“Sistem Pemerintahan Presidensial dalam Penduduk yang Mayoritas Muslim”
OLEH:
MAULIDA MAULAYA HUBBAH
PRODI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS HUKUM ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
Founding Fathers membentuk suatu negara dengan sistem pemerintahan yang berbeda, sesuai dengan keberadaan suatu negara di masa silam dan tujuan negara di masa yang akan datang. Baik itu sistem pemerintahan Monarki, Demokrasi, Aristrokrasi dsb. Begitupun dengan model kepemimpinan yang telah ditetapkan, ada yang berupa presidensial ada pula yang parlementer dst.
Indonesia
merupakan salah satu negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial,
yang mana seorang presiden merupakan pemimpin tunggal (kekuasaan tertinggi) di
tanah air ini. Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat 1 UUD 1945 yang
berbunyi “Bahwa Presiden Republik Indonesia memegang penuh kekuasaan
pemerintahan menurut Undang Undang Dasar”.
Dikaji
dalam tolak ukur penduduk yang mayoritas muslim, penggunaan sistem pemerintahan
presidensial menjadi kajian dimanakah kemudian posisi sistem pemerintahan
Islamnya?
Dalam
ketatanegaraan islam, sistem khilafah dan sistem pemerintahan islam
merupakan suatu epistemologi (pemahaman) yang berbeda namun memiliki ontologi
(substansi) yang sama. Pemerintahan ini dipimpin oleh seorang imam yang disebut
sebagai khalifah yang berarti pengganti atau penerus sebab, secara
langsung atau tidak langsung ia merupakan pengganti Rasul, yang memikul dua
tugas, yakni menjadi seorang penjaga agama dan mengatur dunia. Oleh karenanya
sistem pemerintahan ini kemudian lazim disebut khilafah (kekhalifaan).
Tidak
satupun dari Al-Qur’an maupun penjelasan nabi yang menjelaskan secara eksplisit
harus bagaimanakah sistem pemerintahan suatu negara itu. Maka kemudian meskipun
penduduk suatu negara mendominasi seorang muslim, tidak menutup kemungkinan
atau bahkan menafikan perkara inovasi bentuk sistem pemerintahan negara sebab
itu disesuaikan dengan kehendak founding fathers terdahulu.
Sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh HR. Muslim, No. 2363:
انتم اعلم بامر
دنياكم
Artinya, “kamu lebih mengetahui urusan duniamu”
Maka
Islam hanya memaparkan prinsip-prinsip yang mendasari sistem pemerintahan
Islam, Menurut Tahir Azhary[1] menetapkan 5 (lima) prinsip dasar yang harus dipegang teguh oleh
suatu negara dalam tatanan kenegaraan.
Pertama,
menjadikan kekuasaan sebagai amanah. Keyakinan terhadap Allah sebagai sumber segala suatu
termasuk, kekuasaan dan kedaulatan merupakan fundamen utama yang di perlukan
untuk menciptakan bagunan masyarakat Islam dan bagunan negara dan pemerintah.
Dan imbasnya adalah adanya asas tauhid yaitu pengakuan atas keesaan Tuhan,
membawa manusia kepada asas yang persamaan, persaudaraan, dan kebebasan yang
merupakan beberapa prinsip yang terdapat pada masa permulaan pemerintahan Islam
di masa nabi.
Kedua,
senantiasa menjadikan Musyawarah sebagai tumpuan dalam berunding
menyelesaikan perkara, menemukan solusi, maupun menyepakati keputusan
kenegaraan. Salah satu dokrin pokok yang membedakan teori politik sunni dan
syi’ah adalah dalam hal mekanisme pemilihan pemimpin atau khalifah. Dalam
konsensus sunni, seorsng pemimpin harus di tetapkan berdasarkan pemilihan atau
musyawarah, baik pemilihan secara langsung atau tidak. Sedangkan menurut syi’ah
pemimpin di tetapkan berdasarkan penunjukan. Berkenaan dengan prinsip
musyawarah Al-Qur’an telah menyebutkan dalam Surat Al-Imron Ayat 159 . tak
hanya itu, fakta historis membuktikan bahwa betapa seringnya Nabi Muhammad
dengan para sahabatnya sebelum menggambil keputusan penting menyangkut urusan
kemasyarakatan dan kenegaraan. Bahkan nabi telah menjadikan prisip musyawarah
ini sebagai dasar dalam sistem pemerintahannya.
Ketiga,
berpegang teguh pada prinsip keadilan politik, prinsip ini
merupakan nilai dasar bagi regulasi bernegara. Keadilan diinstitusionalisasikan
dalam aturan-aturan hukum yang menjamin keadilan publik untuk melindungi
hak-hak asasi warga negara atas dasar prinsip persamaan.
Keempat,
senantiasa menjalin kultul kritik yang sehat, dalam konteks ini
umat muslim di perkenankan bahkan diharapkan untuk senantiasa melakukan kritik
terhadap para penguasa. Kritik ini bertujuan agar proses pengambilan keputusan
di lapangan tidak membawa kerusakan di masyarakat. Perlu disadari kritik yang
disebutkan, bukanlah kritik yang bersifat destruktif.
