makalah tarikh tasyri' (Fenomena Tasyri’ Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in)
OLEH:
MAULIDA MAULAYA HUBBAH
PRODI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS HUKUM ISLAM
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
wr. wb.
Jika kita berbicara mengenai
tarikh tasyri’ maka yang terbayang pertama kali merupakan bagaimana sejarah
yang terdapat dalam konsep tasyri’ itu sendiri. Sebagaimana telah dipaparkan
kepada kami sebelumnya mengenai pengertian secara etimologi serta termonologi
tarikh tasyri’, yaitu sejarah mengenai pembuatan atau pembentukan
peraturan-peraturan yang disyariatkan Allah kepada umat muslim khususnya, dan
berlangsung sejak Rosul diutus hingga wafat, yang kemudian dikembangkan oleh
para ulama’ fiqih islam dengan modifikasinya, dan ijtihad yang dilakukan para
ulama’ sehingga selalu empiris dan elastis dalam setiap masa karena
menyesuaikan dengan sosiokultural.
Ada beberapa masa dimana tasyri’ berperadaban
sehingga menjadi sebuah sejarah atau tarikh yang berkesinambungan antara masa
lalu, masa sekarang dan masa depan. Salah satu masa dimana tasyri’ itu
berperadaban pada masa sahabat kecil dan para tabi’in atau mereka sahabat yang
tak lama bersama nabi. Disitulah titik dimana kami akan mengupas sekilas
mengenai fenomena tasyri’ pada masa tersebut.
Kemudian kami sampaikan Terima kasih yang begitu sangat
kepada Bapak Muhaimin M.HI. selaku dosen pengampuh mata kuliah Tarikh Tasyri’
Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Jember yang telah membimbing dan
mengajari kami hingga saat ini.
Demikian pengantar yang dapat kami sampaikan. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat, Akhir kata,
kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.
Wassalamu’alaikum
wr.wb…....
07
- April - 2017
Penulis,
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1
Bagaimana kondisi Tasyri’ pada masa sahabat kecil dan tabi’in?
2.2 Apa sumber hukum yang dipakai pada masa sahabat kecil dan tabi’in?2.3 Apa faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan Tasyri’ pada masa sahabat kecil dan tabi’in?
2.4 Bagaimana para sahabat
kecil dan tabi’in menerap tsyri’?
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menyelisik
terhadap ciri dan kharakteristik hukum islam (tasyri’) yang bersifat elastis, universal dan dinamis serta sistematis, tasyri’ dituntut untuk
selalu relevan disepanjang masa.
Persoalan-persoalan
yang terdapat dalam masyarakat bervariasi sepanjang zaman, hal ini perlu
dituntaskan dengan segala keputusan yang tepat dan bijak serta masih berpedoman
sesuai syariat. Sepeninggalan Nabi Muhammad sebagai Otoritas tunggal dalam
kepemimpinan baik negara maupun agama,
tidak dapat digantikan segala keputusannya yang muncul sebagai ijtihad
dari dirinya maupun wahyu yang datang padanya, sebagaimana kita ketahui
bahwasannya hal tersebut merupakan mu’zizat daripadanya.
Namun
tidak dapat dipungkiri pertumbuhan tasyri’ setelah masa
Rasulullah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Hal tersebut dilalui secara
bertahap di setiap periode atau masa tertentu. Dalam setiap periode,
pertumbuhan tasyri’ memiliki karakter dan alur perkembangan yang berbeda-beda
yang disebabkan oleh kondisi pada setiap periode yang berbeda pula.
Salah satu periode tersebut ialah pada masa sahabat shighor dan tabi’in. Mereka para sahabat yang
hidupnya tak lama bersama nabi mencoba membuat, menetapkan, membentuk tasyri’
tasyri’ dengan metode-metodenya.
Perkembangan pesat
yang dicapai mempengaruhi pertumbuhan hukum Islam pada saat itu. Asumsi ini
didasarkan pada fakta bahwa suatu hukum yang terbentuk tak lepas dari kondisi
(konteks) yang berlangsung pada saat itu. Untuk itulah penulis
tertarik untuk membahas seulas mengenai “fenomena
tasyri’ pada masa sahabat kecil dan tabi’in.”
