Sejarah Bantuan Hukum di Indonesia
OLEH:
MAULIDA MAULAYA HUBBAH
PRODI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS HUKUM ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr. wb.
Asumsi yang hadapi kali ini bahwa hukum masih menjadi sesuatu yang sulit
dipahami oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia. Hukum dianggap menjadi
sisi lain dari kehidupan masyarakat, bahkan sering dianggap sebagai “musuh”
yang tidak harus dikenal, diketahui atau dipahami. Hal ini disebabkan salah
satunya karena rendahnya pamahaman masyarakat terhadap hukum itu sendiri maupun
fungsinya. Hal demikian muncul sebab keterbatasan informasi dan kesulitan dalam
memahami substansi hukum yang berlaku. Sebab selain untuk mengatur, hukum juga
dapat membantu untuk menegakkan keadilan dan mengambil hak-hak yang terampas,
hal ini yang disebut sebagai bantuan hukum.
Hal yang demikian, perlu kita telaah lebih mendalam, dikupas secara satu persatu sehingga dapat
diketahui hukum pada dasarnya tidak hanya seperti yang dipahami secara asumsi
belaka oleh masyarakat Indonesia, sehinga sifat apatis dalam menilai hukum tak
lagi muncul. Oleh karena itulah kemudian, penulis berinisiatif untuk mengkaji
secara sistematis dari hal paling mendasar terkait bantuan hukum yang dimuat
dalam tema “Sejarah Perkembangan Bantuan Hukum di Indonesia”
Kemudian kami sampaikan Terima kasih yang begitu
sangat kepada Ibu Rina Suryanti, M.HI. sebagai dosen pembimbing mata kuliah Bantuan Hukum Fakultas Syariah Institut
Agama Islam Negeri Jember yang telah membimbing dan mengajari penulis hingga
saat ini.
Demikian pengantar yang dapat kami sampaikan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat, Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua
pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai
akhir.
Wassalamu’alaikum wr.wb…....
06
- Oktober - 2018
Penulis,
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kebanyakan sifat apatis masyarakat terkait hukum
mengakibatkan tidak mengertinya sebagian golongan terhadap hukum itu sendiri.
Adanya hukum hanya dinggap sebagai seperangkat aturan-aturan saja, padahal
faktanya hukum juga berlaku untuk membantu menegakkan keadilan dan mengambil hak-hak yang
terampas, hal ini yang disebut sebagai bantuan hukum.
Hukum sebagai kaidah yang mengatur masyarakat
seharusnya dapat dijadikan pedoman bagi setiap orang yang melakukan interaksi
(baik berupa perilaku maupun hubungan hukum) antarsesama dalam masyarakat,
sebab sejatinya manusia sebagai zoon politicon tidak dapat berdiri
sendiri. Hal ini tentu dapat terwujud apabila orang atau masyarakat yang
bersangkutan benar-benar mengerti substansi yang diatur, serta memahami hak dan
kewajiban konstitusional yang menjamin dalam hukum yang berlaku.
Berbicara mengenai bantuan hukum maka perlu dipahami secara
sistematis mulai awal terkait bantuan hukum, sehingga pemahamannya secara
fundalemtal. Hal awal yang perlu diketahui adalah historis adanya bantuan hukum
di Indonesia. Sehingga dapat diketahui adanya secara menyeluruh yang akan kami
bahas berikutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Bantuan Hukum di
Indonesia
Bantuan hukum pada dasarnya adalah
kewajiban setiap advokad untuk memberikan bantuan yang dilatarbelakangi oleh
sifat kedermawanan (charity).
Dalam bahasa Frans Hendra Winata, tugas advokat adalah mengabdikan dirinya pada
masyarakat sehingga dia dituntut untuk selalu turut serta dalam penegakan hak
asasi manusia (HAM), dan dalam profesinya ia bebas untuk membela siapapun.[1]
Bantuan hukum telah dilaksanakan
oleh masyarakat Barat sejak zaman Romawi. Saat itu bantuan hukum didasarkan
pada nilai-nilai moral dan lebih dianggap sebagai suatu pekerjaan yang mulia,
khususnya untuk menolong orang-orang tanpa mengharapkan dan/atau menerima
imbalan atau honorarium. Bantuan hukum ini lebih banyak dianggap sebagai
pekerjaan memberi jasa di bidang hukum tanpa suatu imbalan.
Bantuan hukum di Indonesia adalah legal
institution (lembaga hukum). Awalnya bantuan hukum tidak dikenal dalam
sistem hukum tradisional, antuan hukum baru dikenal di Indonesia sejak masuknya
atau diberlakukannya sistem hukum Barat di Indonesia (kongkordasi), yang mana
bermula pada tahun 1848 ketika di negeri Belanda terjadi perubahan besar dalam
sejarah hukumnya, pada tanggal 16 Mei 1848 No.1, perundang-undangan baru di
negeri Belanda tersebut juga diberlakukan di Indonesia, antara lain peraturan
tentang susunan kehakiman dan kebijaksanaan peradilan (Reglement of de Regterlijke
Organisaticen het beleid der Justitie), yang lazim disingkat dengan R.O.
