makalah dasar-dasar managemen pemerintahan (integritas kepemimpinan) (menjamin idealis pemimpin demi terwujudnya Good Governance dari berbagai perspektif sebagai upaya terhindar dari budaya korupsi)
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr. wb.
Jika kita berbicara tentang suatu pemimpin,
perlu kiranya idealis ditekankan pada setiap perwakilan rakyat negara yang
bersangkutan. Sikap dengan penuh norma selalu diterapkan agar selarasnya
kepemimpinan dengan aturan yang ditentukankan, maka dengan demikian tidak
adanya penyelewengan yang dilakukan dan tidak adanya penyalah-gunaan jabatan
oleh para birokrasi pemerintahahan, apalagi tindakan yang dapat merugikan
negara secara nyata seperti tindak pidana korupsi.
Berdasarkan hal tersebut, maka penting adanya
seluruh warga Negara Indonesia peduli, khususnya mahasiswa IAIN Jember kiranya
memahami “INTEGRITAS KEPEMIMPINAN (menjamin idealis pemimpin demi terwujudnya Good Governance dari
berbagai perspektif sebagai upaya terhindar dari budaya korupsi)”. Berdasarkan hal tersebut, penulis
berinisiatif untuk mengkajinya secara sederhana.
Kemudian kami sampaikan Terima kasih yang begitu sangat
kepada Ibu Erfina Fuadatul Khilmi, S.H.,
M.H. sebagai dosen pembimbing mata kuliah Dasar-Dasar Menagemen Pemerintahan Fakultas Syariah Institut Agama
Islam Negeri Jember yang telah membimbing dan mengajari penulis hingga saat ini.
Demikian pengantar yang dapat kami sampaikan. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat, Akhir kata,
kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.
Wassalamu’alaikum
wr.wb…....
7
- Oktober - 2017
Penulis,
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3
Tujuan dan Manfaat
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Good
Governance
2.2 Faktor- Faktor Yang Dapat Mempengaruhi Kinerja Birokrasi
2.3 Korupsi Tindakan Penyalahgunaan Wewenang Pemimpin
2.3.1 Kerangka Teori Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
2.4 Kriteria Pemimpin Menerapkan Birokrasi Bebas Korupsi
2.5 Internasional Kode Etik & Prilaku Public Officials
2.6 Kode Etik/ Kepribadian Pemimpin Perpektif Agama Menjaga Integritas Kepemimpinan Dalam Melawan Korupsi
2.7 Kepemimpinan Pemimpin Bersejarah
2.3 Korupsi Tindakan Penyalahgunaan Wewenang Pemimpin
2.3.1 Kerangka Teori Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
2.4 Kriteria Pemimpin Menerapkan Birokrasi Bebas Korupsi
2.5 Internasional Kode Etik & Prilaku Public Officials
2.6 Kode Etik/ Kepribadian Pemimpin Perpektif Agama Menjaga Integritas Kepemimpinan Dalam Melawan Korupsi
2.7 Kepemimpinan Pemimpin Bersejarah
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Logika dikotom yang mulai menggugat adanya pemikiran
mengenai pengusaan wewenang kini telah berkembang sehingga menjadikannya suatu
teori basic pemerintah dalam pemerintahan. Salah satunya adalah
pemahaman Good Governance and Bad Governance, merupakan teori yang perlu
diketahui sehingga menjadi landasan seorang pemimpin mengemban amanah yang
dibebankan kepadanya.
Penyelewengan kekuasaan kini bukanlah hanya menjadi trend
tapi seakan berevolusi menjadi culture yang lumrah terjadi dalam
setiap sudut sistematika birokrasi. Salah sastu tindak penyelewengan tersebut
ialah korupsi. Korupsi merupakan persoalan akut untuk Indonesia dan sampai saat
ini belum ada obat efektif untuk dapat menyembuhkannya. Tentu hal ini bukan
hanya merugikan sepihak, namun berimbas pada segelumit persoalan baru meski
memungkinkan pelaku hanya perseorangan dengan jangkauan kecil atau bahkan
kelompok yang sistematis. Kepribadian seorang pemimpinlah merupakan poin
pertama untuk menjadi indikasi integritas kepemimpinan.
Darisinilah kemudian dikemukakan berbagai teori menurut
para pakar ahli untuk tindakan Preventif, Uratif, serta Solutif yang
sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip yang dilegalistaskan dalam pemerintahan
yang bersangkutan.
Untuk itulah penulis tertarik untuk membahas seulas
mengenai “INTEGRITAS KEPEMIMPINAN (menjamin idealis
pemimpin demi terwujudnya Good Governace dari berbagai perspektif
sebagai upaya terhindar dari budaya korupsi)” yang akan kami bahas berikutnya.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan
hal-hal yang diuraikan di atas maka permasalahan yang dirumuskan dalam permasalahan ini adalah sebagai
berikut:
1. Apa
itu Good Governace?
2. Apa
itu korupsi?
3. Bagaimana
kriteria pemimpin untuk menjaga kualitas kinerja birokrasi pelayanan publik
sebagai upaya melawan korupsi yang signifikan dalam pencapaiannya?
4. Faktor-faktor
yang mempengaruhi kinerja birokrasi?
5. Instrumen
Internasional tentang kode etik dan kode prilaku public officials?
6. Perbandingan
kode etik atau sifat muslim sebagai seorang pemimpin?
1.3. Tujuan dan Manfaat.
Berdasarkan rumusan masalah
diatas, penulis hendak membahas beberapa hal yang terkait dengan INTEGRITAS KEPEMIMPINAN (menjamin idealis pemimpin demi terwujudnya Good
Governace yang sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai yang ada sebagai upaya
terhindar dari budaya korupsi)” dengan memaparkan beberapa pembahasan dengan
manfaat dan tujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui
bagaimana ideal suatu pemerintah dalam pemerintahan yang tidak hanya dilihat
dari aspek kuantitas namun juga aspek kualitasnya.
2. Mengetahui
apa saja yang dapat dilakukan pemerintahan untuk melawan tindak pidana korupsi
oleh birokrasi-birokrasi yang berwewenang.
3. Mengetahui
apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja birokrasi baik itu yang dapat
menghambat ataupun yang membantu secara efektif kinerja birokrasi.