1.2. Rumusan Masalah.
Berdasarkan hal-hal yang diuraikan di
atas maka permasalahan yang dirumuskan dalam permasalahan ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana
kondisi Tasyi’ pada masa sahabat kecil dan tabi’in?
2.
Apa saja sumber
hukum yang dipakai pada masa sahabat kecil dan tabi’in?
3.
Apa
faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tasyri’ masa sahabat kecil dan
tabi’in?
4.
Bagaimana sahabat
kecil dan tabi’in menerapkannya?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Kondisi Tasyri’ Pada
Masa Sahabat Kecil dan Tabiin
Periode ketiga dari perkembangan fiqh bermula pada
saat pemerintahan umat islam yang diambil alih oleh Muawiyah bin Abi Sufyan
(tahun 41 H) setelah mengambil pergumulan politik atara Muawiyah dan Ali yang
berakhir dengan terbunuhnya Ali dan penyerahan pemerintahan dari Hasan bin Ali
kepada Muawiyah.[1]
Tasyri’ pada masa sahabat dan tabi’in
berlangsung pada dua masa dinasti besar yang memiliki kondisi
sosial-politik yang berbeda. Karena itu kondisi hukum yang ada pada dua dinasti
tersebut juga barbeda.
1.
Dinasti Umayyah
Dinasti
Umayyah berkuasa selama 89 tahun, yaitu pada tahun 41 H/661 M – 132 H/750 M.
Selama kurun waktu tersebut, terdapat 14 orang yang telah menjadi pemimpin. Kepemimpinan tersebut didapat oleh setiap pemimpin melalu sistem waris
layaknya kerajaan.[2]
Awal pemerintahan umayyah dikarenakan Fitnah besar yang dihadapi umat
islam pada akhir pemerintahan khalifah Ali. “Tahkim” yaitu perdamaian antara
Ali sebagai khalifah dan Mu’awiyah bin abi sufyan sebagai gubernur Damaskus.
Pendukung Ali yang tidak menyetujui tahkim melenceng dan tidak lagi mendukung
Ali, mereka disebut dengan kelompok Khawarij. kelompok ini disebut-sebut yang
merencanakan pembunuhan terhadap Ali dan Mu’awiyah, namun hanya Ali yang
berhasil dibunuh. Mu’awiyah mengambil alih kepemimpinan umat Islam. ketika itu
umat Islam terpecah menjadi tiga kelompok:
a.
Khawarij: gambaran politik mereka “mengancam
untuk membunuh raja yang zhalim dan keluarganya, berpendapat bahwa pemerintahan
islam tidak terbatas dalam keluarga orang-orang tertentu. Pemimpin siapapun
yang dipandang baik oleh mereka untuk menjadi pemimpinnya.[3]” Mereka
yang menentang kekuasaan muawiyah karena dianggapnya menyeleweng dari ajaran
islam.[4]
b.
Syi’ah: golongan yang menentang
kekuasaan umayah sebab dalam pandangan mereka muawiyah telah merampas
kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Salah satu pandangannya dalam
politik, mereka berpendapat bahwa pemerintahan itu hak Ali dan keluarganya.[5]
c.
Jumhur Ulama.
Dalam suasana pertentangan itu,
ulama’ hadir untuk berusaha bersikap netral. Mereka tidak berpihak pada
golongan Syiah maupun Khawarij. Yang kemudian golongan ini dikenal sebagai
kelompok Murji’ah.[6]
Dalam perkembangannya, tasyri’ pada masa awal dinasti Umayyah tidak berbeda
dengan masa khulafa al-rasyidin, di mana tidak ada ulama yang membahas
secara khusus tentang fiqh. Namun perluasan wilayah yang sangat pesat, mengakibatkan
terpencarnya para ulama ke berbagai daerah. Serta terjadilah pertengkaran akibat perpecahan yang menjadikannya beberapa kelompok, sehingga sistem musyawarah yang ada pada masa sebelumnya menjadi luntur.
