makalah Ilmu Kalam (kalam kontemporer)
OLEH:
MAULIDA MAULAYA HUBBAH
PRODI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS HUKUM ISLAM
Assalamu’alaikum
wr. wb.
Berbicara mengenai Ajaran
Islam, yang ajarannya bersumber
dari Al-qur’an dan Sunnah
Nabi SAW, diyakini oleh umat
Islam dapat mengantisipasi segala kemungkinan yang diproduksi oleh perputaran
zaman.
Pada dasarnya Islam
itu satu, tetapi pada kenyataannya bahwa tampilan Islam itu beragam, karena
lokasi penampilannya mempunyai budaya yang beragam, perubahan jaman telah
membawa budaya dan teknologi yang berbeda-beda. Hingga saat ini setelah semua
berproses, berevolusi, berubah karena pesatnya pengetahuan di masa kini
(kontemporer). Begitulah islam kemudian silih berganti sesuai dimensi zaman.
Kemudian
kami sampaikan Terima kasih yang begitu sangat kepada Dr. Muniron, M.Ag
selaku dosen pengampuh mata kuliah Ilmu Kalam Fakultas Syariah Institut Agama Islam
Negeri Jember yang
telah membimbing dan mengajari kami hingga saat ini.
Demikian pengantar yang dapat kami sampaikan. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat, Akhir kata, kami
sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.
Wassalamu’alaikum
wr.wb…....
07
- Mei - 2017
Penulis,
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
1.1
Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Biografi Ismail Al
Faruqi?
2.2 Pemikiran Kalam menurut Ismail Al-Faruqi?
2.3 Biografi Hassan Hanafi?
2.4 Pemikiran Kalam Menurut Hassan Hanafi?
2.3 Biografi Hassan Hanafi?
2.4 Pemikiran Kalam Menurut Hassan Hanafi?
BAB 3. PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejarah ilmu kalam yang lahir karena
terbunuhnya Khalifah Usman Bin Affan menjadi pintu awal keberangkatan dan
perkembangan ilmu kalam. Pemikiran yang lahir akibat sebuah perbedaan
penafsiran mengenai ketuhanan dan permasalahan tentang dosa besar.
Pemikir-pemikir kalam telah ada sejak permulaan perkembangan ilmu kalam.
Pemikir-pemikir kalam itu dibedakan
menjadi dua kelompok dari sisi kerangka berpikir mereka, yakni kerangka
berpikir tradisional dan kerangka berpikir rasional. Kerangka berpikir
tradisional yakni sebuah kerangka berpikir yang menempatkan wahyu di atas akal
manusia. Mereka berpikir bahwa Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang diyakini
kebenaran dan tugas akal hanya membenarkannya saja tanpa berusaha memahami
sebuah wahyu melalui akal. Sedangkan kerangka berfikir rasional justru
menempatkan peranan akal yang besar dalam memahami wahyu. Sebab itulah kami
akan membahas hal tersebut dalam penjelasan berikut.
1.2. Rumusan Masalah.
Berdasarkan hal-hal yang diuraikan di
atas maka permasalahan yang dirumuskan dalam permasalahan ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana
biografi Ismail Al Faruqi?
2.
Bagaimana kajian
pemikiran kalam Ismail Al Furuqi?
3.
Bagaimana biografi
Hassan Hanafi?
4.
Bagaimana kajian
pemikiran kalam Hassan Hanafi?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Biografi Ismail Al
Furuqi (1921-1986)
Ismail
Raji al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina pada tanggal 1 Januari 1921.
Pendidikan dasarnya dimulai dari madrasah, dan pendidikan menengahnya di
Colleges des Freres, dengan bahasa pengantar Perancis. Kemudian pada tahun 1941
lulus dari American University of Beirut. Ismail lalu bekerja untuk pemerintah
Inggris di Palestina. Pada tahun 1945, dia dipilih sebagai Gubernur Galilea.
Tapi, setelah Israel mencaplok Palestina, ia pindah ke Amerika Serikat pada
tahun 1949. Di Amerika, ia melanjutkan pendidikan Master dalam bidang filsafat
di University of Indiana dan University of Harvard. Dia melanjutkan
pendidikannya dengan mengambil gelar doktor filsafat di University of Indiana
dan di Al-Azhar University pada tahun 1952.
Dia
kemudian mengajar beberapa universitas diseluruh dunia diantaranya universitas
di Kanada, Pakistan dan Amerika Serikat. Pada tahun 1968, dia menjadi guru
besar Studi Islam di Temple University, Amerika Serikat. Sebagai anak
Palestina, al-Faruqi mengecam keras apa yang telah dilakukan oleh Zionis Israel
yang menjadi dalang pencaplokan Palestina.
