makalah fiqh munakahat (nikah sirri dan nikah hamil)
OLEH:
MAULIDA MAULAYA HUBBAH
PRODI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS HUKUM ISLAM
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr. wb.
Puji syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan yang Maha
Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya, kami dapat
menyelesaikan makalah yang membahas tentang “Nikah Sirri dan Nikah Hamil” makalah
ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini.
Tiada hal sempurna terlahir dari ciptaan
manusia, oleh karenanya apabila ditemui banyak kesalahan baik yang penulis
sengaja ataupun tidak, penulis memohon maaf atas hal tersebut.
Kemudian kami sampaikan Terima kasih
yang begitu sangat kepada Ibu Busriyanti,
M.Ag. sebagai dosen pembimbing mata kuliah Fiqh Munakahat Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Jember
yang telah membimbing dan mengajari penulis hingga saat ini.
Demikian pengantar yang dapat kami
sampaikan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat, Akhir kata, kami sampaikan
terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan
makalah ini dari awal sampai akhir.
Wassalamu’alaikum wr.wb…....
19
- November - 2017
Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1
Definisi Perkawinan
2.2 Pernikahan
Saat Wanita Sedang Hamil
2.3 Pernikahan Sirri
2.3 Pernikahan Sirri
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Allah menciptakan sesuatu dengan
berpasang-pasangan, laki-laki perempuan , hewan jantan dan betina, siang dam
malam dan sebagainya, manusia hidup berpasangan-pasangan menjadi suami istri
menbangun rumah tangga yang damai dan teratur. Untuk itu haruslah diadakan
ikatan dan pertalian yang kekal dan tidak mudah diputuskan, yaitu ikatan akad
nikah atau ijab kabul perkawinan. Bila akad nikah telah dilangsungkan maka
mereka telah berjanji dan setia akan membangun rumah tangga yang sakinah dan
mawadah warohmah, yang natinya akan akan lahir keturunan-keturunan dari mereka.
Dalam
hukum islam tujuan perkawianan adalah menjalankan perintah allah SWT agar
meperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dan membentuk keluarga yang
bahagia. Artinya ketika seseorang memutuskan untuk menikah, maka lembaga
perkawinan tersebut pastilah bertujuan untuk untuk menciptakan ketenangan.
Namun saat ini, proses pernikahan sering kali terdapat problematika yang
mengakibatkan pernikahan tersebut perlu diketahui keabsahannya secara hukum
seperti pernikahan saat mempelai wanita sedang dalam keadaan hamil maupun
proses pernikahan yang secara sirri.
Untuk
itulah penulis tertarik untuk membahas seulas mengenai Nikah Hamil dan Nikah Sirri
yang akan kami bahas berikutnya.
1.2.
Rumusan Masalah.
Berdasarkan hal-hal yang diuraikan di
atas maka permasalahan yang dirumuskan dalam permasalahan ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana
definisi pernikahan?
2. Bagaimana
pernikahan saat mempelai wanita sedang dalam keadaan hamil?
3. Bagaimana
pernikahan yang prosesnya dengan nikah sirri?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi
Perkawinan
Perkawinan
atau yang dalam bahasa Arab disebut pernikahan adalah suatu akad yang
mengandung diperbolehkannya wathi’ (hubungan badan) dengan lafadz nikah atau
tazwij atau terjemahannya.
Dalam
redaksi lain disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Demikian adalah yang disebutkan dalam pasal 1 Undang-Undang Perkawinan
tahun1974.
Perkawinan
disebut sebagai ikatan lahir batin, karena perkawinan bukanlah hal yang dapat
dianggap sebagai permainan. Perkawinan memiliki tanggungjawab yang amat besar.