Terpencarnya
para ulama ke berbagai daerah menjadi kesulitan utama untuk melakukan
musyawarah yang menghasilakan ijma’, sehingga yang muncul hanyalah fatwa-fatwa
dari para ulama masing-masing. Setiap ulama meriwayatkan hadist yang pernah
mereka hafal. Akibatnya, kepercayaan umat pada hukum Islam hanya terbatas pada
ulama yang ada pada daerah tertentu atau kelompok yang diikuti.
Terpecahnya umat Islam menjadi beberapa kelompok dengan ego setiap kelompok
yang mengaku paling benar dalam setiap pendapatnya, memunculkan para
pembuat hadist palsu dari kelompok tertentu. Hadist palsu itu dibuat untuk
kepentingan kelompok dan terkesan menafikan kelompok lain.
Sumber hukum
Islam yang dulunya bermula dipandang hanya dalam tekstual dan bersifat kaku
akan tetapi seiring berjalannya fase-fase keemasan lahir para
cendikiawan-cendikiawan muslim yang mampu memberikan penerangan.
Dalam tatanan politik dinasti Umayyah, Islam saat itu lebih dianggap
sebagai politik dari pada ajaran atau doktrin. Hal ini dibuktikan dengan
banyaknya institusi-institusi politik yang dibentuk. Sehingga pada masa ini
pula terbentuk sebuah konsep politik Islam, yaitu politik yang aturannya
termuat nilai-nilai Islam.
Dalam
tatanan ekonomi dan teknologi, pada dinasti Umayyah banyak membangun sarana
transportasi, bank, pabrik-pabrik yang kemudian hasilnya diekspor serta
memproduksi senjata-senjata yang cukup canggih. Pada masa dinasti Umayyah kemajuan diperoleh pada
dasawarsa pertama —masa kepemimpinan Muawiyah bin Abu Sofyan dimana beliau
meriwayatkan hadist dari rosulullah sebanyak 163 hadist,[7]
sampai Hisyam bin Abdul Malik, sedangkan setelah masa itu terajadi kemunduran
yang signifikan.
2. Dinasti Abbasyiah
Dinasti
Abbasyiah berkuasa lebih lama dari dinasti Umayyah, yaitu pada tahun 132 H/750
M – 656 H/1258 M. Pada masa dinasti Abbasyiah terbagi menjadi dua periode. Periode I adalah masa antara tahun 750-945 M, yaitu pada masa pemerintahan
Abu Abbas sampai Al-Mustakfi. Periode II adalah masa antara 945-1258 M, yaitu
masa Al-Mu’ti sampai Al-Mu’tasim. Pembagian periode tersebut diasumsikan pada
masa kemajuan dan kemunduran dinasti Abbasyiah. Periode I merupakan masa
kemajuan dinasti Abbasyiah, sebaliknya periode II merupakan masa kemunduran.
Setelah
masa umayyah terjadi kemunduran, munculah masa Abasiyah yang dikenal dengan sebutan masa keemasan (golden age).
Masa ini, merekat pada dinasti Abbasyiah karena
kemajuan keilmuan yang sangat pesat. Wilayah yang semakin meluas dan akulturasi dengan bangsa-bangsa lain tidak memungkiri timbul permasalahan yang
baru. Bersamaan dengan itu dibutuhkan pula hukum baru yang mengatur
permasalahan tersebut.
Kebebasan yang diberikan oleh penguasa untuk mengeluarkan pendapat banyak
memberi keuntungan setiap ulama untuk berijtihad. Sehingga banyak melahirkan
ulama seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Hambal yang kemudian disebut
sebagai imam madzhab. Karena kecermelangan para ulama dan kejayaan yang diraih
sangat gemilang, Muhammad Ali As-Sayis menamai periode ini dalam bukunya: “Periode pertumbuhan kekuatan,
kematangan pemikiran, kehidupan ilmiah yang luas, pembahsan yang mendalam dan
menghasilkan, keindahan fikih, ijtihad mutlak, kebebasan yang berani dalam
nalar dan istimbat”.