Dalam peraturan hukum inilah diatur
untuk pertama kalinya “Lembaga Advokat” sehingga dapat diperkirakan bahwa
bantuan hukum dalam arti yang formal baru mulai di Indonesia sekitar pada
waktu-waktu tersebut. Pada masa itu,
penduduk Indonesia dibedakan atas 3 golongan berdasarkan Pasal 163 Ayat (1) Indische
Staatsregeling (IS), antara lain:
· Golongan Eropa.
Yang
termasuk golongan ini adalah orang Belanda, semua orang yang bukan Belanda
tetapi berasal dari Eropa, orang Jepang, dan anak sah dari golongan Eropa yang
diakui undang-undang.
· Golongan Timur Asing.
Yang
termasuk dalam golongan Timur Asing adalah golongan yang bukan termasuk dalam
golongan Eropa maupun golongan Bumiputera.
· Golongan Bumiputera.
Adanya penggolongan terhadap penduduk Indonesia pada masa itu
menyebabkan adanya perbedaan antara golongan yang satu dengan golongan yang
lain dalam banyak bidang kehidupan, seperti bidang ekonomi, sosial, dan politik
kolonial, dimana dalam semua bidang tersebut golongan Bumi putera menempati derajat yang lebih rendah daripada golongan Eropa
dan Timur Asing. Perbedaan-perbedaan tersebut juga berimplikasi pada dikotomi
sistem peradilan di Indonesia. Pada masa kolonial Hindia Belanda, dikenal
adanya 2 (dua) sistem peradilan. Pertama, hierarki peradilan untuk orang-orang
Eropa dan yang dipersamakan yang jenjang peradilannya terdiri atas Residentiegerecht
untuk tingkat pertama, Raad van Justitie untuk tingkat banding, dan
Mahkamah Agung (Hogerechtshof). Kedua, hierarki peradilan untuk
orang-orang Indonesia dan yang dipersamakan, yang meliputiDistrictgerecht,
Regentschapsgerecht, dan Landraad.[3]
Demikian pula dengan hukum acara yang mengatur masing-masing sistem
peradilan tersebut berbeda untuk acara pidana maupun acara perdata. Peradilan
Eropa berlaku Reglement op de Rechtsvordering (Rv) untuk acara
perdatanya dan Reglement op de Strafvoerdering (Sv) untuk acara
pidananya. Kemudian bagi Peradilan Indonesia berlaku Herziene Inlandsch
Reglement (HIR), baik untuk acara perdata maupun acara pidananya.
Apabila diperbandingkan, HIR memuat ketentuan perlindungan terhadap
kekuasaan pemerintah yang jauh lebih sedikit daripada kitab undang-undang untuk
orang Eropa. Sebagai contoh, bagi orang-orang Eropa dikenal kewajiban legal
representation by a lawyer baik perkara perdata maupun pidana, hal ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa mereka telah mengenal lembaga yang
bersangkutan di dalam kultur hukum mereka (Belanda) dan karenanya cukup diatur
didalam undang-undang tentang ketentuan bantuan hukum sebagaimana yang dikenal
di negara-negara yang telah maju, hal ini didasarkan pada pemikiran para pakar
hukum alumni tamatan sekolah hukum di Belanda, antara lain Mr. Sartono, Mr.
Sastro Moeljono, Mr. Besar Mertokoesoemo, dan Mr. Ali Sastroamidjoyo. Di antara
mereka, Mr. Besar Mertokoesoemo merupakan advokat pertama bangsa Indonesia yang
membuka kantornya di Tegal dan Semarang pada sekitar tahun 1923.
Para
advokat Bumiputera tersebut, baik yang menyelesaikan studinya di negeri Belanda
maupun di Batavia, merupakan penggerak pelaksanaan bantuan hukum di Indonesia
walaupun pada awalnya motivasi para advokat tersebut adalah sebagai bagian dari
pergerakan nasional Indonesia terhadap penjajah. Menurut Abdurrahman,
berdasarkan motif yang demikian, walaupun pemberian bantuan hukum ini berkaitan
dengan jasa advokat yang bersifat komersiil, karena ia bertujuan khusus untuk
membantu rakyat Indonesia yang pada umumnya tidak mampu memakai advokat-advokat
Belanda, hal ini sudah dapat dipandang sebagai titik awal dari program bantuan
hukum bagi mereka yang tidak mampu di Indonesia. Pada masa penjajahan bangsa
Jepang, tidak terlihat adanya kemajuan dari pemberian bantuan hukum.[4]
Awal Kemedekaan
Keadaan yang sama
kira-kira juga terjadi pada seputar tahun-tahun awal setelah bangsa Indonesia
menyatakan proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945 karena seluruh bangsa sedang
mengkonsentrasikan dirinya untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan bangsa. Demikian pula setelah pengakuan kedaulatan Rakyat Indonesia pada
tahun 1950 keadaan yang demikian relatif tidak berubah.