Dan
yang kelima yakni, meneguhkan prinsip perlindungan terhadap Hak Asasi
Manusia, dalam ajaran islam bentuk perlindungan terhadap hak-hak asasi ini
bertumpu pada tujuan di turunkannya syari’at islam, yaitu melindungi dan
memelihara kepentingan hidup manusia baik materil maupun spritual, individu dan
sosial. Agama islam telah memberikan pandangan atau prinsip-prinsip yang harus
dianut oleh umat islam di dalam menjalankan pemerintahan tentang bentuk
Negaranya. Dimana sudah jelas dalam Al-Qur’an dalam firman Allah yang artiya
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sehingga kaum itu
merubah nasibnya sendiri”.
Begitupun
K.H. Afifuddn Muhajir dalam bukunya
Fiqh Tata Negara menyebutkan tiada teks yang menjelaskan secara
langsung terkait bagaimana seharusnya suatu negara berdiri, bagaimana sistem
pemerintahannya, pemilihan pemimpinnya maupun bagaimana mekanisme
keberlangsungan suatu negara, namun yang perlu ditekankan adalah bagaimana kita
selaku umat muslim tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip islam. Adapun
prinsip tersebut antara lain pertama, kesetaraan (المساواة). Adanya kesetaraan antar umat manusia merupakan prinsip
islam yang membangun atas ikhtikad bahwa seluruh manusia adalah sama baik
derajat, kewajiban, hak-hak, meskipun berbeda atnis, ras, suku dll.
Kedua,
keadilan (العدالة). Merupakan
prinsip asasi yang sangat ditekankan dalam islam. Sebab perintah berbuat adil telah
ditaukitkan dalam Alquran.
Ketiga,
musyawaroh (الشورى). Salah satu ayat
al-qur’an yang menjadi acuan prinsip syura dalam Islam adalah QS.
Asy-Syuura(42):38 .....وامرهم شورى بينهم.......
yang artinya “....Urusan mereka (diputuskan melalui) musyawarah di antara
mereka...”
Keempat,
kebebasan (الحرية). Kebebasan merupakan
hak yang melekat dan tidak pernah lepas dari manusia sebagai makhluk yang
mendapat anugerah kemuliaan (al-karamah) dari Allah.
Kelima, pengawasan rakyat (رقابة الامة).
Dalam syariat Islam, setiap rakyat mempunyai hak atau kewajiban untuk mengawasi,
mengontrol, menasehati, dan mengkritik pemimpin yang ia pilih yang berorientasi
pada kebaikan bersama.[2]
Dari berbagai prinsip yang telah disebutkan, maka tak perlu kiranya
kita menentang apapun yang telah terbentuk dalam negara ini. Membangun negara
bukanlah sesuatu hal yang mudah, menyesuaikan secara kultural dan keadaan
sosiologis masyarakat serta tak luput secara historis perlu diperhatikan. Cukuplah
memasukkan substansi atau ruh Islam dalam tatanan kenegaraan tanpa harus
mengubah simbol negara yang telah ada terdahulu sebab segalanya telah final dan
usai. Kita sepakat Ideologi Pancasila bersifat final dan NKRI harga mati. Sebuah
hadist menyebutkan:
السلطان ولي من لا وليله
“Negara adalah perlindungan bagi mereka yang tidak memiliki
pelindung”
negara apapun bentuk sistemnya, sejauh bisa memfasilitasi,
menjamin, melindungi pelaksanaan agama maka ia dapat diakui secara sah menurut syara’.
Terlebih di Indonesia, meski tidak menjadi landasan secara tekstual, namun
Islam menjadi spriti dalam pembentukannya. Maka Islam membenarkan keberadaan
negara dengan sistem apapun selaras sama dengan tujuan syariah, mampu
menjaga agama, harta, jiwa, akal, serta keturunan.
Hal ini bisa dilihat oleh dasar putusan NU, awal 1355/ 9 Juni 1936
tentang pengakuan Indonesia sebagai “Darul Islam”, dengan merujuk pada
kitab bughyah al-Mustarsyidin, Hasyiyah al-Bujairimy, & Nihayah
al-Muhtaj dengan menganalogikan:
ان كل محل قدر اهله فيه على الامتناع من الحربيين صاردار الاسلام
“Setiap tempat atau wilayah yang penduduknya (umat Islam)
mampu mencegah terhadap serangan kaafir harbi maka ia menjadi darul Islam”
Dengan pernyataan ini maka, Indonesia merupakan salah satu darul
Islam (Daerah Islam) bukan Daulah Islamiyah (Negara Islam), oleh
karenya, sistem pemerintahan Presidensial boleh saja diterapkan meskipun
berkependudukan mayoritas muslim.[3]
[3] Zaini Rahman, Fiqh
Nusantara dan Sistem hukum Nasional, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2016, hlm:
106-107
Komentar
Posting Komentar