpa memerlukan persetujuan wali.
b.
Tindakan yang semata-mata merugikannya atau
mengurangi hak-hak yang ada padanya. Misalnya, pemberian yang dilakukannya,
baik dalam bentuk hibah atau sadaqah, pembebasan hutang, jual beli dengan harga
yang tidak pantas. Segala perbuatannya tersebut, baik ucapan maupun perbuatan
yang dilakukannya adalah tidak sah dan tidak berakibat hukum atau batal yang
tidak memungkinkan untuk disetujui oleh walinya.
c.
Tindakan yang mengandung keuntungan dan
kerugian. Misalnya, jual beli, sewa-menyewa, upah-mengupah atau lainnya yang
disatu pihak mengurangi haknya dan dipihak lain menambah hak yang ada padanya.
Tindakan yang dilakukannya tidak batal secara mutlak tetapi dalam kesahannya
tergantung pada persetujuan yang diberikan oleh walinya sesudah tindakan itu
dilakukan.
Tindakan mumayyiz dalam
hubungannya dengan ibadah adalah sah karena ia cakap dalm melakukan ibadah,
tetapi ia belum dituntut secara pasti karena ia belum dewasa.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari paparan penulis secara singkat diatas,
kiranya penulis menyimpulkan sebagai jawaban dari rumusan masalah yang
termaktub diatas :
Mengetahui ilmu fiqih mengajarkan
tentang pengetahuan hukum, baik itu menunjukkan secara global maupun terperinci.
Hukum yang disandarkan pada al-qur’an,. al-hadist maupun ijma’ dan qiyas
semata-mata mengarahkan umat manusia kepada jalan yang benar, menuntun segala amalinya kepada tindakan-tindakan
positif. karna sifatnya yang rahmatalilalamin, maka hukum-hukum islam
tidak pernah memberatkan ataupun membebani bagi pelakunya.
Terdapat
patokan-patokan tertentu sehingga mereka sudah mampu dibebani sebuah hukum
(taklif), seperti kemampuannya dalam bertindak dan tingkat pola akal bekerja
(seorang mukallaf). Hal tersebut, dapat dilihat dari kecakapan mereka atas hak
dan kewajiban (ahliyya).
DAFTAR PUSTAKA
1. Harisudin,Noor.
2016. Cetakan keempat. Pengantar Ilmu Fiqih. Surabaya: Buku Pena
Salsabila
2. Internet,
makalah Mahkum Alaih,
Pengertian mahkum alaih dalam Ilmu Fiqih, google.co.id.
Komentar
Posting Komentar