4. Mengenal
kode etik, prilaku, serta kepribadian yang memiliki integritas tinggi oleh
seorang public official, baik dari sudut pandang Internasional maupun
muslim.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Good
Governace
Istilah Good Governance
merupakan wacana baru dalam kosakata ilmu politik. Ia muncul pada awal
1990-an. Secara umum, istilah Good Governace memiliki pengertian akan
segala hal yang terkait dengan tindakan atau tingkah laku yang bersifat
mengarahkan, mengendalikan, atau memengaruhi urusan publik untuk mewujudkan
nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks ini,
pengertian Good Governance tidak sebatas pengelolaan lembaga
pemerintahan semata tetapi menyangkut semua yang bersangkutan dengan
pemerintahan. Di Indonesia, substansi wacana Good Governance dapat
dipadankan dengan istilah pemerintahan
yang baik, bersih, dan berwibawa, serta dalam praktiknya slalu efektif,
efisien, jujur, transparan, dan bertanggung jawab (Clean Governance).[1]
Untuk merealisasikan
pemerintahan yang profesional dan akuntabel yang bersandar pada prinsip-prinsip
Good Governance maka dari beberapa aspeknya, pemerintah memiliki peranan
penting demi terwujudnya Good Governave yang dicita-citakan, slah
satunya yaitu:
“Profesionalitas dan
integritas aparatur pemerintah. Perubahan paradigma aparatur negara dari
birokrasi elitis menjadi birokrasi populis (pelayanan rakyat) harus dibarengi
dengan peningkatan profesionalitas dan integritas moral jajaran birokrasi
pemerintah. Akuntabilitas jajaran birokrasi akan berdampak pada naiknya
akuntabilitas dan legitimasi birikrasi itu sendiri. Aparatur birokrasi yang
mempunyai karakter tersebut dapat bersinergi dengan pelayanan birikrasi secara
cepat, efektif, dan berkualitas.”[2]
2.2.
Faktor-Faktor
yang Dapat Mempengaruhi Kinerja Birokrasi
[3]Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kinerja birokrasi antara lain:
a.
menagemen organisasi dalam menerjemahkan dan menyelaraskan tujuan
birokrasi.
b.
budaya kerja dan organisasi pada birokrasi.
c.
kualitas sumberdaya manusia yang dimiliki birokrasi.
d.
dan
kepemimpinan birokrasi yang efektif dan kordinasi kerja pada birokrasi.
Terkait hal ini kepemimpinan merupakan fenomena
setiap komunitas organisasi, dimana pemimpin menjadi penentu dari sebuah
pencapaian tujuan organisasi. Gagal dan suksesnya organisasi dipengaruhi oleh
peranan pemimpin didalamnya. Pemimpin sebagai pengambil kebijakan strategis
mempunyai peranan penting dalam pengembangan dan pengelolaan organisasi.
Pemimpin tidak hanya sebagai pengambil kebijakan, akan tetapi harus menjadi
pelaku dari kebijakan yang dilakukan. Hal ini memberikan dampak positif bagi pegaawai
dalam penerapan dan pelaksanaan kegiatan organisasi.
Fenonena kepemimpinan menjadi sebuah konsepsi
pengetahuan yang memberikan pemahaman terhadap pentingnya pelaksanaan
organisasi. Kepemimpinan saat ini mengarah kepada perilaku individu yang dibentuk
melalui pendidikan dan kepribadiannya.[4]
Pemimpun tidak lain adalah orang yang dipercaya
oleanggota kelompok, untuk memimpin kelompok itu mewujudkan tujuan dan
cita-cita bersama. Kekompakan antara pemimpin dengan dipimpin, jelas merupakan
kunci utama keberhasilan peapaian tujuan bersama tersebut. Kpercayaan merupakan
unsur utama dari kepemimpinan (Greenleaf, 1977).[5]
Adapun beberapa faktor penting yang perlu ditinjau
dalam memilih seang pemimpin menurut Hickman
Titus (1986) adalah sebagai
berikut:
1.
Intelectual Capacity, yang berhubungan dengan kepandaian (ketajaman otak)
seseorang untuk mengatur dan merencanakan gerak organisasi.
2.
Self Significance, yakni perasaan dirinya penting untuk membantu
mencapai tujuan kelompok.
3.
Vitality, yang menunjukkan kepada semangat kerja dan kesehatan seseorang.
4.
Training, yakni latihan tambahan yang diterima seseorang agar memiliki kemampuan
yang lebih baik daripada orang lain.
5.
Experience, pengalaman pemimpin yang dimiliki seseorang, sekalipun pada
kelompok-kelompok kecil.
6.
Reputation, reputasi yang dimiliki seseorang menyelesaikan tugasnya tanpa cacat atau
tercela.
Dari keenam syarat yang
dikemukakan Hickman dan Titus ini lebih menitik beratkan kepada kualifikasi
teknis. Tidak dapat dipungkiri, bila memenuhi secara keseluruhan seseoang
hampir mustahil gagal memimpin kelompoknya.[6]
Maka apabila telah terpenuhi enam syarat sosok pemimpin diatas, integritas
kepemimpinan seseorang sudah tidak bisa diragukan lagi.
Faktor-faktor diatas akan
menentukan lancar tidaknya suatu birokrasi dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
2.3. Korupsi Sebagai Tindakan Penyalahgunaan Wewenang
Seorang Pemimpin
Begitu kronisnya penyakit korupsi di Indonesia mengakibatkan upaya
pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah belum menunjukkan hasil yang
diharapkan. Korupsi yang dilakukan secara sistemik dan melibatkan pelaku yang
luas hanya bisa ditanggulangi dengan pendekatan yang komprehensif, strategis,
dan massif baik struktural maupun kultural. Cultural yang dimaksud diarahkan kepada usaha membangun
kesadaran publik untuk memperkuat gerakan “Anti Korupsi”.[7]
Salah satunya dengan Moral Force, hal ini dapat meminimalisir
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam tubuh birokrasi dan masyarakat
sendiri pada umumnya.