Periode 1950-1959
Setelah Indonesia mencapai
pengakuan kemerdekaannya pada tahun 1950, maka sampai dengan pertengahan tahun
1959 (yaitu saat Soekarno mengambil oper kekuasaan dengan mengganti
konstitusi), keadaan tersebut di atas tidak banyak berubah. Memang pluralisme hukum di bidang peradilan dihapuskan sehingga
hanya ada 1 (satu) sistem peradilan untuk seluruh penduduk (Pengadilan Negeri,
Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung). Demikian pula hanya berlaku 1 (satu)
hukum acara bagi seluruh penduduk. Akan tetapi sayang sekali yang dipilih
sebagai warisan dari sistem peradilan dan perundang-undangan kolonial
adalah justru yang bukan lebih maju
melainkan yang lebih miskin, yaitu peradilannya bukan Raad van Justitie melainkan
Landraad. Hukum acaranya bukan Rechtsvordering melainkan HIR.
“Hal ini membawa akibat
bahwa banyak ketentuan-ketentuan hukum yang menjamin bantuan hukum yang berlaku
bagi orang Eropa tidak ikut diwarisi ke dalam perundang-undangan yang berlaku
setelah kemerdekaan. Dengan kata lain, yang berlaku
sejak tahun 1950 sampai saat ini adalah sistem peradilan dan peraturan hukum
acara dari zaman kolonial khusus bagi Bangsa Indonesia yang sangat miskin
menjamin ketentuan-ketentuan mengenai bantuan hukum.[5]
Orde Lama
Pada periode ini, yang
ditandai dengan besarnya kekuasaan dan pengaruh Soekarno (hingga tahun 1965),
bantuan hukum dan profesi advokat mengalami kemerosotan yang luar biasa
bersamaan dengan melumpuhnya sendi-sendi negara hukum. Pada masa ini hukum tak
lebih sebagai “alat revolusi”. Pada masa itu, peradilan tidak lagi bebas tetapi
sudah dicampuri dan dipengaruhi secara sadar oleh eksekutif. Hakim-hakim
berorientasi kepada pemerintah karena tekanan yang dalam praktek
dimanifestasikan dalam bentuk setiap putusan yang dimusyawarahkan dulu dengan
kejaksaan. Akibatnya tidak ada lagi kebebasan dan
impartiality sehingga dengan sendirinya wibawa pengadilan jatuh dan harapan
serta kepercayaan pada bantuan hukum hilang.
Campur tangan kekuasaan eksekutif pada
pengadilan mencapai puncaknya dengan diundangkannya Undang-Undang No. 19 Tahun
1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Undang-Undang
tersebut dimuat ketentuan-ketentuan yang bertentangan secara diametral dengan
asas-asas negara hukum atau rule of law yang mengakui pengadilan bebas
sebagai unsur esensial dan memastikan. Sejak itu boleh dikatakan peranan para
advokat menjadi lumpuh dan bantuan hukum menjadi tidak ada artinya sama sekali.
Periode ini kiranya merupakan periode pahit bagi sejarah bantuan hukum di
Indonesia.
Orde Baru
Periode ini dimulai ketika gagalnya kudeta
PKI yang disusul jatuhnya rezim Soekarno. Pada mulanya atau tahun-tahun pertama
tampak ada drive yang kuat sekali untuk membangun kembali kehidupan hukum dan
ekonomi yang sudah hancur berantakan. Di samping program rehabilitasi ekonomi,
terasa sekali adanya usaha-usaha untuk menumbuhkan kebebasan berbicara,
kebebasan pers, juga kebebasan mimbar pada universitas. Independency pengadilan
mulai dijalankan dan respek kepada hukum tumbuh kembali.[6]
Usaha pembangunan kembali ini berpuncak pada
digantinya Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang kembali
menjamin kebebasan peradilan dari segala campur tangan dan pengaruh-pengaruh
kekuatan dari luar lainnya dalam segala urusan pengadilan.
Menurut ketentuan dalam Undang-Undang No. 14
Tahun 1970, untuk pertama kalinya secara eksplisit diberikan jaminan mengenai
hak atas bantuan hukum. Dalam satu bab khusus tentang bantuan hukum, terdapat ketentuan-ketentuan
bahwa setiap orang yang berperkara berhak memperoleh bantuan hukum. Juga ada
ketentuan bahwa seorang tersangka dalam perkara pidana berhak menghubungi dan
meminta bantuan penasihat hukum sejak saat dilakukan penangkapan atau penahanan.[7]
Sejalan dengan
perkembangan bantuan hukum, berkembanglah suatu ide untuk mendirikan semacam
biro konsultasi hukum sebagaimana yang pernah didirikan di Sekolah Tinggi Hukum
(Rechtshogeschool) Jakarta pada tahun 1940 oleh Prof. Zeylemaker,
seorang Guru Besar Hukum Dagang dan Hukum Acara Perdata, yang melakukan
kegiatannya berupa pemberian nasihat hukum kepada rakyat yang tidak mampu, di
samping juga untuk memajukan kegiatan klinik hukum. Diawali pada tahun 1954,
didirikan Biro Tjandra Naya yang dipimpin oleh Prof. Ting Swan Tiong yang mana
pada waktu itu lebih mengutamakan konsultasi hukum bagi orang-orang Cina. Selanjutnya, atas usulan Prof. Ting Swan Tiong yang disetujui oleh
Prof. Sujono Hadibroto (Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia), pada
tanggal 2 Mei 1963 didirikan Biro Konsultasi Hukum di Universitas Indonesia
dengan Prof. Ting Swan Tiong sebagai ketuanya. Kemudian pada tahun 1968, biro
ini berganti nama menjadi Lembaga Konsultasi Hukum, dan pada tahun 1974,
menjadi Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH). Kemudian pada tahun 1967,
Biro Konsultasi Hukum juga didirikan di Fakultas Hukum Universitas Padjajaran.[8]
Bersamaan dengan itu, berkembang pula ide
untuk mendirikan suatu organisasi atau perkumpulan bagi para advokat, pada
awalnya perkumpulan-perkumpulan advokat yang ada belum dalam bentuk satu wadah
kesatuan organisasi advokat nasional. Dimulai sekitar tahun 1959-1960 dimana
para advokat yang berasal dari Jawa Tengah berkumpul di Semarang dan sepakat
untuk mendirikan organisasi advokat yang dinamakan BALIE di Jawa Tengah.