Namun,
ia dengan tegas membedakan Zionisme dan Yahudi. Dalam buku Islam and Zionism,
ia berkata bahwa Islam adalah agama yang menganggap agama Yahudi sebagai agama
Tuhan, yang ditentang Islam adalah politik Zionisme. Pembunuhan atas dirinya
dan istrinya diduga karena kritiknya yang keras terhadap kaum Zionis Yahudi.
Kematian Ismail Raji al-Faruqi meninggal dunia karena dibunuh pada tanggal 27
Mei 1986 di rumahnya..
2.2. Pemikiran
Kalam Al Faruqi
Pemikiran kalam Ismail al Faruqi tertuang dalam
karyanya yang berjudul Tahwid: Its Implications for Thought and Life. Dalam
karyanya ini beliau ini mengungkapkan bahwa:[1]
A.
Tauhid
sebagai inti pengalaman agama
Inti
pengalaman agama, kata Al-Faruqi adalah Tuhan. Kalimat syahadat menempati
posisi sentral dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap muslim.
Kehadiran Tuhan mengisi kesadaran Muslim dalam setiap waktu. Bagi kaum
Muslimin, Tuhan benar-benar merupakan obsesi yang agung. Esensi pengalaman
agama dalam islam tiada lain adalah realisasi prinsip bahwa hidup dan kehidupan
ini tidaklah sia-sia.
B.
Tauhid
sebagai pandangan dunia
Tauhid
merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang dan waktu,
sejarah manusia, dan takdir.
C.
Tauhid
sebagai intisari islam
Esensi peradaban Islam adalah Islam
sendiri. Tidak ada satu perintah pun dalam Islam yang dapat dilepaskan dari
tauhid. Tanpa tauhid, Islam tidak aka nada. Tanpa yauhid, bukan hanya sunnah
nabi yang patut diragukan, bahkan ptanata kenabian pun menjadi hilang.
D.
Tauhid
sebagai prinsip sejarah
Tauhid menempatkan manusia pada suatu
etika berbuat atau bertindak, yaitu etika ketika keberhargaan manusia sebagai
pelaku moral diukur dari tingkat keberhasilan yang dicapainya dalam mengisi
aliran ruang dan waktu. Eskatologi Islam tidak mempunyai sejarah formatif. Is
terlahir lengkap dalam Al-Qur’an, dan tidak mempunyai kaitan dengan situasi
para pengikutnnya pada masa kelahirannya seperti halnya dalam agama Yahudi atau
Kristen. Is dipandang sebagai suatu klimaks moral bagi kehidupan di atas bumi.
E.
Tauhid
Sebagai prinsip pengetahuan
Berbeda denga “iman” Kristen, iman Islam
adalah kebenaran yang diberikan kepada pikiran, bukan kepada perasaan manusia
yang mudah dipercayai begitu saja. Kebenaran, atau proposisi iman bukanlah
misteri, hal yang dipahami dan tidak dapat diketahui dan tidak masuk akal,
melainkan bersifat kritis dan rasional. Kebenaran-kebenarannya telah dihadapkan
pada ujian keraguan dan lulus dalan ditetapkan sebagai kebenaran.
F.
Tauhid
sebagai prinsip metafisika
Dalam Islam, alam adalah ciptaan dan
anugerah. Sebagai ciptaan, ia bersifat teleologis, sempurna, dan teratur.
Sebagai anugerah, ia merupakan kebaikan yang tak mengandung dosa yang
disediakan untuk manusia. Tujuannya agar manusia melakukan kebaikan dan
mencapai kebahagiaan. Tiga penilaian ini, keteraturan, kebertujuan, dan
kebaikan, menjadi cirri dan meringkas pandangan umat Islam tentang alam.
G.
Tauhid
sebagai prinsip etika
Tauhid menegaskan bahwa Tuhan telah
memberi amanat-Nya kepada manusia, suatu amanat yang tidak mampu dipikul oleh
langit dan bumi. Amanat atau kepercayaan Ilahi tersebut berupa pemenuhan unsur
etika dari kehendak Ilahi, yang sifatnya mensyaratkan bahwa ia harus
direalisasikan dengan kemerdekaan, dan manusia adalah satu-satunya makhluk yang
mampu melaksanakannya. Dalam Islam, etika tidak dapat dipisahkan dari agama dan
bahkan dibangun di atasnya.