Didalamnya terdapat perjanjian antara suami dan istri yang masing-masing
memikul kewajiban dan hak yang harus dijalankan. Substansi yang terkandung
didalamnya adalah menaati perintah Alloh dan Rasul-Nya, yaitu mendatangkan
kemashlahatan baik bagi pelaku perkawinan itu sendiri (suami istri), anak cucu,
kerabat maupun masyarakat. Oleh karena itu, perkawinan bukan hanya kebutuhan
internal antara kedua belah pihak, akan tetapi juga faktor eksternal yang
melibatkan banyak pihak.
Sebagai
suatu perjanjian yang suci ia mengandung pengertian adanya kemauan bebas antara
kedua pasangan sehingga tidak ada unsur paksaan. Ia mengikatkan tali perjanjian
atas nama Alloh bahwa kedua mempelai bermaksud membangun rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, warahmah. Hal ini sesuai dengan firman Alloh dalam surat An
Nisa’ ayat 21 :
وَكَيْفَ
تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ
مِيثَاقًا غَلِيظًا
Bagaimana
kamu akan mengambilnya kembali padahal sebagian kamu telah bergaul dengan yang
lain sebagai suami istri dan mereka (istri – istri) telah mengambil dari kamu
perjanjian yang kuat.
Hal
tersebut sebagaimana disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam bahwa perkawinan
“mitsaqan” menurut hukum islam adalah akad yang sangat kuat atau “gholiidan”
untuk mentaati perintah Alloh dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Oleh
karena itu, baik pihak laki-laki atau pihak perempuan yang mengikatkan
perjanjian itu memiliki kebebasan penuh untuk menyatakan bersedia atau tidak.
Perjanjian tersebut dinyatakan dalam ijab qabul yang harus diucapkan dalam satu
majelis. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, perkawinan tidak cukup hanya
bersandar dalam ajaran-ajaran Al Qur an dan As Sunnah, namun juga berkaitan
dengan hukum suatu negara. Sehingga perkawinan baru dinyatakan sah apabila
dilaksanakan sesuai hukum Alloh dan hukum negara.
2.2.
Perkawinan Hamil
Perkawinan
merupakan salah satu perbuatan yang disyari’atkan Islam untuk mengikat
pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom sehingga menimbulkan
hak dan kewajiban antara keduanya. Islam telah mengatur masalah perkawinan
dengan sangat rinci, dan itu ditunjukkan dalam syarat dan ketentuan yang harus
dipenuhi dalam perkawinan. Meskipun demikian, lembaga perkawinan tetap
menghadapi tantangan, bahkan bisa terancam eksistensinya ketika dihadapkan pada
problem sosial tentang masalah kehamilan yang terjadi di luar nikah. Problem
ini menjadi semakin bertambah rumit ketika dalam kehidupan sosial dewasa ini
ternyata kasus ini banyak terjadi di kalangan masyarakat. Kasus ini tidak hanya
menyangkut perbuatan zina dari para pelaku dan hukuman hudud atas perbuatannya,
melainkan juga menyangkut status dan nasib hidup bayi yang ada dalam
kandungannya. Apabila di prosentase, kemungkinan lebih banyak orang yang
menikah karena masalah hamil di luar nikah dibandingkan dengan pernikahan yang
normal.
Kawin
hamil sendiri adalah perkawinan yang dilaksanakan karena mempelai wanita pada
saat melangsungkan perkawinan tersebut dalam keadaan hamil (pernikahan karena
hamil di luar ikatan pernikahan yang sah). Dalam menjawab permasalahan ini, para
ulama berbeda pendapat, yaitu:
- Para
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa zina tidak memiliki kewajiban ber
iddah, baik wanita tersebut hamil atau tidak. Sama halnya wanita tersebut
mempunyai suami atau tidak. Apabila dia mempunyai suami, maka halal bagi
suaminya untk menyetubuhinya secara langsung. Dan jika dia tidak mempunyai
suami, maka boleh bagi laki-laki yang berzina dengannya atau orang lain
untuk menikahinya, baik dia hamil atau tidak. Hanya saja, menyetubuhinya
dalam keadaan hamil berhukum makruh sampai dia melahirkan.