Selanjutnya perkumpulan advokat berkembang dan bermunculan di daerah-daerah
lain, seperti Balai Advokat di Jakarta, Bandung, Medan, dan Surabaya.
Usaha pembentukan wadah
kesatuan yang sesungguhnya bagi advokat sudah lama direncanakan sejak Kongres I
PERSAHI (Persatuan Sarjana Hukum Indonesia) pada tahun 1961 di Yogyakarta
dimana pada waktu itu hadir para ahli hukum dan advokat sebagai peserta kongres.
Lalu bertepatan dengan saat berlangsungnya Seminar
Hukum Nasional I pada tanggal 14 Maret 1963 di Jakarta, tokoh-tokoh advokat
sebanyak 14 orang mencetuskan berdirinya suatu organisasi advokat yang kemudian
dikenal dengan nama Persatuan Advokat Indonesia (PAI) dengan ketuanya Mr.
Loekman Wiriadinata yang bertugas menyelenggarakan dan mempersiapkan suatu
kongres nasional para advokat Indonesia.
Berdirinya PAI tersebut mendapat perhatian
dari Pemerintah Republik Indonesia pada masa itu yang kemudian mengundang para
pengurus PAI untukikut berperan serta dalam penyusunan rancangan undang-undang
yang berhubungan dengan lembaga pengadilan dan pelaksanaan peradilan Indonesia.
Selanjutnya pada tanggal 29 Agustus 1964 diselenggarakan Kongres I/Musyawarah
Advokat yang berlangsung di Hotel Danau Solo yang dihadiri oleh
perwakilan-perwakilan advokat se-Indonesia dan kemudian pada tanggal 30 Agustus
1964 diresmikan berdirinya Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN).
Salah satu proyek PERADIN adalah pendirian
suatu Lembaga Bantuan Hukum. Hal ini terealisasi dengan didirikannya Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) di Jakarta pada tanggal 26 Oktober 1970 di bawah pimpinan
Adnan Buyung Nasution, yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Pimpinan
PERADIN tanggal 26 Oktober 1970 No. 001/Kep/DPP/10/1970, dan mulai berlaku pada
tanggal 28 Oktober 1970.24 Pada tahun 1980, Lembaga Bantuan Hukum ini berubah
nama menjadi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).25Delapan bulan
setelah berdirinya LBH di Jakarta, pengembangan LBH di daerah lainnya
meningkat, yakni dengan lahirnya Lembaga-Lembaga Bantuan Hukum di Medan,
Yogyakarta, Solo, dan Palembang. Di samping itu, beberapa kota lainnya di
daerah-daerah juga mengirimkan utusannya ke LBH di Jakarta untuk meninjau dan
mempelajari segala sesuatu mengenai LBH di Jakarta dengan maksud hendak
mendirikan Lembaga Bantuan Hukum di daerahnya.
Selama periode ini, keberadaan bantuan hukum
sangat terasa karena adanya tanggung jawab profesional para ahli hukum. Yang
penting di sini adalah adanya keinginan untuk menyumbangkan keahlian
profesional kepada rakyat miskin yang buta hukum. Pada masa ini kegiatan
bantuan hukum lebih banyak diarahkan kepada penanganan perkara (pidana,
perdata, subversi) dan sebagainya di pengadilan, dan juga di luar pengadilan
(nasihat dan konsultasi).
Memasuki Tahun 1974-1976 mulai dirasakan adanya keterbatasan-keterbatasan, baik yang sifatnya
intern maupun ekstern, misalnya keterbatasan tenaga, dana, dan organisasi,
serta kesadaran hukum yang rendah di kalangan rakyat, termasuk para pejabat.