Sudah sangat dikenal oleh awam baha korupsi merupakan kejahatan yang
merugikan keuangan negara. Fakta senyatanya lebih luas bahwa, korupsi merupakan
perbuatan bejat, busuk, jahat, jelek, tidak jujur dan konotasi negati lainnya,
bahkan masuk pada kategori Extra Ordinary Crime. Dengan demikian pengertian,
lingkup, dan bentuk korupsi dapat ditelisik secara harfiah, yuridis,
sosiologis, politis, dan sebagainya.[8]
Salah satu kutipan Mulyadi yang diliris dari Word Bank menyebutkan bahwa korupsi sebagai an abuse of
pblic power for private gains dengan bentuk Political Corruption, atau biasa dikenal sebagai grand
corruption yang terjadi di tingkat tinggi (penguasa, politisi, pengambil
keputusan) dimana mereka memliki suatu kewenangan untuk memformulasikan,
membentuk dan melaksanakan Undang-Undang atas nama rakyat, dengan memanipulasi
institusi politik, aturan prosedural dan distorsi lembaga pemerintahan, dengan
tujuan meningkatkan kekayaan an kekuasaan.[9]
2.3.1. Kerangka Teori Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Menurut Undang
Undang No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
unsur unusr tindak pidana korupsi terbagi kedalam 3 antara lain:
a. melakukan perbuatan melawan hukum.
b. merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
c. menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada padanya
karena jabatan dan kedudukannya dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi.
Meskipun usaha usaha untuk memberantas korupsi sudah mulai gencar
dilaksanakan dekade terakhir namun realisasi tersebut sudah cukup membuktikan
bahwa Indonesia sudah mulai akan sadar atas bahaya korupsi tersebut. Perkembangan atas peraturan yang mengatur terkait korupsi tersebut
juga terus digencarkan, hal ini terkait dengan jenis jenis korupsi yang sangat beragam.
Sebagaimana
diatur dalam Undang Undang Nomer 31 tahun 1999 dan Undang Undang Nomer 20 tahun
2001 antara lain:
1. delik yang terkait dengan kerugian keuangan Negara
2. delik pemberian sesutu atau janju kepada Pegawai Negeri atau
penyuapan
3. delik penggelapan dalam jabatan
4. delik perbuatan pemerasan
5. delik perbuatan curang
6. delik benturan kepentingan dalam pengadaan, dan yang terakhir
7. delik Gratifikasi.
Agustina, (2008) menjelaskan bahwa pemberantasan korupsi bukan perkara yang mudah,
korupsi telah mengakar, menyebar, menjangkit, dan dipraktekkan secara sistemik. Apalagi
upaya penegakan hukum belum optimal dalam mengikis korupsi. Untuk itu dalam
pemberantasan korupsi yang terpenting adalah penanaman moral pada masing masing
individu dalam bentuk kesadaran.
Priyanto (2002:29) menjelaskan bahwa penting bagi setiap individu agar
memiliki kesadaran, dimana kesadaran sendiri terbagi atas tiga hal yaitu
motivasi tak sadar, kesadaran diskursif, dan kesadaran praktis. Hanya dengan
kesadaran pribadilah praktik korupsi dapat benar benar membebaskan bangsa ini. Hal
ini ditunjukkan dengan pembentukan lembaga yang ditugaskan khusus untuk
memberantas korupsi.
Selain itu
ditandai dengan dikeluarkannya Keppres 228 tahun 1967 dengan lingkup
kegiatan Resfresif dan
Preventif. Pada tahun1999 dibentuklah KPKPN dengan landasan UU 28 tahun 1999,
lingkup kegiatannya preventif. Tahun 1999 kemudian dibentuk TGTPK dengan dasar
PP 19 Tahun 2000 lingkupnya juga preventif. Akhirnya pada tahun 2003 disyahkan UU No 30 Tahun 2002 tentang
Pembentukan Komite Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK dibentuk bukan tanpa
alasan. Ada beberapa undang undang pendukung bagi KPK melaksanakan tugasnya
diantaranya:
Undang-Undang
No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang
No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negera yang Bersih dan Bebas
dari Korupsi,Kolusi, dan Nepotisme.
Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Peraturan Pemerintah
No 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran
Serta Masyarakat dan Pemberian
Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor
31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sejak pembentukan Komisi
Pemberantasan Korupsi tersebut mulai muncul usaha usaha baik untuk memberantas maupun
untuk mencegah korupsi. Usaha dan upaya pencegahan praktek korupsi tersebut juga
dilakukan di lingkungan eksekutif atau penyelenggara negara, dimana masing –
masing instansi
memiliki Internal Control Unit (Unit Pengawasan dan Pengendali dalam Instansi) yang
berupa inspektorat. Disamping pengawasan secara internal, ada juga pengawasan
dan pemeriksaan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh instansi
eksternal yaitu Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP).
Hal tersebut
juga dilecutkan dengan diturunkannya Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004
tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi baik itu ditingkat pemerintah pusat
maupun pemerintah
daerah. Namun implementasi dari Instruksi Presiden ini sangat minim sekali,
khususnya pada instruksi ke-5 dimana isntruksi tersebut memerintahkan kepada
seluruh pemimpin
instansi pemerintah di pusat dan daerah untuk melaksanakan program wilayah
bebas dari korupsi (WBK) Dan kemudian pada tahun 2012 ditetapkanlah Peraturan
Menteri Pendayagunaan Aparatur negara dan Reformasi Birokrasi Tengtang Pedoman
Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas Dari Korupsi dan Wilayah
Birokrasi Bersih dan Melayani di Lingkungan Kementrian/Lembaga dan Pemerintah
Daerah.
Peraturan
Menteri ini ditujukan sebagai bentuk untuk mengoptimalkan Instruksi Presedien
dalam penciptaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan survei secara
nasional terhadap integritas
sektor publik secara rutin setiap tahun sejak tahun 2007. Survei tersebut
dilaksanakan dalam rangka mengukur indeks integritas lembaga pemerintah,
kementerian, non kementerian, dan pemerintah daerah pemberi pelayanan publik.
Integritas sektor publik secara nasional diukur melalui Indeks Integritas
Nasional (IIN). Dari hasil survei tersebut, Pemerintah Kota Malang menempati urutan
ke-43 dari total 80 instansi yang telah disurvei KPK. 80 instansi tersebut terdiri
dari 25 instansi pusat dan vertikal serta 60 pemerintah daerah. Pemerintah Kota
malang memperoleh IIN sebesar 6,45 terpaut satu peringkat diatas Pemerintah
Kota Sidoarjo sebesar 6,43 dan dibawah Pemerintah Kota Bogor yang memperoleh
nilai 6,46. Angka tersebut terbilang baik karena nilai integritas tersebut
berada diatas standar yang ditetapkan oleh KPK, yakni sebesar 6,00. Hal ini
menjadi salah satu motivasi dalam penelitian ini, yakni dengan diperolehnya IIN
sebesar 6,45 merupakan cerminan usaha Pemerintah Kota Malang dalam membangun
Zona Integritas.