- Jika
wanita yang di zinai tidak hamil, maka laki-laki yang berzina dengannya
atau laki-laki lain boleh menikahinya, dan dia tidak wajib ber iddah.
Pendapat ini di sepakati di kalangan Madzhab Hanafi. Jika yang menikahinya
adalah laki-laki yang berzina dengannya, maka dia boleh menyetubuhinya dan
anak adalah milik laki-laki tersebut jika lahir enam bulan setelah
pernikahan. Namun jika dilahirkan sebelum enam bulan, maka dia bukan
anaknya dan tidak mendapat warisan darinya.
- Sedangkan
jika wanita yang dizinai hamil, maka menurut Abu Hanifah, dia boleh
dinikahi namun tidak boleh disetubuhi sampai melahirkan. Sedangkan Abu
Yusuf dan Zafar dari Madzhab Hanafi berpendapat bahwa jika wanita yang
berzina hamil, maka dia tidak boleh dinikahi.
- Wanita
yang berzina tidak boleh dinikahi dan dia wajib beriddah dengan waktu yang
ditetapkan jika dia tidak hamil, dan dengan melahirkan kandungan jika dia
hamil. Jika ia memiliki suami, maka suaminya tidak boleh menyetubuhinya
sampai iddahnya habis. Ini adalah pendapat Rabi’ah, Ats Tsauri, Al Auza’i
dan Ishaq dari kalangan Madzhab Maliki dan Hanbali. Para ulama Madzhab
Hanbali memberikan syarat lain bagi bolehnya menikahi wanita yang berzina
yaitu taubat dari zina.
Dalam
fikih madzhab Indonesia yang terangkum dalam Kompilasi Hukum Islam, masalah ini
dijawab dalam pasal 53 yaitu:
1.
Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya.
2.
Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan
tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3.
Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan
perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.[1]
Dari
keterangan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa seorang wanita yang hamil di
luar ikatan perkawinan yang sah dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya
tanpa menunggu kelahiran anak dalam kandungannya. Perkawinan tersebut terus
berlaku selama tidak ada perceraian sehingga perkawinan yang telah dilaksanakan
tersebut tidak perlu diulang kembali meskipun setelah kelahiran anaknya.
Dasar
yang dipakai pertimbangan oleh Kompilasi Hukum Islam dalam menetapkan
perkawinan wanita hamil adalah surat An Nur ayat 3 yang berbunyi :
ٱلزَّانِى لَا يَنكِحُ إِلَّا زَانِيَةً
أَوْ مُشْرِكَةً وَٱلزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَآ إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ
وَحُرِّمَ ذَٰلِكَ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ
“Laki-laki
yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan
yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh
laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan
atas oran-orang yang mu'min”
Ayat
tersebut menjelaskan bahwa kebolehan perempuan hamil menikah dengan laki-laki
yang menghamilinya adalah suatu pengecualian, sehingga laki-laki yang
menghamilinya adalah yang tepat menjadi suaminya. Ayat tersebut juga menerangkan
bahwa haram bagi laki-laki mukmin yang baik untuk mengawininya. Hal tersebut
bertujuan untuk menjaga kehormatan laki-laki yang beriman.
2.2.1
Status Anak
Islam
secara tegas telah menyatakan tenang larangan mendekati zina. Larangan tersebut
diberlakukan karena efek dari zina adalah mengarah pada pengkaburan keturunan.
Termasuk dalam kategori jalan pengkaburan tersebut adalah pengabsahan anak
melalui nikah hamil. Hal ini karena tidak semua yang menikahi wanita itu adalah
laki-laki yang menghamilinya. Kalaupun yang menikahi itu adalah yang menghamilinya,
namun konsepsi. Janin itu terjadi sebelum pernikahannya, sehingga anak tersebut
tetap dianggap anak zina.