Karena itu mulai dirasakan bahwa tidak akan mungkin efektif kegiatan bantuan
hukum itu apabila tanpa mengajak pihak lain untuk berperan serta. Di sinilah
muncul gagasan penerangan hukum, penataran hukum, dan diskusi hukum. Di sini
pula bermulanya kegiatan tambahan bantuan hukum dari penanganan perkara menjadi
penanganan perkara plus penerangan dan penataran hukum (non-litigasi).
Selama era Orde Baru, masalah bantuan hukum
tumbuh dan berkembang dengan pesat. Misalnya saja, sejak tahun 1978, banyak
bermunculan Lembaga Bantuan Hukum dengan menggunakan berbagai nama. Ada Lembaga
Bantuan Hukum yang sifatnya independen, ada Lembaga Bantuan Hukum yang dibentuk
oleh suatu organisasi politik atau suatu organisasi massa, ada pula yang
dikaitkan dengan lembaga pendidikan, dan lain sebagainya.
Pada tahun 1979 terdapat tidak kurang dari
57 Lembaga Bantuan Hukum yang terlibat dalam program pelayanan hukum kepada
masyarakat miskin dan buta hukum. Pada masa ini, terjadi perpecahan dalam tubuh
PERADIN sehingga banyak bermunculan organisasi advokat yang baru, seperti
misalnya:
·
Ikatan
Advokat Indonesia (IKADIN)
·
Asosiasi
Advokat Indonesia (AAI)
·
Ikatan Penasihat
Hukum Indonesia (IPHI)
·
Himpunan
Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI)
·
Serikat
Pengacara Indonesia (SPI)
·
Asosiasi
Konsultan Hukum Indonesia (AKHI)
·
Himpunan
Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM)
·
Asosiasi
Pengacara Syariah Indonesia (APSI).
Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2003 tentang Advokat disebutkan dalam Pasal 32 Ayat (4) perintah untuk
membentuk suatu organisasi advokat yang bersifat single bar association (wadah
tunggal) dalam jangka waktu 2 tahun setelah berlakunya Undang-Undang tersebut.
Berdasarkan perintah tersebut, dibentuklah Persatuan Advokat Indonesia
(PERADI). PERADI inilah yang sampai saat ini bertindak sebagai wadah tunggal
organisasi advokat Indonesia.
Revormasi
Selama era reformasi, banyak usaha yang
telah dilakukan untuk membentuk suatu undang-undang yang secara khusus mengatur
mengenai bantuan hukum. Namun kebanyakan ketentuan tentang bantuan hukum diatur
dalam suatu undang-undang yang tidak secara khusus mengatur mengenai bantuan
hukum, seperti Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, KUHAP, dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2003 tentang Advokat.
Merealisasikan kegiatan bantuan hukum selama
belum adanya undang-undang yang secara tegas mengatur mengenai bantuan hukum,
dikeluarkanlah Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10 Tahun
2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum, selanjutnya disebut SEMA, yang
pada dasarnya melaksanakan amanat Pasal 56 dan 57 Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan SEMA ini memerintahkan setiap
Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, dan Pengadilan TUN di Indonesia untuk
segera membentuk Pos Bantuan Hukum, selanjutnya disebut Posbakum, guna
memberikan bantuan hukum kepada masyarakat yang tidak mampu secara ekonomis.
Guna melaksanakan amanat SEMA, sejak tahun
2011 telah dibentuk Pos-Pos Bantuan Hukum di banyak Pengadilan Agama dan
Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia. Pembentukan Posbakum tersebut dilakukan
secara bertahap. Pada tahun 2011, misalnya, dibentuk 46 Posbakum di 46
Pengadilan Agama di seluruh Indonesia. Pada tahun 2012, jumlah Posbakum
bertambah menjadi 69 di 69 Pengadilan Agama di seluruh Indonesia. Pada tahun
2013, jumlah Posbakum yang ada masih tetap sama dengan tahun sebelumnya.
Pada tahun 2014, direncanakan penambahan 5
Posbakum di 5 Pengadilan Agama di Indonesia, antara lain di Pengadilan Agama
Stabat, Pengadilan Agama Cibinong, Pengadilan Agama Purwokerto,Pengadilan Agama
Tulungagung, dan Pengadilan AgamaGirimenang, sehingga total Posbakum di
Pengadilan Agama di seluruh Indonesia menjadi 74 Posbakum.
Usaha untuk membentuk suatu undang-undang
khusus mengenai bantuan hukum membuahkan hasil dengan diundangkannya Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Dengan lahirnya Undang-Undang tersebut,
pemberian bantuan hukum di Indonesia mencapai suatu ketegasan melalui tatanan
prosedural yang tegas dan pasti yang diatur dalam Undang-Undang tersebut
sehingga lebih menjamin kepastian hukum bagi perlindungan hak-hak masyarakat
miskin guna memperoleh keadilan dan persamaan di muka hukum.
2.2
Konsep Bantuan Hukum dan Perkembangannya
Dalam rangka meningkatkan
kesadaran hukum rakyat menjamin penegakan hukum dan kepastian hukum. Serta
pelayanan hukum, maka di lakukan upaya berupa gerakan agar masyarakat
mengetahui dan mengerti itu semua . di
antaranya berupa pemberian bantuan hukum.