Tak hanya itu, beberapa pakar juga mengemukakan pendapatnya mengenai cikal
bakal tumbuhnya korupsi antara lain:
Menurut teori Robert Klitgaard, monopoli
kekuatan oleh pemimpin (monooly of power) ditambah dengan besarnya
kekuasaan yang dimiliki (discreation of official) dan tanpa adanya
pengawasan yang memadai (minus accountability) maka hal tersebut menjadi
pendorong terjadinya korupsi. Perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik
menjadi otonomi daerah telah menggeser praktik korupsi yang dahulunya hanya
didominasi oleh pemerintah pusat[10]
(masa sebelum reformasi) . hal ini selaras dengan teori Klitgaard bahwa korupsi
mengikuti kekuasaan.
Teori Ramirez Torrez menyatakan bahwa korupsi adalah kejahatan kalkulasi
atau perhitungan (crime of culculation) bukan hanya sekedar keinginan (passion).
Seseorang akan melakukan korupsi jika hasil yang didapat lebih tinggi dan lebih
besar dari hukuman yang didapat serta kemungkinan tertangkapnya yang relatif
kecil.
Menurut teori Jack Bologne, akar penyebab korupsi ada 4 yaitu:
a)
Greedy (keserakahan)
berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada pada diri
setiap orang.
b)
Opportunity (kesempatan)
berkaitan dengan keadaan organsasi atau instansi atau masyarakat yang
sedemikian rupa sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan
korupsi.
c)
Need (kebutuhan)
berkaitan dengan faktor-faktor yang dibutuhkan oleh individu-individu untuk
menunjang kehidupan.
d)
Exposures (pengungkapan)
berkaitan dengan tindakan-tindakan atau hukuman yang tidak memberi efek jera
pelaku maupun masyarakat pada umumnya.
Oleh karena itu terdapat beberapa aspek yang dapat
mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, bersih dan bebas KKN, yaitu: Aspek Sumber Daya Manusia (SDM) Reformasi di
bidang SDM, meliputi 3 (tiga) hal yaitu : perubahan pola piker (mindset),
perubahan budaya kerja (culture set), dan perubahan tata laku (behavior).
1.
Perubahan pola pikir (mindset)
Perubahan pola
pikir harus dilakukan oleh seluruh aparatur negara mulai dari pimpinan paling atas sampai
pegawai paling bawah. Pola pikir sebagai penguasa yang cenderung ingin dilayani harus diubah menjadi
pelayanan masyarakat, karena pada dasarnya aparatur negara merupakan abdi masyarakat sehingga harus mengutamakan pelayanan kepada masyarakat. Dengan
adanya perubahan pola pikir diharapkan aparatur negara memiliki sense
of belonging, sense of responsibility, dan sense of crisis dalam setiap melaksanakan
tugas pokok, fungsi, dan kewenangannya.
2.
Perubahan budaya kerja (culture set)
Perubahan
budaya kerja (culture set) sangat erat kaitannya dengan rasa tanggung
jawab (sense of responsibility)
terutama dalam pelaksanaan tugas sehari-hari,
khususnya dalam hal waktu, anggaran, peralatan dan lain sebagainya.
Aparatur negara diharapkan selalu berusaha menambah wawasan
dan meningkatkan kapabilitas profesionalnya dengan tidak menunda-nunda
pekerjaan dan berusaha sekuat tenaga untuk menyelesaikan pekerjaan
dengan tepat waktu dan penggunaan anggaran sehemat dan secermat
mungkin.
3.
Perubahan tata laku (behavior)
Sebagai abdi
negara/masyarakat, setiap aparatur negara harus memiliki perilaku
terpuji, terutama pada saat menjalankan tugas dan fungsinya. Aparatur
negara harus mampu memberi tauladan kepada masyarakat, terutama
dalam hal ketaatan dan kepatuhan terhadap norma-norma hokum yang
berlaku. Jangan sampai aparatur negara justru melakukan pelanggaran hukum.
Terlebih lagi bila aparatur negara tersebut adalah aparatur penegak hukum.[11]
Dari berbagai teori yang dikemukakan para ahli, jelas kiranya bahwa
integritas kepemimpinan perlu ditekankan demi tercapainya Good Governance.
2.4. Kriteria Seorang Pemimpin dalam Menerapkan Birokrasi
Bebas Korupsi
Menurut Baswedan
(2013), bahwa
dalam implementasi reformasi birokrasi, peran pemimpin sangat penting dan
signifikan dalam pencapaiannya, ada 7 kekuatan yang harus dimiliki oleh seorang
pemimpin dlam menerapkan reformasi bikrasi, yaitu:
1.
Memiliki
potret keadaan birokrasi setelah reformasi dilakukan.
Seorang
pemimpin harus memiliki konsepsi dasar tetang apa yang akn dilakukan dengan
perencanaan seara matang. Gambaran tentang perubahan yang akan dilakukan juga
perlu dikonsepkan dalam pemikirannya unuk kemudian dituangkan dalam berbagai
aksi nyata.
Pemimpin
itu harus kreatif memikirkan seni dan komparatif. Mempunyai imajinasi yang kuat
dan slalu memikirkan tentang inovasi apa dalam perubahannya. Serta pemimpin
harus mempunyai sebuah mimpi yang tinggi untuk sebuah prubahan yang lebih baik
dan berkualias.
2.
Adanya
kecenderungan dalam kepemimpinan, budaya kompromisme, saling melindungi dan
lain sebagainya masih sering kali terjadi.
Menjadi tantangan tersendiri bagi seorang pemimpin dalam menjalankan
tugas dan tanggung jawabnya. Unsur-unsur yang merusak birokrasi memang sering
kali muncul dari lingkungan pemimpin, yang tidak dapat dihindari adalah ketika
berhadapan dengan keluarga ataupun kolega yang secara tidak langsung telah
“merecoki” kepemimpinannya baik disadari atau tidak. Kedekatan keluarga dan
kolega merupakan ujian bagi para pemimpin.
3.
Pemimpin
harus memiliki kemampuan dalam tafsir yang sederhana.
Sebagai seorang pemimpin tentunya harus dapat menafsirkan berbagai
kerumitan yang ada dalam peaksanaan reformasi birokrasi. Bagaimana memberikan
pemahaman kepada bawahan dengan bahasa yang lebih simple dan dapat
dimengerti. Memberikan pejelasan secara komprehensif jika belum ada yang
mengerti tentang apa yang akan dilakakukan. Pemimpin memang harus telaten,
ulet, dan sabar.