Pada periode ini mulai ada kodifikasi keilmuan, khususnya fiqh menjadi
disiplin ilmu tersendiri yang memiliki pengaruh terhadap perkembangan hukum
Islam.
Contohnnya:
Pada masa pemerintahan Dinasti Abasiyah Khalifah Al-Mahdi yang terkenal
terpuji dan pemurah, sistem pemerintahan mengalami kemajuan yang pesat. Nafthawaih berkata:
saat kas negara berada ditangan Al-Mahdi, dia mengembalikan hak-hak yang
dirampas dan mengeluarkan sebagian besar simpanannya serta membagi-bagikannya
kepada yang berhak.[8]
Selain munculnya para fuqoha dari Irak dan Hijaz serta munculnya sekte-sekte atau aliran teologi dalam
agama, pada masa ini pula banyak muncul periwayat hadist. Pada periode sahabat
kecil, mereka memperketat seleksi hadist terhadap penerimaan hadis. Sedangkan
pada masa tabi’in, mereka memperlihatkan keberaniannya dalam mencari dan meriwayatkan hadist.
Pada masa
sahabat kecil dan tabi’in, para ulama dalam
menerapkan suatu hukum memperhatikan kondisi yang berlangsung di tempat
tersebut (sosiokultural). Sehingga perbedaan penerapan hukum bisa terjadi kapan dan di tempat yang
berbeda.
Misalnya: masyarakat Madinah sangat berpegang teguh terhadap hukum kesukuan yang
berlaku pada saat itu. Maka, dalam hal perkawinan yang memiliki hak penuh
adalah anggota keluarga laki-laki, sedangkan perempuan tidak memiliki hak melakukan
kontrak kawin sendiri, melainkan diserahkan kepada walinnya. Berbeda dengan di
Kufah yang sebagian masyarakatnya adalah campuran dari berbagai daerah, maka norma-norma
kesukuan tidak begitu kuat mempengaruhi budaya disana. Sehingga dalam
perkawinan, walau wanita dianggap memiliki posisi yang lebih rendah dari pada
laki-laki, tetapi mereka memiliki hak untuk melakukan kontrak sendiri tanpa diwakilkan wali.
2.2. Sumber Hukum
yang Dipakai Pada Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in
Dalam menetapkan suatu hukum tidak akan lepas kepada
sandaran atau sumber yang dipakai. Begitu juga para sahabat kecil dan
tabi’in memiliki sumber hukum yang dijadikan rujukan. Sumber yang
dipakai oleh sahabat kecil dan tabi’in tidak jauh berbeda dengan periode
sebelumnya. Pada masa ini sumber-sumber yang dipakai secara berurutan antara
lain:
1.
Al-Quran
Kata al-qur’an berasal dari bahasa arab yang artinya
adalah bacaan dan secara istilah adalah Al-qur’an merupakan kalam Allah yang
diturunkan kepada Nabi muhammad SAW. Bahasa al-qur’an adalah bahasa arab
Quraisy. Seperti ditunjukkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, antara lain: Asy-syu’ara
(26): 192-195; Yusuf (12): 2.[9]
Pada masa ini Al-Quran berada pada posisi pertama
sebagai rujukan pembentukan hukum. Al-Quran yang telah terkodifikasi sejak masa
kekhalifahan Usman bin Affan, mengalami perbaikan bentuk tulisan dan pemberian
harakat dan barisan. Karena pada masa kekhalifahan Usman belum terdapat harakat
dan baris pada mushaf yang dikirim ke berbagai kota. Hal ini berguna untuk
menyatukan bunyi bacaan dalam Al-Quran.
2.
As-Sunnah
Sunnah berasal dari bahsa arab yang berarti jalan yang bisa dilalui
sedangkan secara istilah adalah segala sesuatu yang diriwayatkan Nabi SAW.
Berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum.[10]
Para
sahabat kecil dan tabi’in selalu merujuk pada as-sunnah bila dalam meng-istimbhatkan
hukum tidak ditemui dasar-dasarnya pada Al-Quran. Pada masa ini perkembangan as-sunnah bertahap pada setiap periode. Dari
inisiatif meriwayatkan kemudian meriwayatkannya sampai pembukuan as-sunnah yang
pertama yaitu kitab Al-Muwattha’ karangan imam Malik.
3.
Ijma’
Secara bahasa ijma’ berarti bermaksud atau berniat. Ijma’ juga berati
kesepakatan terhadap sesuatau. Secara istilah ijma’ berarti kesepakatan terhadap
hukum syara para mujtahid setelah nabi
Muhammad SAW wafat.[11]
Ijma’ menjadi sumber hukum yang ketiga pada masa ini. Namun perluasan
wilayah yang terjadi pada dinasti Muawiyyah dan Abbasyiah mengakibatkan
proses ijma’ para sahabat kecil dan tabi’in sedikit terhenti.
Permasalahan jarak yang sangat jauh untuk melakukan perkumpulan tidak
memungkinkan sebagaimana yang bisa dilakukan pada masa khulafa ar-rasyidin.
4.
Ra’yu
Ra’yu Ijtihad para ulama dengan mencurahkan segala kemampuannya yang
disandarkan pada Al-Quran dan as-Sunnah menjadi alternatif dalam menetapkan
hukum. Hal ini tergambar jelas dari diri para ulama dalam menghadapi tuntutan
hukum dengan kondisi sosial-politik yang terjadi pada saat itu.
2.3.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Pertumbuhan Hukum Islam
Pertumbuhan hukum
Islam yang pesat pada masa sahabat kecil dan tabi’in tidak lepas dari
beberapa faktor yang terjadi pada masa itu, antara lain:
a.
Perluasan Wilayah
Wilayah
kekuasan yang luas pada masa ini menjadikan para ulama menyebar ke berbagai
daerah, baik sebagai utusan sebagai qadhi atau sebagai transmigran yang
menuntut ilmu. Keberadaan ulama di setiap daerah
menjadi rujukan tanya bagi umat Islam dalam menentukan sebuah hukum. Sehingga
ulama yang tersebar luas di berbagai kota itu memberanikan diri mengeluarkan
fatwa demi mengisi kekosongan hukum yang disandarkan dari pemahamannya terhadap
Al-Quran dan as-Sunnah. Dari sinilah muncul perbedaan fatwa pada setiap ulama
karena tingkat pemahaman dan kecerdasan mereka yang berbeda.
Tidak cukup itu,
akulturasi dengan bangsa-bangsa lain yang terjadi karena perluasaan wilayah ini
menciptakan budaya yang berbeda. Sehingga proses barter keilmuanpun terjadi dan
penerjemahan buku-buku dari luar ke bahasa Arab menjadi sesuatu yang
dibutuhkan, baik karena tujuan keilmuan atau karena kebutuhan sosial dan
budaya.
b.
Perhatian Penguasa Terhadap Keilmuan
Pertumbuhan
hukum Islam memang lebih tampak pada periode Abbasyiah, hal ini tak lepas
karena para penguasa pada periode Abbasyiah mencurahkan perhatiannya tidak
hanya pada hal politik sebagaimana pada periode Umayyah, bahkan mereka lebih
menekankan pada sisi keagamaan dan keilmuan. Fasilitas keagamaan dan keilmuan yang mereka bangun melahirkan para fuqaha
yang diharapkan dapat menjadi qadhi yang dapat merealisasikan tujuannya.
Karena pada saat itu, umat Islam lebih menghormati orang yang alim dan saleh
serta menjadikan mereka sebagai sumber dalam menayakan hukum.
c.
Kebebasan Berpikir
Porsi besar dalam mencurahkan pendapat dan berfikir bebas yang diberikan
oleh para penguasa mempengaruhi pertumbuhan hukum Islam pada saat itu. Para
ulama bebas berijtihad sesuai dengan pemikirannya dan pemahamannya terhadap
Al-Quran dan as-Sunnah. Sehingga suatu masalah yang diajukan kepada para ulama
akan diperoleh hukum yang berbeda dengan ulama yang lain.
d.