H.
Tauhid
sebagai prinsip tata sosial
Dalam Islam tidak ada perbedaan antara
yang satu dengan yang lainnya. Masyarakat Islam adalah masyarakat terbuka
dan setiap manusia boleh bergabung dengannya, baik sebagai anggota tetap
ataupun sebagai yang dilindungi (dzimmah). Masyarakat Islam harus mengembangkan
dirinya untuk mencakup seluruh umat manusia. Jika tidak, ia akan kehilangan
klaim keislamannya.
I.
Tauhid
sebagai prinsip ummah
Dalam menyoroti tentang tauhid sebagai
prinsip ummat, al Faruqi membaginya kedalam tiga identitas, yakni: pertama,
menenentang etnosentrisme yakni tata sosial Islam adalah universal mencakup
seluruh ummat manusia tanpa kecuali dan tidak hanya untuk segelitir suku
tertentu. Kedua, universalisme yakni Islam meliputi seluruh ummat manusia yang
cita-cita tersebut diungkapkan dalam ummat dunia. Ketiga totalisme, yakni Islam
relevan dengan setiap bidang kegiuatan hidup manusia dalam artian Islam tidak
hanya menyangkut aktivitas mnusia dan tujuan di masa mereka saja tetapi
menyangkut aktivitas manusia disetiap masa dan tempat.
J.
Tauhid
sebagai prinsip keluarga
Al-Faruqi memandang bahwa selama tetap
melestarikan identitas mereka dari gerogotan kumunisme dan idiologi-idiologi
Barat, umat Islam akan menjadi masyarakat yang selamat dan tetap menempati
kedudukan yang terhormat. Keluarga Islam memiliki peluang lebih besar tetap
lestari sebab ditopang oleh hukum Islam dan dideterminisi oleh hubungan erat
dengan tauhid.
K.
Tauhid
sebagai prinsip tata politik
Al-Faruqi mengaitkan tata politik dengan
pemerintahan. Kekhalifahan didefenisikan sebagai kesepakatan tiga dimensi,
yaitu: kesepakatan wawasan (ijma’ ar-ru’yah), kehendak (ijma’ al-iradah), dan
tindakan (ijma’ al-amal). Wawasan yang dimaksud al-Faruqi adalah pengetahuan
akan nilai-nilai yang membentuk kehendak iIahi. Kehendak yang dimaksud
Al-Faruqi adalah pengetahuan akan nilai-nilai yang membentuk kehendak Ilahi.
Adapun yang dimaksud dengan tindakan adalah peelaksanaan kewajiban yang timbul
dari kesepakatan.
L.
Tauhid
sebagai prinsip tata ekonomi
Al-Faruqi melihat implikasi Islam untuk
tata ekonomi ada dua prinsip, yaitu: pertama, tak ada seorang atau kelompok pun
yang dapat memeras yang lain. Kedua, tak satu kelompok pun boleh mengasingkan
atau memisahkan diri dari umat manusia lainnya dengan tujuan untuk mebatasi
kondisi ekonomi mereka pada diri mereka sendiri.
M.
Tauhid
sebagai prinsip etetika
Dalam hal kesenian, beliau tidak
menentang kretaivitas manusia, tidak juga menentang kenikmatan dan keindahan.
Menurutnya Islam menganggap bahwa keindahan mutlak hanya ada dalam diri Tuhan
dan dalam kehendak-Nya yang diwahyukan dalam firman-firman-Nya.
2.3. Biografi Hassan Hanafi
Hasan Hanafi dilahirkan pada 13 Februari tahun 1935,
di Kairo. Pendidikannya diawali pada tahun 1948 dengan menamatkan pendidikan
tingkat dasar, dan melanjutkan studinya di Madrasah Tsanawiyah Khalill Agha,
Kairo yang diselesaikannya selama empat tahun. Hasan Hanafi adalah
pengikut Ikhwanul Muslimin ketika dia aktif kuliah di Universitas Kairo. Hanafi
tertarik juga untuk mempelajari pemikiran Sayyid Qutb tentang keadilan sosial
dalam Islam. Ia berkonsentrasi untuk mendalami pemikiran agama, revolusi, dan
perubahan sosial.
Dari sekian banyak tulisan dan karyanya yaitu: Kiri
Islam (Al-Yasar Al-Islami) merupakan salah satu puncak sublimasi pemikirannya
semenjak revolusi 1952. Kiri Islam, meskipun baru memuat tema-tema pokok dari
proyek besar Hanafi, karya ini telah memformulasikan satu kecenderungan
pemikiran yang ideal tentang bagaimana seharusnya sumbangan agama bagi
kesejahteraan umat manusia.