Konsepsi dasarnya sebenarnya terletak pada
kematangan perencanaan, kemudahan pelaksanaan, dan ksinambungan kontrolnya. Sehingga selurh stakeholders dalam birokrasi
mempunya persepsi yang sama dengan tujuan yang sama.
4.
Pemimpin
harus peka dan mempunyai kemampan untuk dapat menghargai bawahan.
Seorang
pemimpin harus peka terhadap kondisi dan lingkungan. Kondisi apapun dalam
birokrasi, terutama dalam pemenuhan kebutua birokrasi. Selain itu, kemampuan
untuk mampu menghargai bawahan juga harus dimiliki oleh seorang pemimpin.
Pemimpin yang menghargai pencapaian bahawan adalah sebuah kebanggaan bagi
bawahan untuk memacu dan memotivasinya. Penghargaan itu adalah bentuk upaya
peningkatan kinerja aparatur dan sebagai inspirasi bagi aparatur yang lain.
5.
Harus
mampu memposisikan dukungan asset bagi pencapaian sebua perubahan.
Kecenderungan
pemimpin adalah condong mendukung dan memerhatikan yang menentang dalam
birikrasi. Ada perubahan parasdigma yang harus dibangun oleh seorang pemimpin
dalam reformasi birokrasi. Kecenderungan ang ada saat ini harus dirubah
polanya, yaitu pemimpin harus memperhatikan kepada para pendukung dan yang mau
mendengarkan tas berbagai kebijakan dan instksinya.
Seorang
pemimpin harus menjadikan dukungan yang diterimanya sebagai asset untuk
meningkatkan kinerjanya melalui perubahan yang akan dilakukan. Dengan dukungan
tersebut, diharapkan kebijakan dan keputusan pemimpin dapat dikawal hingga
pelaksanaan kebijakan menarah pada tercapainya tujuan reformasi birikrasi.
6.
Pemimpin
harus terus belajar an terbuka terhadap keberadaan gagasan-gagasan baru
sekalipun dari bawahannya.
Pemimpin harus
belajar menghargai bawahan sehingga dihargai oleh bawahan, tidak semena-mena,
dapat menerima kritikan dai mana saja selama itu bauk untuk perubahan yang
lebih baik. Bagaimna mampu mendengar keluh bawahan agar lebih mengetahui
kondisi lingkungan. Bagaimana mengomunikasikan yang baik, sehingga terjalin
hubungan ang harmonis antara bawahan dan atasan.
Dengan
demikian pembelajaran yang dilakukan oleh seorang pemimpin tentunya untuk
perbikan dan peningkatan kualitas organisasi dan birokrasi itu sendiri. Setiap
perubahan birokrasi menginginkan yang belajar dan transparan dalam hal apapun
kecuali yang bukan untuk dipublikasikan.
7.
Menjadi
teladan dalam kepemimpinan, dalam kerangka reformasi birokrasi.
Pelaksanaan birokrasi akan
berjalan dengan baik jika elemen yang ada didalam birokrasi mempunyai rasa
kepemilikan. Seorang pemimpin harus mampu memberikan motivasi kepada bawahannya
untuk mencapai rasa kepemilikan terhadap organisasi sehingga mempunyai
kebanggaan bagi setiap individu aparatur.
Kebanggaan yang dimiliki
mempunyai konektivitas yang signifikan dengan efektifitas dan efisiensi
penyelenggaraan reformasi birokrasi. Jika seluruh stakeholder dalam
birokrasi mempunyai rasa kepemilikan yang tinggi terhadap organisasi, maka
seluruh kebijakan organisasi akan dilaksanakan secara maksimal, kinerja dapat
berjalan secara optimal, dan pencapaian tujuan reformasi birokrasi dapat diraih
dengan baik.
Ketujuh kekuatan di atas
menjadi inspirasi yang berguna dan bermanfaat jika diterapkan bagi para
pemimpin negeri dalam melakukan reformasi birokrasi. Pencapaian tujuan good
governance adalah harapan bersama, terutama kepada para pemimpin yang
mempunyai peran sangat strategis dalam tujuan itu. Pemimpin menjadi kunci
keberhasilan reformasi birokrasi. Pemimpin mempunyai peran penting untuk
meningkatkan kualitas kinerja aparatur, kinerja birokrasi dan kualitas output
birokrasi. Kepemimpinanlah yang menentukan arah jalannya reformasi
birokrasi untuk kualitas pelayanan publik yang lebih baik, profesional dan
akuntabel.[12]
2.5. Instrumen Internasional Tentang Kode Etik dan Kode
Prilaku Public Official Untuk Menjaga Integritas Kepemimpinan
Pada akhir tahun 1996, tepatnya pada tanggal 12
Desember 1996, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadakan sidang umum ke-82.
Dalam sidang ini berhasil disahkan resolusi PBB tentang Action Against
Corruotion yang melampirkan naskah Code of Conduct for Public Officials yang
didalamnya terdiri dari 6 standart perilaku yang diidealkan bagi para pejabat
yang memang jabatan publik di semua negara anggota PBB, yaitu:
1. Conflict
of Interest (Larangan
Konflik Kepentingan)
a. “Public officials shall
not use their official authority for the improper advancement of their own or
their family’s personal or financial interest. They shall not engage in any
transaction, acquire any position or function or havr any financial,commercial
or other comparable interest that is incompatible with their office, functions
or duties or the discharge thereof”
b. “Public officials, to the
extent required by their position, shall in accordance with laws or
administrative policies, declare business, commercialand financial interests or
activities undertaken for financial gain that may raise a possible conflict of
interest. In situations of possible or perceived conflict of interest between
the duties and private interests of public officials, they shall comply with
the measures established to reduce or eliminate such conflict of interest.”
c. “Public officials shall at
no time improperly use public moneys, property, services or information that is
acquired in the performance of, or as result of, their official duties for
activities not related to their official work.”
d. “Public officials shall
comply with measures established by law or by administrative policies in order
that after leaving their official positions they will not take improper
advantage of their previous office.”
2. Disclosure of
Assets (Pelaporan Harta Kekayaan)
“Public officials shall, in accord with their
position and as permitted or required by law and administrative policies,
comply with requirements to declare or to disclose personal assets and
liabilities, as well as if possible, those of their spouses and/or dependants.”
3. Acceptance of
Gifts or Other Favours (Larangan Grativikasi)
Public officials shall not solicit or receive
directly or indirectly any gift or other fasvour that may influencethe exercise
of their functions, the performance of their duties or their judgement.”