Dalam
konsep Islam, definisi anak sah itu didasarkan pada saat terjadinya konsepsi
janin dalam rahim ibunya. Konsepsi tersebut terjadi setelah pernikahan ayah dan
ibunya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa anak sah adalah anak yang lahir
sebagai akibat dari adanya pernikahan.
Para
ulama memberikan batasan kelahiran minimal 6 bulan setelah pernikahan. Hal ini merujuk
pada dua ayat al quran. Pertama surat (Luqman : 14) dan yang kedua (Al Ahqaaf :
15).
Pertama,
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang
ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun [1181]. Bersyukurlah kepadaKu
dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”
Kedua,
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu
bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan
susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.”
Definisi
tersebut secara otomatis mengecualikan bahwa semua anak yang lahir diluar
pernikahan adalah anak tidak sah (anak zina). Termasuk dalam pengertian ini
adalah anak yang dilahirkan dalam pernikahan, namun konsepsi janin terjadi
sebelum pernikahan. Konsep Islam ini berbeda dengan konsep yang
ditawarkan oleh Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan. Dalam KHI
pasal 99 disebutkan anak yang sah adalah:
a.
Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
b.
Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri
tersebut.
Rumusan
tersebut senada dengan rumusan Undang-Undang Perkawinan pasal 42 yang
menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai
akibat perkawinan yang sah. Dari kedua rumusan senada tersebut dapat ditarik
pengertian bahwa anak sah adalah anak yang lahir “dalam perkawinan” dan anak
yang lahir sebagai “akibat perkawinan”.
Pengertian
pertama (dalam perkawinan) memberikan implikasi bahwa semua anak yang lahir
dalam perkawinan, baik proses terjadinya konsepsi janin itu sebelum atau
setelah pernikahan dianggap sebagai anak yang sah. Dengan demikian, anak yang
dilahirkan dari perbuatan zina dapat dianggap sebagai anak sah apabila
kelahirannya terjadi dalam sebuah pernikahan.
Sedangkan
pengertian yang kedua (sebagai akibat perkawinan) memberikan pengertian bahwa
anak yang sah adalah anak yang memang benar-benar dibenihkan oleh ayah dan
ibunya dalam ikatan pernikahan. Anak yang menjadi akibat dari perkawinan adalah
anak yang sejak awal konsepsinya sebagai janin dalam kandungan ibunya terjadi
setelah ayah dan ibunya terikat pernikahan. Kelahiran anak yang merupakan
akibat perkawinan tidak hanya terjadi dalam perkawinan saja, tapi boleh jadi
kelahiran itu terjadi setelah adanya pernikahan. Maksud dari pernyataan
kelahiran setelah pernikahan adalah kelahiran yang terjadi pada saat ayah dan
ibunya sudah tidak terikat pernikahan. Hal tersebut dikarenakan perceraian
keduanya atau ayahnya meninggal namun konsepsi janin terjadi dalam pernikahan
tersebut. Konsep ini sejalan dengan konsep yang ditawarkan oleh Islam.
Dalam
ajaran Islam, anak sah itu memiliki hubungan keperdataan dengan orang tuanya,
baik ayah maupun ibunya. Hubungan tersebut berlanjut sampai kakek atau nenek
dari kedua orangtuanya dalam garis lurus ke atas. Akan tetapi bagi anak zina
(anak luar nikah) hanya mempunyai
hubungan keperdataan pada ibu dan keluarga ibunya. Hal ini sesuai dengan
rumusan KHI pasal 100 dan UUP pasal 43.
2.3.