Pembukuan Berbagai Ilmu Pengetahuan
Proses kodifikasi berbagai macam keilmuan merupakan faktor dari pesatnya
pertumbuhan hukum Islam. Dengan adanya kodifikasi ilmu ini, para ulama atau
setiap orang dapat mempelajari sebuah keilmuan dengan mudah dan mempercepat
proses transfer ilmu.
e.
Munculnya Imam Madzhab
Munculnya imam madzhab seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i
dan Ahmad tidak lepas dari empat faktor sebelumnya. Namun, lahirnya imam
madzhab ini mempunyai pengaruh tersendiri dalam pertumbuhan hukum Islam. Itu
tidak lepas dari produk hukum yang dihasilkan dari kecerdasan dan pemahaman
yang tinggi terhadap Al-Quran dan as-Sunnah. Bahkan pengaruh dari produk hukum
yang dihasilkan oleh Imam Madzhab masih terlihat jelas sampai sekarang.
2.4. Penerapan
Tasyri’ Pada Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in
Pada masa ini, wewenang untuk menetapkan tasyri’ dipegang oleh generasi
tabi’in yang selalu menyertai para sahabat yang mempunyai keahlian dalam bidang
fatwa dan tasyri’ di berbagai kota besar. Dari para
sahabat yang ahli itulah para tabi’in mempelajari Al-qur’an dan menerima
riwayat hadits serta bermacam-macam fatwa. Generasi ini memakai khittah yang telah dilalui oleh para
sahabat yaitu kembali kepada dasar-dasar tasyri’ dan memperhatikan benar-benar
prinsip-prinsip yang umum dalam mentasyri’kan hukum. Karena itu mereka akan
memberikan fatwa terhadap kejadian-kejadian yang telah terjadi saja dan karena
itulah perselisihan paham diantara mereka belum meluas.
Pada masa ini pula, mulai timbul pertukaran pikiran dan perselisihan paham
yang meluas yang mengakibatkan timbulnya khittah-khittah baru dalam
mentasyri’kan hukum bagi pemuka-pemuka tasyri’ tersebut, dan dalam hal ini
disebabkan oleh perbedaan dalam memahami ayat-ayat hukum, cara berijtihad yang
berbeda, perbedaan pandangan tentang maslahah, tingkat kecerdasan pikiran,
tempat tinggal para pemuka tasyri’ yang berlainan daerah (tidak satu
lingkungan), dan cara menggunakan ra’yu yang berbeda. Selain itu, perkembangan
zaman dan perbedaan struktur masyarakat turut mempengaruhi timbulnya
khittah-khittah baru dikalangan pemuka-pemuka tasyri’ tersebut. Telah
dijelaskan di atas bahwa telah terjadi perselisihan paham dalam menetapkan
suatu hukum, selain beberapa penyebab perbedaan yang telah disebutkan diatas,
terjadinya perselisihan paham sahabat itu karena perbedaan paham dan perbedaan
nash yang sampai kepada mereka Karena pengetahuan mereka tantang hadits yang
tidak sama. Penyebab –penyebab perbedaan tersebut menyebabkan
perbedaan dalam hal furu’(cabang) dan dalam hal ushul mereka tetap sepakat.
Akan tetapi, pada pertengahan abad kedua hijriah kekuasaan tasyri’
dikendalikan oleh para mujtahidin ( abu hanifa dan sahabat-sahabatnya, Malik
dan sahabat-sahabatnya, Asy Syafi’i dan sahabat-sahabatnya, Ahmad dan
sahabat-sahabatnya, dll). Pada abad ini perbedaan yang awalnya tidak meluas
menjadi meluas kepada ushul atau dasar-dasar tasyri’ dan hal ini menyebabkan
pemuka-pemuka tasyri’ pecah dalam beberapa golongan yang masing-masing
mempunyai dasar,aliran,hukum furu’ yang berbeda.
Adapun dasar argumen yang menjadikan ijtihad sahabat merupakan bagian dari
sumber hukum adala:
1. Mereka ikut
menyaksikan tindakan nabi meskipun hanya sebentar sebelum Nabi wafat.