4. Confidential
Information (Rahasia Jabatan)
“Matters of a confidential nature in the possession
of public officials shall be kept confidential unless national legislation, the
performance of duty or the needs of justice strictly require otherwise. Such
restrictions shall also apply after separation from service.
5. Political
Activity (Kegiatan Politik)
“The political or other activity of public officials
outside the scope of their office shall, in accordance with laws and
administrative policies, not be such as to impair public confidence in the
impartial performance of their functions and duties.”
6. General
Principles (Prinsip Umum)
a. “A public office, as
defined by national law, is a position of trust, implying a duty of act in the
public interest.
b. “Public officials shall
ensure that they perform their duties and function efficiently, affectively,
and with integrity, in accordance with laws or administrative policies.”
c. “Public officials shall be
attentive, fair, and impartial in the performance of their functions and in
particular, in their relations with the public.”
Kemudian sesudah disahkannya Resolusi PBB 1996,
berbagai upaya lanjutan terus dilakukan di pelbagai forum dunia untuk membangun
instrumen Internasional melawan praktik korupsi yang menggejala di seluruh
dunia. Sehingga pada tahun 2003 berhasil disahkan dalam bentuk konvensi
tersendiri, yaitu: UN Cnvention Againts Corruption. Dalam konvensi PBB
ini pada artikel 8 secara khusus diatur tentang CODES OF Conduct for Public
Officials yang salah satu didalamnya berisi:
“in ather to fight corruption, each state party shall to promote,
intereralia, integrity, honesty and responsibility amoung its public officials,
in accordance with the fundamental principles of its legal system.”[13]
2.6. Kode Etik atau Kepribadian Pemimpin Perpektif Agama
Untuk Menjaga Integritas Kepemimpinan Dalam Melawan Korupsi
Dalam kasus-kasus korupsi, sesungguhnya para
pelakunya tak hanya mengorupsi uang, tetapi lebih dari itu, ia telah melakukan
korupsi moral. Mengapa? Sebab, dengan perilaku korupnya, sesungguhnya ia telah
melakukan destruksi dan kontaminasi atas keluhuran nilai-nilai moral dan hati
nurani.
Dari berbagai tinjauan agama-agama terhadap pembahasan
korupsi, berpijak pada enam ketentuan antara lain:
1. Konsep Hati
Nurani
Sesungguhnya setiap orang memiliki hati nurani yang
mulia sejauh yang bersangkutan mau dan mampu ntuk mengendalikan dua kekuatan
yang ada pada setiap diri seseorang khususnya mengedepankan kekuatan Chitta (didalanmya
mengandung 4 kekuatan, dharma: kebenaran, Jnana: pengetahuan
suci, Wairagya: tulus ikhlas, Aiswarya: kesucian) dan
mengeleminir kekuatan Klesa. (Awidya: kegelapan, Asmita:
mementingkan diri sendiri, Raga: hawa nafsu, Dwesa: dendam, Abhinivesa:
ketakutan). Hal ini mengacu pada Hyang Widdhi Wase (Tuhan Yang Maha Esa)
berdasarkan pandangan hindu. [14]
Pikiran, perkataan, dan perbuatan seseorang sangat
dipengaruhi oleh hati nurani masing-masing. Bila hati nurani seseorang itu
mulia, tentu pikiran, perkataan, perbuatan orang itu akan selalu ada pada jalan
Dharma.
Kualitas
batin seseorang. Ketikan seseorang slalu puas dengan ketamakan dan kebodohan,
maka ia senang melakukan mata pencahariannya dengan cara yang salah. Seperti
melakukan korupsi,
penipuan, pencurian dll. Dasarnya
adalah adanya hawa nafsu atau keinginan untuk memupuk kekayaan materi secara
pribadi tanpa memikirkan kepentingan orang lain. Perspektif Budha menilai
orang demikian sebagai mereka yang kalah
dan lemah.[15]
2. Konsep Kejujuran
Berdasarkan QS. An-Nahl, 16:105):
انما يفترى الكذب الذين الايؤمنون بايات
الله و اولئك هم الكاذبون
“Sesungguhnya yang mengada-ngadakan kebohongan hanyalah
orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang
pendusta.”
Berperilaku tidak jujur yang meliputi segala bentuk
kebohongan dan perilaku munafik, tidak bisa tidak adalah akar dari sikap dan
perilaku yang tergolong atau mengarah dalam tindak korupsi.
Akar-akar
korupsi kalau boleh dikatakan demikian, salah satunya berawal dari sikap
ketidakjujuran. Sikap seperti ini, tentu bukanlah sesuatu yang bersifat
otomatis, melainkan oleh banyak faktor: mulai dari individu, keluarga,
sekolahan, masyarakat dan bangsa.[16]
Kejujuran merupakan prinsip dasar hidup dan
kehidupan. Bila seseorang senantiasa mengikuti kebenaran, maka hidupnya akan
selamat, sejahtera, terhindar dari bencana, memperoleh kebijaksanaan, dan
kemuliaan.
3. Konsep Amanah
Amanah dalam pengertian sempit adalah memelihara
titipan dan mengembalikannya kepada pemiliknya dalam bentuk semula. Sedangkan
dalam pengertian yang luas, amanah mencangkup banyak hal;
Menjaga rahasia, memelihara semua nikmat yang
diberikan Allah, menunaikan kewajiban dengan baik dan tidak menyalahgunakan
jabatan. Sikap inilah yang seharusnya ditekankan oleh setiap pemimpin.
Namun tak dapat dipungkiri adanya korupsi tidak
dapat memberdayakan agama. Korupsi dala tata perundang-undangan kita,
sesungguhnya telah jelas hukum serta sangsi bagi pelakunya. Namun, korupsi
telah mengalami kulturalisasi dan sistematisasi, sehingga pelanggaran serta
sanksi terhadapnyapun menjadi demikian lemah, rentan, dan akhirnya tak berdaya.
Ketidakberdayaan negara itu akan berimbas pada agama secara teologis, cultural,
dan institusional.[17]
4. Konsep Tanggung
Jawab
empiris membuktikan betapa banyak orang sejak zaman
dahulu hingga saat ini slalu menginginkan sesuatu dengan mudah sehingga mereka
menemuan inovasi-inovasi yang serba instant, banyak yang masih belum memahami
arti tanggung jawab yang diawali dengan adanya suatu kepercayaan yang
diterimanya. Kepercayaan yang diperoleh seseorang merupakan awal dari
kesuksesan namun tak henti disitu, maka apa yang telah diembankan perlu
dipertanggung jawabkan.[18]
Tanggung jawab tidak hanya diperlakukan secara
horizontal, namun lebih jauh dari itu harus dipertanggung jawabkan kepada Tuhan
yang Maha Esa.