Perkawinan Sirri
Nikah
sirri artinya adalah nikah rahasia,
lazim juga di sebut dengan nikah di bawah tangan atau nikah liar. Dalam fikih
maliki nikah sirri diartiakan nikah yang atas pesan suami, para saksi
merahasiakan untuk istrinya atau jamaahnya, sekalipun sekeluarga
setempat.selanjutnya di nytakan dalam mazhab malikitidak diperbolehkan nikah
sirri ini, nikah dapat dibatalkan dan pelakunya dapat diancam dengan hukaman
had berupa cambuk atau rajam. Mazhab syafi’i dan hanafi juga tidak
memperbolehkan nikah sirri. Khalifah umar ibnu khittab pernah mengancam pelaku
nikah sirri dengan hukuman had. Laranagan nikah sirri ini di dasarkan kepada
beberapa hadist anatara lain.
“umumkan
nikah ini, dan laksanakan dimasjid, serta ramaikanlah dengan menabuh gendang”.
Dari
pengamatan yang terjadi di lapangan, nikah sirri yang terjadi dapat dilakukan
dalam dua bentuk:
1.
Akad nikah yang
dilakukan seorang laki laki seorang perempuan tanpa hadirnya orang tua atau
wali si perempuan. Akad nikah hanya oleh di hadirinya laki laki dan
perempuan yang akan melakukan akad
nikah. Dua orang saksi, dan guru atau ulama yang menikahkan. Tanpa
memperbolehkan pendlegasian dari wali nikah yang berhak.
2.
Akaad nikah yang
telah memenuhi syaratdan dan rukun suatu
pernikahan yang legal sesuai dengan ketentuan hukum islam, tetapi tidak di
catatkan sesuai dengan kehendak undang undang perkawinan di indonesia.
Untuk
menegetahui apakah suatu pernikahan adalah nikah sirri atau tidak dapat di
lihat dari beberapa indikator yang harus selalu menyertai suatu pernikahanyang
legal. Apabila salah satu dari indikator tersebut tidak terpenuhi, maka suatu
pernikahan dapat di katakan nikah sirri. Indikator tersebut adalah
1.
Adanya rukun
nikah itu sendiri yaitu calon mempelai wali nikah dan saksi.
2.
Kepastian hukum
dari pernikahan tersebut, yaitu ikut hadirnya pengawai pencatat nikah pada saat
akad nikah dilangsungkan .
3.
Adanya
walimatul’ursy yaitu suatu kondisi yang di sengaja ciptakannya untuk menunjukan
kepada masyarakat luas bahwa di antara
kedua calin suami dan istritelah resmi sebagain suami istri. Walimatul’ursy di
sesuikanlah adat kebiasan masyarakat dan ukurun finansial.
Nikah sirri ini
kemudian di kenal juga dengan istilah
nikah di bawah tangan.istilah nikah dibawah tangan ini muncul setelah
dilakukannya secaraa efektif undang undang no nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan.
Dari penjelasan di atas
dapat di lihat bahwa unsur pencatat terhadap suatu pernikahan adalah yang
sangat penting. Walaupun bersifat administratif, tetapi pencatatan mempuyai
pengaruh besar secara yuridis tentang pengakuan hukum terhadap keberadaan
perniakan tersebut. dengan adanya pencatat terhadap perkawinan oeleh pengawai
pencatat nikah, kemudian diterbitkan bukun kutipan akta nikah, maka telah ada
bukti autentik tentang telah dilangsungkannya suatu perkawinan yang sah,
suatu perkawinan baru diakui se cara agama dan diakui pula secara yuridis.
Suatu perkawinan baru diakui sebagai suatu perbuatan hukum apabila sudah
memenuhi tata cara agama dan tata cara percatatan nikah. Kedua unsur tersebut
berfungsi secara kumulatif, bukan alternatif, suatu perkawinan dibawah tangan
yang tidak di catatkan karena tidak ada tanda sebagai suatu perbuatan hukum,
maka perkawinana tersebut juga tidak
mempuyai akibat hukum.