2. Apa yang
telah terjadi pada masa Rosul.
3. Bahwa mereka
memahami berdasarkan adanya penyebutan illat pada sebagian ayat-ayat Al Qur’an
dan sunnah sehingga konteks demikian, mereka memahami bahawa tujuan penetapan
tersebut untuk kemaslahatan umat.
Berdasarkan
pada hal itulah para sahabat kecil sepakat menjadikan Al-Qur’an dan sunnah
sebagai sumber hukum sacara keseluruhan berurutan, yaitu Al-Qur’an, As-sunnah,
dan ketiga ijtihad.[12]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Alhamdulillah dengan izin Allah SWT,
penyusun dapat menyelesaikan makalah ini. Pada bab ini penyusun ingin
menyimpulkan isi dari makalah. Dari isi makalah ini dapat disimpulakan bahwa :
1. Masa sahabat kecil dan tabi’in dimulai dari tahun 41 H/661 M
sampai tahun 200 H/820 M pada pertengahan masa pemerintahan dinasti Umayyah
hingga Abasiyah. Pada masa ini terjani kemajuan dan penurunan hukum islam. Pada
periode dinasti Umayyah dan Abbasyiah memunculkan banyak sesuatu yang baru. Pertumbuhan
hukum Islam tampak pada periode dinasti Umayyah dan berkembang pesat pada
periode dinasti Abbasyiah.
2. Sumber hukum yang dipakai pada masa ini secara berurutan ialah:
Al-Quran, As-Sunnah, Ijma’, & Ra’yu.
3. Beberapa faktor yang mempengaruhi pesatnya pertumbuhan hukum Islam pada
masa ini antara lain: Perluasan wilayah, Perhatian penguasa terhadap keilmuan, Kebebasan
berpikir, Pembukuan berbagai ilmu pengetahuan, Munculnya Imam Madzhab.
4. Dalam penerapannya, mereka merujuk secara tekstual kemudian mempelajari
hasil ijma’ dan menyertakan fatwa-watwa dalm ra’yu yang mereka tetapkan sebagai
penasyrikhan hukum
DAFTAR
PUSTAKA
1. Khalaf,
Abdul W. 2002. Sejarah
Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
2. Supriyadi,
Dedi. 2007. Sejarah Hukum Islam. Bandung: Pustaka Setia.
3. Harisudin,
Noor. 2016. Pengantar Ilmu Hukum. Surabaya:
Salsabila Putra Pratama.
4. As-Suyuthi,
Imam. 2001. Tarikh Khulafa’. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar.
5. Zuhri,
Muhammad. 1980. Tarikh Tasyrik. Semarang:
Rajamurah – Alqona’ah.
[1] Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam. (Bandung: Pustaka Media
2007) 81
[2] Imam as suyuthi, Tarikh
Khulafa’. (Jakarta Timur, Pustaka
Al-Kautsar 2001) 231
[3] Muhammad Zuhri, Tarikh Tasyrik. (Semarang,
Rajamurah-Alqona’ah,1980) 280
[4] Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam. (Bandung: Pustaka
Media 2007) 92
[5] Muhammad Zuhri, Tarikh Tasyrik. (Semarang,
Rajamurah-Alqona’ah,1980) 281
[6] Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam. (Bandung: Pustaka
Media 2007) 93
[7] Imam as suyuthi, Tarikh
Khulafa’ (Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar 2001) 229
[8] Imam as suyuthi, Tarikh
Tasyrik (Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar 2001) 330
[9] Noor Harisudin, Pengantar
Ilmu Fiqih(Jakarta:Pustaka Radja 2014) 49
[10] Ibid, 58
[11] Noor Harisudin, Pengantar
Ilmu Fiqih(Jakarta:Pustaka Radja 2014) 58
[12] Abdul Wahab Khalaf, Sejarah
Pembentukan & Perkembangan Hukum Islam (Jakarta, PT RajaGrafindo
Persada 2002) 49
good
BalasHapusMohon izin copas mbak maulida.
BalasHapusBuat bahan UAS, terimakasih