5. Konsep Keadilan
Keadilan dan kebenaran merupakan suatusikap sekaligus
perbuatan yang seharusnya dijalankan setiap manusia dalam kebersamaannya dengan
orang lain. Keadilan dan kebenaran merupakan syarat bagi tetap terpeliharanya
kedamaian dan kesejahteraan hidup manusia bersama orang lain.
Meskipun dalam perundang-undangan kita korupsi tidak
diancam dengan hukuman yang cukup berat maka seakan menjadi adat dan tradisi,
dalam prakteknya korupsi itu amat mudah ditutup-tutupi, dialihnamakan dengan
peristilahan yang amat manipulatif dan hipokrit, juga terdapat suatu sistem
yang menjadikan tindak korupsi seakan-akan dapat dibenarkan dan bahkan nyaris
menjadi suatu keharusan.
Dalam perspektif Budhisme antara keadilan dan
korupsi yaitu; siapapun orangnya kalau dalam diri pribadinya berkembang nafsu
egois yang berlebihan, maka sulit untuk berlaku dan bertindak adil. Yang akan
berkembang justru sebaliknya, inilah suatu perbuatan yang merugikan orang lain.
[19]
2.7
Kepemimpinan Pemimpin Bersejarah
Dalam kode etik di Indonesia telah dikupas beberapa
Poin penting menjadi seorang pemimpin, diantaranya pemimpin harus berperilaku
adil, berperilaku jujur, berperilaku arif dan bijaksana, bersikap mandiri,
berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri,
berdisiplin tinggi, berperilaku rendah hati, serta bersikap profesional.[20]
Adapun beberapa tokoh pemimpin yang bersejarah
antara lain:
1.
IR.
SOEKARNO
Sekelumit kepemimpinan mantan presiden RI yang
meninggal dunia pada 21 Juni 1970 ini sering dikenal dengan sebuta Bung Karno.
Dia adalah satu diantar dua tokoh yang menandatangani teks Proklamasi
Kemerdekaan RI. Berguru pada HOS Cokroaminoto sehingga berpemiiran islam dan
seorang mahasiswa Sekolah Tehnik Bandung yang membawanya ke alam pemikiran
barat.
Integritas yang dimiliki Bun Karno membuatnya tidak
merasa minder bahkan takut berhadapan dengan bangsa lain, dirinya pun seorang
yang terpandang dan terkenal di banyak halayak. Beliau ring kali menyelesaikan
persoalan-persoalan rumit yang terjadi
di masyarakat dengan menggunakan alam pemikirannya sendiri, seperti NASAKOM,
PARTAI PELOPOR, ataupun FRONT NASIONAL, merupakan bukti kerja Bung Karno yang
seolah-olah berjalan mengatasi logika. Ini yang membuat kehadirannya dalam
sejarah politik Indonesia terasa sangan kontroversional, tak mengapa, dengan
keunikan cara berfikirnya itulah ia dapat merenggut 22 gelar Doktor kehormatan
di 15 negara karna memang memiliki bobot ilmiah.
Bung Karno adalah seorang aktor yang sanggup
memainkan emosi massa sesuai dengan yang diinginkannya, dia sanggup membuat
massa rela berkorban jiwa dan raga, namun meski demikian beliau tidak pernah
sanggup melihat prtumpahan darah anak bangsanya, karena itu, sikap politiknya
sangat akomodatif.
Beliaupun merupakan tokoh yang memiliki wibawa
tinggi sehingga siapapun enggan kepadanya. Tak hanya itu, beliau pula memiliki
potensi kreativitas tinggi. Seorang pemimpin harus sadar bahwa anggotanya
berharap sangat banyak terhadap mereka, namun seperti yang diutarakan Burns 1978, Mazlish 1981, Tucker
1982 bahwa banyak sekali
keinginan anggota yang melebihi kemampuan pemimpinnya. Seharusnya, seorang
pemimpin yang baik tidak pernah mengeluh. Dia harus memiliki kreativitas tinggi
tidak hanya mampu untuk memanipulasi dan membelokkan keinginan massa agar
sesuai dengan kemampuannya, lebih penting lagi mereka harus mampu menjaga image
mereka bahwa dirinya benar-benar dibuthkan.[21]
2.
KHALIFAH
UMAR BIN KHATAB
Umar merupkan tooh paling berpengaruh dari 100 tokoh
yan dikemukakan oleh Michael
H. Hart dalam bukunya.
Penaklukan-penaklukannya yang secepat kilat, pantaslah islam bisa tersebar luas
seperti saat ini.
Sikap wibawanya mampu menaklukkan seluruh musuhnya,
tak hanya itu beliau pun merupakan sosok pemimpin yang tak pernah memandang
secara hierarkis antara jabatan yang ia duduki dengan rakyatnya. Sebagaimana
kisah saat ia menerima makanan manis yang dikirmkan oleh Gubernur Azerbeijan,
lalu pada utusan pembawanya ia bertanya, “apakah makanan seperti ini
merupakan makanan umum bagi orang-orang sana?” lalu utasan menjawab, “bukan,
melainkan makanan golongan atas.” Mendengar itu tubuh Umar bergetar, seraya
berkata, “mana untamu? Mawalah pemberian ini dan kembalikan kepada
pengirimnya serta sampaikan pesanku padanya, (takutlah kepada allah dan
kenyangkanlah kaum muslimin terlebih dahulu dengan makanan yang biasa kamu
makan)”
Dari kisah diatas pula menggambarkan bagaimana
beliau berperilaku adil antara mereka yang atasan dengan kaum muslimin
biasanya, sebagaimana al-Qur’an surat Al-A’raf 7:29 menjelaskan:
قل امر ربي بالقسط
“katakanlah:
tuhanku menyuruh untuk menjalankan keadilan”
Umar merupakan Kholifah yang teguh lagi berhati-hati
dalam masalah harta dan dalam menjaga perasaan rakyatnya. [22]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari paparan penulis
secara singkat diatas, kiranya penulis menyimpulkan sebagai jawaban dari rumusan masalah yang termaktub diatas :
1.
Good Governance dapat
dipadankan dengan istilah pemerintahan
yang baik, bersih, dan berwibawa, serta dalam praktiknya slalu efektif,
efisien, jujur, transparan, dan bertanggung jawab (Clean Governance).