Dengan tidak adanya
akibat hukum dari suatu perkawinan yang tidak tercatat maka juga akan memeberi
pengaruh terutama dalam masalah harta
dalam perkawinan dan status hukum dari keturunan hasil perkawinan
tersebut.di samping juga itu berpengruh terhadap hak dan kewajiban masing
masing pihak termasuk juga hak sipil dan layanan publik. Karena bagaimanapun
dalam kehidupan masyarakat istri yang di nikahi tidak tercatat di pandang
sebelah mata oleh masyarakat.[2]
Definisi lain menyebutkan Kata siri berasal dari
bahasa Arab yaitu ”sirri” atau ”sir” yang berarti rahasia. Keberadaan nikah
siri dikatakan sah secara agama tapi tidak sah menurut negara karena pernikahan
tidak dicatat di Kantor Urusan Agama. Nikah siri juga disebut dengan Nikah di
Bawah Tangan.
Kata siri yang berarti rahasia, hal
tersebut merujuk pada rukun islam tentang perkawinan yaitu sah perkawinan
apabila diketahui oleh orang banyak. Namun etimologi tersebut berubah di
Indonesia, nikah siri berarti nikah yang tidak dicatat oleh Negara.
2.3.1
Fakor-Faktor
yang Melatarbelakangi Terjadinya Nikah Sirri
Pertama,
adanya kebiasaan yang terjadi di masyarat, bahwa seorang mempelai laki-laki
selain ada kewajiban membayar mahar, juga harus menanggung biaya pesta
perkawinan yang cukup besar (tergantung adat yang ada). Alasan ini yang menjadi
penyebab laki-laki yang ekonominya belum mapan lebih memilih menikah dengan
cara diam-diam yang penting halal (adanya saksi meski tidak perlu mengadakan
pesta).
Kedua,
faktor
belum cukup umur. Pada dasarnya hal ini juga dikarenakan faktor ekonomi, dimana
orang tua merasa kalau anak perempuannya sudah menikah maka beban keluarga
secara ekonomi akan berkurang. Seperti pernikahan yang terjadi di Semarang
antara Syekh Puji dan Ulfah yang masih anak-anak.
Ketiga,
faktor
ikatan dinas/ kerja atau sekolah. Adanya peratuan dilarannya menikah sebab
ikatan tersebut sampai yang bersangkutan lulus, dan apabila menyalahi aturan
akan berakibat dikeluarkan dari tempat kerja atau sekolah.
Keempat,
anggapan
“spele” masyarakat terkait administrasi pernikahan. Sebagaimana sahnya sebuah
perkawinan hanya didasarkan pada norma-norma agama sebagaimana disebut dalam
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 2 Ayat (1-2) menyebutkan
bahwa pencatatan perkawinan tidak memiliki hubungan dengan sah tidaknya sebuah
pekawinan.
Kelima,
hamil
diluar nikah. Kehamilan diluar nikah itu meupakan aib bagi keluarga dua
belah pihak, sehingga keluarga berinisiatif untuk menikahkan keduanya untuk
tetap menjaga nama baik keluarga sehingga hanya diketahui oleh mualim (istilah
nikah secara kiyai) tanpa melakukan pencatatan.
Keenam,
kurangnya
pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang pencatatan pernikahan sehingga
mempengaruhi mereka untuk melakukan nikah sirri, karna dianggapnya tidak ada
perbedaan baik tercatat maupun tidak.
Ketujuh,
faktor
sosial. Masyarakat sudah terlanjur memberikan stigma negatif kepada
laki-laki yang menikah lebih dari satu (poligami). Maka untuk menghindari itu,
mereka melakukan nikah sirri.
Kedelapan,
sulitnya
aturan berpoligami. Berdasarkan syarat yang dijelaskan Pasal 5 UU No. 1 Tahun
1974 harus mendapatkan izin dari istri pertama, maka untuk menghindari
kerumitan ini, dilkukannya nikah sirri.[3]
2.3.2
Konsekuensi
dari Pernikahan Sirri
- Akibat
nikah siri terhadap harta perkawinan
Negara
indonesia adalah negara hukum, dan segenap bangsa indonesia harus tunduk kepada
hukum yang berlaku di indonesia.