Dalam kaitannya dengan
bantuan hukum tersebut. Secara umum dapatlah di katakan bahwa semua jenis
bantuan hukum adalah bertujuan untuk mengadakan perubahan sikap, walaupun hal itu
bukanlah merupakan tujuan akhir, akan tetapi masing-masing bantuan hukum tersebut
mempunyai tujuan yang di arahkan pada macam-macam kategori sosial dalam
masyarakat.
Bantuan hukum sebagai
suatu wawasan tentu masih berkembang, secra konseptual apabila kita melihat
pada tujuan dan orientasi, sifat, cara pendekatan dan ruang lingkup aktivitas
program bantuan hukum, khususnya bagi golongan miskin dan buta di indonesia.
Pada dasarnya dapat di kategorikan pada konsep pokok yaitu:
· Konsep bantuan hukum tradisional adalah pelayanan hukum yang di
berikan kepada masyarakat miskin secara individual. sifat dari bantuan hukum
ini pasif dan pendekatannya sangat formal-legal dalam arti melihat semua
permasalahan hukum kaum miskin semata- mata dari sudut hukum yang berlaku,
sebagai konsekuensi dari sifat dan pendekatannya pada pelayanan hukum baik di
luar maupun di luar pengadilan. Orientasi dan tujuan bantuan hukum ini adalah
untuk menegakkan keadilan untuk si miskin menurut hukum yang berlaku, kehendak mana di lakukan atas
landasan semangat charity.
· Konsep bantuan hukum tradisional yang individual npada dasarnya
merupakan konsep lama yang sejalan dengan hukum yang ada di mana bantuan bantuan
hukum pada setiap kasus yang menurut hukum beralasan untuk di bela,
penekanannya dalam konsep bantuan hukum
ini lebih kepada bantuan hukum itu sendiri, hukum yang selalu di andaikan
netral sama rasa sama rata. Hal ini menimbulkan peremasalahan dengan cukup
seringnya hukum itu pada posisi yang netral justru menguntungkan mereka yang
berkuasa dan yang berpunya[9].
Tuntutan perkembangan dan pemihakan kepada kaum miskin kaitannya dengan
bantuan hukum, pada akhirnya menggiring suatu keadaan bahwa bantuan hukum yang
tradisional itu tidaklah cukup. Menurut
T. Mulya Lubis, beberapa hal yang melatarbelakangi hal itu adalah di karenakan[10]:
1.
Sifat
bantuan hukum tradisional yang individual seperti pada pasal 259 HIR dan pasal
35, 36 dan 37 UU No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan
kehakiman. Di sini bantuan hukum kurang lebih sama dengan pelayanan
kesehatan individual yang tidak
mempertimbangkan kondisi-kondisi sosial.
2.
Sitem hukum kita menunjang sistem bantuan
hukum tradisional yang individual dan masih belum di mungkinkannya suatu
bantuan hukum kolektif dan hukum acara kita dalam artian “class action”
sebagaimana yang dikenal di Amerika.
3.
Bantuan
hukum kita masih sangat urban dan karena itu masih di ragukan apakah
bantuan hukum kita benar-benar berurusan dengan pinggiran.
4.
Sifat
hukum kita adalah pasif, sifat hukum yang pasif ini sebatulnya lebih
berperan sebagai legitimasi status quo
yang mempertahankan pola hubungan menindas antara pusat terhadap pinggiran.
5.
Karena
bantuan hukum masih terlalu terikat dangan pendekatan-pendekatan hukum semata,
kurang di perhatikan pendekatan non
hukum yang justru dapat membantu percepatan penyelesaian sengketa atau masalah
konflik sosial.
6.
Bantuan
hukum masih berjalan sendiri atau baru pada tahapan bekerjasama dengan sesama
organisasi bantuan hukum. Pada hal karena dimensi sengketa dan konflik tidak
semata bersifat hukum, seharusnya organisasi di luar LBH tidak saja memperkaya
pemahahaman kita atas konflik “Pusat” & “Pinggiran” tetapi lebih dari itu
akan mempercepat penyelesaian konflik.
7.
Bantuan
hukum belum mengarah pada terciptanya gerak sosial.
Konsep bantuan hukum konstitusional adalah bantuan hukum untuk rakyat
miskin yang di lakukan dalam rangka usaha dan tujuan lebih luas seperti:
· Menyadarkan hak- hak masyarakat miskin sebagai subyek hukum.
· Penegakan dan pengembangan nilai-nilai hak asasi manusia sebagai
sendi utama bagi tegaknya negara hukum.
Sifat dari jenis bantuan hukum ini lebih aktif di mana bantuan hukum di
berikan tidak saja secara individual akan tetapi juga kepada kelompok-kelompok
masyarakat scara kolektif, cara pendekatan yang di lakukan adalah di samping
formal legal juga melalui jalan politik dan negosiasi, oleh karena itu
aktivitas seperti kampanye penghapusan ketentuan hukum yang di anggapn
membatasi ruang gerak bagi partisipasi aktif rakyat miskin, kontrol terhadap
birokrasi pemerintah, pendidikan hukum masyaarakat, menjadi bagian yang
esensial dalam konsep bantuan hukum konstitusional.