2.4. Pemikiran Kalam Hassan Hanafi
A.
Kritik
terhadap teologi tradisional
Dalam gagasannya tentang
rekobstruksi teologi tradisional, Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi
perangkat konseptual kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan konteks
politik yang terjadi. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa teologi
tradisonal lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman yang bertujuan
untuk memelihara kemurniannya. Hal ini berbeda dengan kenyataan sekarang bahwa
Islam mengalami kekalahan akibat kolonialisasi sehingga perubahan kerangka
konseptal lama pada masa-masa permulaan yang berasal dari kebudayaan klasik
menuju kerangka konseptual yang baru yang berasal dari kebudayaan modern harus
dilakukan.[2]
Hanafi memandang bahwa teologi bukanlah pemikiran
murni yang hadir dalam kehampaan kesejarahan, melainkan merefleksikan konflik
sosial politik. Sehingga kritik teologi memang merupakan tindakan yang sah dan
dibenarkan karena sebagai produk pemikiran manusia yang terbuka untuk dikritik.
Hal ini sesuai dengan pendefenisian beliaun tentang definisi teologi itu
sendiri. Menurutnya teologi bukanlah ilmu tentang Tuhan, karena Tuhan tidak
tunduk pada ilmu. Tuhan mengungkaplan diri dalam Sabda-Nya yang berupa wahyu.
Teologi demikian, lanjut Hanafi,
bukanlah ilmu tentang Tuhan, karena Tuhan tidak tunduk kepada ilmu. Tuhan
mengungkapkan diri dalam sabda-Nya yang berupa wahyu. Ilmu Kalam adalah tafsir
yaitu ilmu hermeneutic yang mempelajari analisis percakapan (discourse
analysis), bukan saja dari segi bentuk-bentuk murni ucapan, melainkan juga dari
segi konteksnya, yakni pengertian yang merujuk kepada dunia. Adapun wahyu
sebagai manifestasi kemauan Tuhan, yakni sabda yang dikirim kepada manusia
mempunyai muatan-muatan kemanusiaan.
Hanafi ingin meletakkan teologi
Islam tradisional pada tempat yang sebenarnya, yakni bukan pada ilmu ketuhanan
yang suci, yang tidak boleh dipersoalkan lagi dan harus diterima begitu saja
secara taken for Granted. Ia adalah ilmu kemanusiaan yang tetap terbuka untuk
diaadakan verifikasi dan falsafikasi, baik secara historis maupun eiditis.
Menurut Hasan Hanafi, teologi
tradisional tidak dapat menjadi sebuah pandangan yang benar-benar hidup dan
memberi motivasi tindakan dalam kehidupan kongkret umat manusia hal ini
disebabkan oleh sikap para penyusun teologi yang tidak mengaitkannya dengan
kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Sehingga menimbulkan
keterpercahan antara keimanan teoritik dengan amal praktiknya di kalangan umat.
Secara historis, teologi yang telah
menyingkap adanya benturan berbagai kepentingan dan ia sarat dengan konflik
social-politik. Teologi telah gagal pada dua tingkat: Pertama, pada tingkat
teoritis, kedua, pada tingkat praxis, yaitu gagal karena hanya menciptakan
apatisme dan negativisme.
B.
Rekronstruksi
teologi
Melihat sisi-sisi kelemahan teologi
tradisional, Hanafilalu mengajukan saran rekontruksi teologi. Menurutnya,
adalah mungkin untuk memfungsikan teologi menjadi ilmu-ilmu yang bermanfaat
bagi masa kini, yaitu dengan melakukan rekontruksi dan revisi, serta nenbangun
kembali epistemologi lama yang rancu dan palsu menuju epiatemologi baru yag
sahih dan lebih signifikan. Tujuan rekontruksi teologi Hanafi adalah menjadikan
teologi tidak sekedar dogma-dogma keagamaan yang kosong, melainkan menjelma
sebagai ilmu tentang pejuang social, yang menjadikan keimanan-keimanan
tradisonal memiliki fungsi secara actual sebagai landasan etik dan motivasi
manusia.
Sistem kepercayaan sesungguhnya
mengekpresikan bangunan sosial tertentu. Sistem kepercayaan menjadikan gerakan
social sebagai gerakan bagi kepentingan mayoritas yang diam (al-aglabiyah
as-sfimitah: the majority) sehingga system kepercayaan memiliki fungsi visi.