2.
a. menagemen organisasi dalam menerjemahkan dan menyelaraskan tujuan
birokrasi.
b. budaya kerja dan
organisasi pada birokrasi.
c. kualitas sumberdaya manusia
yang dimiliki birokrasi.
d.
dan kepemimpinan birokrasi yang efektif dan kordinasi kerja pada birokrasi.
3. Begitu
kronisnya penyakit korupsi di Indonesia mengakibatkan upaya pengawasan yang
dilakukan oleh pemerintah belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Korupsi yang
dilakukan secara sistemik dan melibatkan pelaku yang luas hanya bisa
ditanggulangi dengan pendekatan yang komprehensif, strategis, dan massif baik
struktural maupun kultural. Cultural yang dimaksud diarahkan kepada usaha membangun
kesadaran publik untuk memperkuat gerakan “Anti Korupsi”.[23]
Salah satunya dengan Moral Force, hal ini dapat meminimalisir
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam tubuh birokrasi dan masyarakat
sendiri pada umumnya.
4. a) Memiliki potret keadaan birokrasi setelah
reformasi dilakukan. b) Adanya kecenderungan dalam kepemimpinan, budaya
kompromisme, saling melindungi dan lain sebagainya masih sering kali terjadi.
c) Pemimpin harus peka dan mempunyai kemampan untuk dapat menghargai bawahan. d) Pemimpin harus memiliki
kemampuan dalam tafsir yang sederhana. f) Harus mampu memposisikan dukungan asset bagi pencapaian sebua
perubahan. g) Pemimpin harus terus belajar terbuka terhadap keberadaan
gagasan-gagasan baru sekalipun dari bawahannya. h) Menjadi teladan dalam
kepemimpinan, dalam kerangka reformasi birokrasi.
5. dalam
internasional kode etik terdapat a) Conflict of Interest (Larangan Konflik Kepentingan). b) Disclosure of Assets (Pelaporan Harta Kekayaan). c) Acceptance of Gifts or Other Favours (Larangan
Grativikasi). d) Confidential Information (Rahasia Jabatan). e) Political Activity (Kegiatan Politik) f) General Principles (Prinsip Umum).
6. dalam
kepemimpinan islam seorang pemimpin harus memegang akan konsep hati nurani,
konsep kejujuran, konsep amanah, konsep bertanggung jawab, konsep keadilan.
7. Teladan
pemimpin yang paling fenomenal antara lain Ir. Soekarno dan Umar bin Khatab.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Asshiddiqie,
Jimly. 2015. Edisi kedua. Peradilan Etik
dan Etika Konstitusi.
Jakarta: Sinar Grafika.
2. Yunahar,
Ilyas Dkk. 2004. Edisi Revisi Satu. Korupsi
Dalam Perspektif Agama-Agama. Yogjakarta: KUTUB.
3. Imawan,
Riswandha. 1998. Membedah Politik Orde
Baru. Yogjakarta: Pustaka Pelajar Offset.
4. Ubaidillah
& Abdul Rozak. 2015. Edisi Revisi. Cet XII. Pendidikan Kewarganegaraan,
Pancasila, Demokrasi, HAM, dan
Masyarakat Madani. Jakarta: Kencana.
5. Hayat.
2017. Edisi Pertama. Menagemen Pelayanan
Publik. Jakarta: Rajawali Pers
6.
Jurnal
Borneo Administrator/ volume 10/ No. 1/ 2014/ aktualisasi pemimpin dalam
pelayanan publik menuju Good Governance/ Hayat.
7.
Bambang
Waluyo. Optimalisasi Pemberantasan Korupsi Di Indonesia. Jurnal Yuridis
Vol. 1 No. 2, Desember.
8.
Muladi,
KONSEP Total Enforecement Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korpsi, Makalah
disampaikan dalam Seminar Nasional “Korupsi, Pencegahan dan Pemberantasannya”.
Lembaga RI dan ADEKSI-ADKASI, Jakarta, 8 Desember 2005.
[1] A. Ubaedillah & Abdul
Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat
Madani,Kencana, Jakarta, 2015, Hlm. 198.
[4] Jurnal Borneo
Administrator/ volume 10/ No. 1/ 2014/ aktualisasi pemimpin dalam pelayanan
publik menuju Good Governance/ Hayat, Hlm: 60
[6] Dr. Riswandha Imawan, Membedah
Politik Ode Baru, Pustak Pelajar, Yogyakarta, 1998, hlm. 267-268.
[8] Bambang Waluyo, Optimalisasi
Pemberantasan Korupsi Di Indonesia, Jurnal Yuridis Vol. 1 No. 2, Desember,
hlm. 171.
[9] Muladi, KONSEP Total
Enforecement Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korpsi, Makalah disampaikan
dalam Seminar Nasional “Korupsi, Pencegahan dan Pemberantasannya”. Lembaga RI
dan ADEKSI-ADKASI, Jakarta, 8 Desember 2005, hlm 4-5.
[10] Bambang Waluyo, Optimalisasi
Pemberantasan Korupsi Di Indonesia. Jurnal Yuridis Vol. 1 No. 2, Desember,
hlm. 174.
[11] Bambang Waluyo, Optimalisasi
Pemberantasan Korupsi Di Indonesia. Jurnal Yuridis Vol. 1 No. 2, Desember,
hlm. 177.
[13] Jimly Asshiddiqie, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi, Sinar
Grafika, Jakarta, 2015, Hlm. 145-149.
[14] Dsr. H. Yunahar Ilyas Dkk, Korupsi dalam perspektif Agama-Agama, KUTUB,
Yogyakarta, 2014, Hlm. 40.
[16] Dsr. H. Yunahar Ilyas Dkk, Korupsi dalam perspektif Agama-Agama, KUTUB,
Yogyakarta, 2014, hlm. 59.
[17] Dsr. H. Yunahar Ilyas Dkk, Korupsi dalam perspektif Agama-Agama, KUTUB,
Yogyakarta, 2014, hlm. 99-107.
[20] Prof. Dr. Jimly
Asshiddiqie, S.H., Peradilan Etik dan Etika Konstitusi, Sinar Grafika,
Jakarta, 2015, Hlm. 151-173.
[21] Riswadha Imawan, Membedah
Politik Orde Baru, Pusaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 1998, Hlm. 272-275.
[22] Dsr. H. Yunahar Ilyas Dkk, Korupsi dalam perspektif Agama-Agama, KUTUB,
Yogyakarta, 2014, hlm. 254-257.
Komentar
Posting Komentar