Lingkup kegiatan bantuan hukum ini cukup luas, tidak terbatas pada
pelayanan hukum di dalam maupun di luar pengadilan . orientasi dan tujuannya
adalah usaha mewujudkan negara hukum yang berlandaskan pada prinsip-prinsip
demokrasi dan hak asasi manusia. Bantuan hukum untuk rakyat miskin di pandang
sebagai subyek hukum yang memiliki hak yang sama dengan golongan masyarakat
lain.
Sementara itu dalam kubu lembaga bantuan hukum dalam perkembangan konsep
bantuan hukum mempopulerkan “konsep bantuan hukum struktural” yang ternyata
kemudian mendapat tanggapan dan bahasan yang hangat baik dalam kalangan LBH
sendiri maupun di luar LBH. Bahkan kinipun konsep mereka ini tetap aktual dan
menjadi bahan renungan atau pemikiran untuk mengembangkan konsep bantuan hukum
di indonesia. Tampak nya dari pihak LBH sendiri hingga kini masih dinamis untuk
mengembangkannya lebih lanjut. Apabila kita kaji kiranya pemunculan dan pengembangan konsep bantuan hukum
struktural ini berpijak pada kenyataan
bahwa pemahaman terhadap keadaan yang senyatanya ada dan berkembang (dalam
masyarakat maupun dunia hukum) membuat konsep bantuan hukum tradisional yang
selama itu di terapkan tidak cukup mampu untuk di pakai sebagai dasar bekerja.
Berkaitan dengan pemunculan dan pengembangan konsep bantuan hukum
struktural, Buyung nasution pernah menyatakan bahwa: “Bantuan hukum hakikatnya
adalah sebuah program yang tidak hanya merupakan aksi kultural akan tetapi juga
aksi struktural yang di arahkan pada perubahan tatanan masyarakat yang tidak
adil menuju tatanan masyarakat yang lebih mampu memberikan nafas yang nyaman
bagi golongan mayoritas oleh karena itu,
bantuan hukum bukanlah masalah yang sederhana, ia merupakan rangkaian tindakan
guna pembebasan masyarakat dari belenggu struktur poleksos yang sarat dengan penindasan.”
Konsep bantuan hukum struktural lahir sebagai konsekuensi dari pemahaman terhadap hukum. Realitas hukum
yang kini kita hadapi adalah produk dari proses- proses sosial yang terjadi di atas pola hubungan
tertentu di tengah infra struktur masyarakat yang ada. Bila demikian halnya,
hukum itu sebenarnya merupan supra
struktur yang merupakan hasil interaksi di antara infra struktur masyarakat, oleh karena itu, selama pola
hubungan di antara infra struktur menunjukkan gejala yang timpang, maka hal
yang demikian itu akan semakin mempersulit terwujudnya hukum yang adil.
Dalam nafas seperti itu, maka bantuan hukum struktural ini tidak akan dapat
menghindarkan diri dari tujuan menata kembali masyarakat dari kepincangan
struktural yang tajam dengan menciptakan pusat-pusat kekuatan (power resources)
dan sekaligus berarti mengadakan redistribusi kekuasaan untuk melaksanakan
partispasi dari bawah. Bahkan di katakan bahwa yang penting harus di ingat di
sini adalah agar kepada rakyat miskin
mayoritas yang berada di pinggiran haris di kembalikan hak dasar mereka akan
sumberdaya politik, ekonomi, teknologi, informasi, dan sebagainya agar mereka
bisa menentukan masyarakat yang bagaimana merekankehendaki.
Dalam kerangka yang demikian maka dengan bantuan hukum struktural tampaknya
di inginkan adanya perubahan struktural, perubahan pola hubungan sosial,
artinya suatu perubahan ada hubungan yang menjadi dasar kehidupan sosial menuju
pola pengembangan hukum yang lebih
sejajar. Hal ini merupakan prasyarat bagi pengembangan hukum yang memberikan
keadilan bagi mayoritas kaum miskin di indonesia. Atau seperti yang di
kosepkan oleh GBHN terciptanya
pemerataan dan kemerataan keadilan.
Berpijak pada pemikiran di atas , maka konsep bantuan hukum struktural dapat
di cirikan sebagai berikut:
1.
Mengubah
orientasi bantuan hukum dari kekotaan menjadi kedesaan.
2.
Membuat
sifat bantuan hukum berubah menjadi aktif.
3.
Mendayagunakan
lebih banyak pendekatan-pendekatan di luar hukum.
4.
Mengadakan
kerja sama lebih banyak dengan lembaga-lembaga sosial lainnya.
5.
Menjadikan
bantuan hukum sebagai gerakan yang melibatkanpartispasi rakyat banyak (facilitator).
6.
Mengutamakan kasus- kasus (penanganannya) yang
sifatnya struktural.
7.
Mempercepat
terciptanya hukum-hukum yang responsip (responsive law) yang menunjang
perubahan struktural.