Karena memiliki fungsi revolusi, tujuan final rekonstruksi teologi tradisionla
adalah revolusi sosial. Menilai revolusi dengan agama dimasa sekarang sama
halnya dengan mengaitkan filsafat dengan syariat di masa lalu, ketika filsafat
menjadi zaman saat itu.
Sebagai konsekuensi atas
pemikirannya yang menyatakan bahwa para ulama tradisional telah gagal dalam
menyusun teologi yang modern, maka Hanafi mengajukan saran rekontruksi teologi.
Adapaun langkah untuk melakukan rekonstruksi teologi sekurang-kurangnya
dilatarbelakangi oleh tiga hal yaitu:
1. Kebutuhan
akan adanya sebuah ideologi yang jelas di tengah pertarungan global anatar
berbagai ideologi.
2. Pentingnya
teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritisnya, tetapi juga terletak pada
kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan ideologi gerakan dalam
sejarah. Salah satu kepentingan teologi ini adalah memecahkan problem
pendudukan tanah di Negara-negara muslim.
3. Keperingan
teologi yang bersifat praktis (amaliyah fi’liyah) yang secara nyata
diwujudkan dalam realisasi tauhid dalam dunia Islam. Hanafi menghendaki adanya
‘teologi dunia’ yaitu teologi baru yang dapat mempersatukan umat Islam di bawah
satu orde.
Menurut Hanafi, rekontruksi teologi
merupakan salah satu cara yang mesti ditempuh jika mengharapkan agar teologi
dapat memberikan sumbangan yang kongkret dagi sejarah kemanusiaan. Kepentingan
rekontruksi itu pertama-tama untuk mentranformasikan teologgi menuju
antropologi, menjadikan teologi sebagai wacana tenntang kemanusiaan, baik
secara eksistensi, kognitif, maupun kesejarahan.
Selanjutnya
Hanafi menawarkan dua hal untuk memperoleh kesempurnaan teori ilmu dalam
teologi Islam yaitu:
1.
Analisis bahasa.
Bahasa serta istilah-istilah dalam teologi tradisonal adalah warisan nenek
moyang di bawah teologi, yang merupakan bahasa khas yang seolah-olah menjadi
ketentuan sejak dulu. Teologi tradisonal memiliki istilah-istilah khas seperti
Allah, iman, akhirat. Menurut Hanafi, semua ini sebenarnya menyingkapkan
sifat-sifat dan metode keilmuan, ada yang empirik-rasional seperti iman, amal,
dan imamah, dan ada yang historis seperti nubuwah serta ada pula yang metafisik
seperti Allah dan akhirat.
2.
Analisis
realitas. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang
historis-sosiologis munculnya teologi di masa lalu, mendiskripsikan pengaruh-pengaruh
nyata teologi bagi kehidupan masyarakat. Dan bagaimana ia mempunyai kekuatan
mengarahkan terhadap prilaku para pendukungnya. Analsis realitas ini berguna
untuk menentukan stressing kea rah mana teologi kontemporer harus
diorientasikan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Alhamdulillah dengan izin Allah SWT, penyusun dapat
menyelesaikan makalah ini. Pada bab ini penyusun ingin menyimpulkan isi dari
makalah. Dari isi makalah ini dapat disimpulakan pemikiran
Kalam Ismail Al-Faruqi terletak pada inti pengalaman agama adalah Tuhan.
Kalimat syahadat menempati posisi sentral dalam setiap kedudukan, tindakan, dan
pemikiran setiap muslim.
Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas,
kebenaran, dunia, ruang, waktu,sejarah manusia dan takdir. Tauhid ummah terdiri
dari tiga identitas yaitu Etnosentrisme, Universalisme, Totalisme dan
Kemerdekaan. Tauhid tidak menentang kreatifitas seni, kenikmatan, dan
keindahan.Islam menganggap bahwa keindahan mutlak hanya ada dalam diri Tuhan
dan dalam kehendak-Nya yang diwahyukan dalam firman-firman-Nya.
Sementara Hasan Hanafi mengkritik teologi
tradisional tidak dapat menjadi sebuah pandangan yang benar-benar hidup dan
memberi motivasi tindakan dalam kehidupan kongkret umat manusia hal ini
disebabkan oleh sikap para penyusun teologi yang tidak mengaitkannya dengan
kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Sehingga menimbulkan
keterpercahan antara keimanan teoritik dengan amal praktiknya dikalangan umat.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Rozak,
Abdul & Anwar, Rosihon. 2016. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia
Komentar
Posting Komentar