Undang-Undang no 1 tahun 1974 adalah hukum negara indonesia yang mengatur
tentang perkawinan. Maka sejak diundangkannya Undang-Undang tersebut Bangsa
indonesia terikat olehundang-undang itu karenanya harus di taati dan di
jalankan. Oleh karena itu suatu perkawinan yang dilaksanakan tidak mematuhi
hukum perkawinan tersebut, akan berakibat kepada mereka yang melaksanakan
perkawinan tersebut, keturunan dan harta kekayaannya.
- Akibat
nikah siri terhadap status hukum seseorang
Kejelasan
status perkawinan suami istri melalui bukti otentik tentang perkawinan mereka, menjadi landasan
bagi kejelasan status hukum bagi seorang anak. Begitu pula kejelasan terhadap
status pasangan suami atau istri yang di tinggal mati, hukum tidak akan
melindungi suami atau istri yang di tinggal mati terhadap harta warisan yang dikuasai aleh
saudara atau orang tua si mati.
Dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, kejelasan status seseorang sebagai suami
atau sebagai istri merupakan suatu keharusan. Kepastian status itu dapat di
lihat dari bukti perkawinan mereka, dalam akta perkawinan. Sebaliknya,
suami-istri yang tidak mempunyai akta perkawinan. Sebagai akibat perkawinannya
tidak di catatkan, tidak memberikan kepastian hukum terhadap perkawinan mereka.
Seorang
anak yang sah menurut undang-undang yaitu hasil dari perkawinan yang sah. Hal ini
merujuk bahwa status anak memiliki hubungan darah dengan kedua orang tuanya.
Sedangkan status anak nikah siri karena tidak dicatat oleh negara maka
status anak dikatakan di luar nikah. Namun secara agama hal status anak dari
hasil nikah siri mendapat hak sama dengan anak hasil perkawinan sah.[4]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari paparan penulis secara singkat diatas,
kiranya penulis menyimpulkan sebagai jawaban dari rumusan masalah yang
termaktub diatas :
1.
Perkawinan
disebut sebagai ikatan lahir batin, karena perkawinan bukanlah hal yang dapat
dianggap sebagai permainan. Perkawinan memiliki tanggungjawab yang amat besar.
Didalamnya terdapat perjanjian antara suami dan istri yang masing-masing
memikul kewajiban dan hak yang harus dijalankan. Substansi yang terkandung
didalamnya adalah menaati perintah Alloh dan Rasul-Nya, yaitu mendatangkan
kemashlahatan baik bagi pelaku perkawinan itu sendiri (suami istri), anak cucu,
kerabat maupun masyarakat. Oleh karena itu, perkawinan bukan hanya kebutuhan
internal antara kedua belah pihak, akan tetapi juga faktor eksternal yang
melibatkan banyak pihak.
2. Pernikahan saat wanita hamil
masih diperbincangkan oleh ulama’, pendapat yang dikemukakanpun berbeda-beda
yang kemudian berdampak pada status anak.
3. Terdapat delapan faktor yang
melatarbelakangi terjadinya pernikahan sirri, kumudian terdapat dua konsekuensi
yasng akan dihadapi.
DAFTAR
PUSTAKA
Busriyanti, M.Ag. 2013. Cetakan I. Fiqh Munakahat. Jember: STAIN Jember
Press.
Siti Ummu Adillah, Analisis Hukum Terhadap
Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Terjadinya Nikah Sirri dan Dampaknya
Terhadap Perempuan (istri) dan Anak-Anak, Vol. 11, 2011.
Wulan
Bee Purnama, Nikah Sirri, 2016
Al-Qur’an dan Terjemah
http//blogspot.nikah.sirri.perspektif.syariah.com
diakses tgl 19 November 2017
Komentar
Posting Komentar