Dalam rangka pendekatan struktural tersebut maka dengan demikian kegiatan
bantua hukum tidak semata-mata meberikan pelayanan hukum terhadap kasus-kasus
yang ada, akan tetapi harus lebih mampu pula untuk memilih dan memilah serta
memanfaatkan kasus-kasus yang mampu pula untuk memilih dan memilah seerta
memanfaatkan kasus yang mampu mendorong terwujudnya kondisi bagi efektivitas
pelaksanaan hak masyarakat miskin.
Di mana pendidikan (hukum) penyebatran gagasan kesemuanya di arahkan untuk
menciptakn proses penyadaran masyarakat miskin akan hak-hak mereka linngkungan
dan kondisi ekonomi dan politik mereka harus menjadi bagian dari program
bentuan hukum struktural ini.
Namun demikian, sebagai sebuah konsep yan akan dioperasionalkan untuk
meratakan jalan bagi usaha “mengubah pola hubungan yang timpang antara pusat dan pinggiran” maka
sebuah gerakan bantuan hukum semisal bantuan hukum strukturalpun tentu masih
belum cukup, sebagaimana di sadari oleh pencetus konsep ini sejak awal dan oleh
karenanya itu merupakan suatu langkahb awal dari serangkaian pekerjaan besar
yang harus di lakukan scara simultan dalam segala bidang dan yanf memerlukan
pendekatan yang lebih menyeluruh.
BAB III
PENUTUP
1.1
Kesimpulan
1. Lika liku sejarah
bantuan hukum di Indonesia mengalami pasang surut selaras dengan berjalannya
waktu. Merupakan salah satu negara yang pernah dijajah, Indonesia menganut asas
kongkordasi yang mana mengadopsi hukum-hukum bekas negara penjajah. Bantuan
hukum awalnya masih tidak dapat dilihat kebermanfatannya apalagi eksistensinya
di awal-awal kemerdekaan, begitu pula dimasa orde lama, angin segar baru terasa
dimasa orde baru hingga mengalami perkembangan-perkembangan dimasa revormasi.
2. Bantuan hukum sebagai suatu wawasan tentu
masih berkembang, secra konseptual apabila kita melihat pada tujuan dan
orientasi, sifat, cara pendekatan dan ruang lingkup aktivitas program bantuan
hukum, khususnya bagi golongan miskin dan buta di indonesia. Sifat dari jenis
bantuan hukum ini lebih aktif di mana bantuan hukum di berikan tidak saja
secara individual akan tetapi juga kepada kelompok-kelompok masyarakat scara
kolektif, cara pendekatan yang di lakukan adalah di samping formal legal juga
melalui jalan politik dan negosiasi, oleh karena itu aktivitas seperti kampanye
penghapusan ketentuan hukum yang di anggapn membatasi ruang gerak bagi
partisipasi aktif rakyat miskin, kontrol terhadap birokrasi pemerintah,
pendidikan hukum masyaarakat, menjadi bagian yang esensial dalam konsep bantuan
hukum konstitusional.
DAFTAR PUSTAKA
Ade Irawan Taufik. 2013. Sinergisitas Peran dan Tanggung Jawab Advokat
dan Negara dalam Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma. Vol. 2, No. 1.
Febri Handayani. 2016. Bantuan Hukum di Indonesia. Yogyakarta: Kalimedi
http://digilib.unila.ac.id/3561/12/BAB%20II.pdf diakses pada tanggal 06 Oktober 2018.
abdurahman wahid dalam bukunya Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia yag
mengutip dari pendapat Adnan Buyung Nasution menjelaskan tentang perkembangan
bantuan hukum yang ada di Indonesia.
Dalam
hal ini Adnan Buyung Nasution, sebagaimana dikutip oleh Bambang Sunggono dan
Aries Harianto dalam buku Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia menuliskan terkait keadaan bantuan hukum pada
periode orde baru yang merupakan mas dimana bantuan hukum mulai berkiprah.
Lihat schyut dalam T. Mulya Lubis. Bantuan Hukum dan Kamiskinan Struktural.
T
Mulya Lubis, “ Bantuan Hukum Struktural:
Redistribusi kekuasaan dan partisipasi Dari Bawah”. Prisma No.5 Mei 198.
[1] Ade Irawan Taufik, Sinergisitas
Peran dan Tanggung Jawab Advokat dan Negara dalam Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma,
Vol. 2, No. 1, 2013, hal 59
[5] abdurahman wahid dalam
bukunya Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia yag mengutip dari
pendapat Adnan Buyung Nasution menjelaskan tentang perkembangan bantuan hukum yang
ada di Indonesia.
[6] Dalam hal ini Adnan Buyung Nasution, sebagaimana dikutip oleh
Bambang Sunggono dan Aries Harianto dalam buku Bantuan Hukum dan Hak Asasi
Manusia menuliskan terkait keadaan
bantuan hukum pada periode orde baru yang merupakan mas dimana bantuan hukum
mulai berkiprah.
[10] T Mulya Lubis, “ Bantuan
Hukum Struktural : Redistribusi
kekuasaan dan partisipasi Dari Bawah”. Prisma No.5 Mei 1981
Komentar
Posting Komentar