makalah ushul fiqh (maqosidhu asyariah)

OLEH:

MAULIDA MAULAYA HUBBAH

PRODI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS HUKUM ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER

KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr. wb.
Jika kita berbicara mengenai Fiqh, dipastikan segala hal yang merupakan hasil pemikiran para mujtahid berupa hukum praktis sehingga dapat diketahui bagaimana cara memahami Syariah tercakup didalamnya. Disinilah kemudian timbul beberapa bidang dengan pengklasifikasian yang sesuai menurut ciri dan bentuknya.
Ushul Fiqh kemudian dijadikan salah satu bidang keilmuan untuk mengetahui dasar-dasar atau asal mula ditetapkannya hukum-hukum tersebut, maka perlu diketahui apa saja tujuan dari adanya hukum tersebut melalui bidang ilmu ini. Untuk itulah penulis berinisiatif untuk mengkajinya secara sederhana.
Kemudian kami sampaikan Terima kasih yang begitu sangat kepada Bapak Dr. H. Sutrisno, M.HI sebagai dosen pembimbing mata kuliah Ushul Fiqh Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Jember yang telah membimbing dan mengajari penulis hingga saat ini.
Demikian pengantar yang dapat kami sampaikan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat, Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.
Wassalamu’alaikum wr.wb…....
                              03 - November  - 2017

                        Penulis,


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB 1. PENDAHULUAN
            1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah

BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Maqashid Al-Syari’ah
2.2 Macam-Macam Maqashid Al-Syari’ah
2.3 Peranan atau Tujuan Mengetahui Maqashid Al-Syari’ah
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Perlu diketahui bahwa syariah tidak menciptakan hukum-hukumnya dengan kebetulan, tetapi dengan hukum-hukum itu bertujuan untuk mewujudkan maksud-maksud yang umum. Kita tidak dapat memahami nash-nash yang hakiki kecuali mengetahui apa yang dimaksud oleh syara’ dalam menciptakan nash-nash itu. Petunjuk-petunjuk lafadz dan ibaratnya terhadap makna sebenarnya, kadang-kadang menerima beberapa makna yang ditarjihkan yang salah satu maknanya adalah mengetahui maksud syara’.
Kaidah-kaidah pembentukan hukum Islam ini, oleh ulama ushul diambil berdasarkan penelitian terhadap hukum-hukum syara’, illat-illatnya dan hikmah (filsafat) pembentukannya diantara nash-nash itu pula ada yang menetapkan dasar-dasar pembentukan hukum secara umum, dan pokok-pokok pembentukannya secara keseluruhan seperti juga halnya wajib memelihara dasar-dasar dan pokok–pokok itu dalam mengistimbath hukum dari nash-nashnya, maka wajib pula memelihara dasar-dasar dan pokok-pokok itu dalam hal yang tidak ada nashnya, supaya pembentukan hukum itu dapat merealisasikan apa yang menjadi tujuan pembentukan hukum itu, dan dapat mengantarkan kepada merealisasikan kemaslahatan manusia serta menegakkan keadilan diantara mereka.
Untuk itulah penulis tertarik untuk membahas seulas mengenai Maqashid Al-Syari’ah yang akan kami bahas berikutnya.
1.2. Rumusan Masalah.
Berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas maka permasalahan yang dirumuskan dalam permasalahan ini adalah sebagai berikut:
1.    Apa pengertian Maqashid Al-Syari’ah?
2.    Apa saja macam-macam dari Maqashid Al-Syari’ah?
3.    Apa peranan atau tujuan mengetahui Maqashid Al-Syari’ah?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Maqashid Al-Syari’ah
Secara lughawi maqasid al syari’ah terdiri dari dua kata, yakni maqasid dan syari’ah. Maqasid adalah bentuk jama’ dari maqsud yang berarti maksud atau tujuan. Syari’ah sejatinya berarti hukum Allah, baik yang ditetapkan sendiri maupun ditetapkan oleh Nabi. Dapat diambil kesimpulan Maqasid al-syariah adalah apa yang dimaksud Allah dalam menetapkan hukum, apa yang dituju Allah dalam menetapkan hukum, atau apa yang ingin dicapai oleh Allah dalam menetapkan suatu hukum.[1]
Jadi, maqashid merupakan tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan sesuatu. Terdapat berbagai pendefinisian telah dilontarkan oleh ulama usul fiqh tentang istilah maqasid. Ulama klasik tidak pernah mengemukakan definisi yang spesifik terhadap maqasid, malah al-Syatibi yang terkenal sebagai pelopor ilmu maqasid pun tidak pernah memberikan definisi tertentu kepadanya. Namun ini tidak bermakna mereka mengabaikan maqasid syara' di dalam hukum-hukum syara'. Berbagai tanggapan terhadap maqasid dapat dilihat di dalam karya-karya mereka. Kita akan dapati tanggapan ulama klasik yang pelbagai inilah menjadi unsur di dalam definisi-definisi yang dikemukakan oleh ulama mutakhir selepas mereka. Apa yang pasti ialah nilai-nilai maqasid syara' itu terkandung di dalam setiap ijtihad dan hukum-hukum yang dikeluarkan oleh mereka. Ini karena nilai-nilai maqasid syara' itu sendiri memang telah terkandung di dalam al-Quran dan al-Sunnah.
Ada yang menganggap maqasid ialah maslahah itu sendiri, sama dengan menarik maslahah atau menolak mafsadah. Ibn al-Qayyim menegaskan bahwa syariah itu berasaskan kepada hikmah-hikmah dan maslahah-maslahah untuk manusia di dunia atau di akhirat.Perubahan hukum yang berlaku berdasarkan perubahan zaman dan tempat adalah untuk menjamin syariah dapat mendatangkan kemaslahatan kepada manusia. Sementara Al-Izz bin Abdul Salam juga berpendapat sedemikian apabila beliau mengatakan "Syariat itu semuanya maslahah, menolak kejahatan atau menarik kebaikan.” Ada juga yang memahami maqasid sebagai lima prinsip Islam yang asas yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Di satu sudut yang lain, ada juga ulama klasik yang menganggap maqasid itu sebagai logika pensyariatan sesuatu hukum.
Kesimpulannya maqasid syariah ialah "matlamat-matlamat yang ingin dicapai oleh syariat demi kepentingan umat manusia". Para ulama telah menulis tentang maksud-maksud syara’, beberapa maslahah dan sebab-sebab yang menjadi dasar syariah telah menentukan bahwa maksud-maksud tersebut dibagi dalam dua golongan sebagai berikut:
A. Golongan Ibadah, yaitu membahas masalah-masalah Ta’abbud yang berhubungan langsung antara manusia dan khaliqnya, yang satu persatunya telah dijelaskan oleh syara’.
B. Golongan Muamalah Dunyawiyah, yaitu kembali pada maslahah-maslahah dunia, atau seperti yang ditegaskan oleh Al Izz Ibnu Abdis Salam sebagai berikut:
“Segala macam hukum yang membebani kita semuanya, kembali kepada maslahah di dalam dunia kita, ataupun dalam akhirat. Allah tidak memerlukan ibadah kita itu. Tidak memberi manfaat kepada Allah taatnya orang yang taat, sebagaimana tidak memberi mudarat kepada Allah maksiatnya orang yang durhaka”.
Akal dapat mengetahui maksud syara’ terhadap segala hukum muamalah, yaitu berdasarkan pada upaya untuk mendatangkan manfaat bagi manusia dan menolak mafsadat dari mereka. Segala manfaat ialah mubah dan segala hal mafsadat ialah haram. Namun ada beberapa ulama, diantaranya, Daud Azh – Zhahiri tidak membedakan antara ibadah dengan muamalah.
2.2. Apa saja macam-macam dari Maqashid Al-Syari’ah
Beberapa ulama ushul telah mengumpulkan beberapa maksud yang umum dari mensyari’atkan hukum. Abu Ishaq al-Syatibi melaporkan hasil penelitian para ulama’ terhadap ayat-ayat Al-qur’an dan Sunnah Rasullullah bahwa hukum-hukum disyariatkan Allah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan yang diwujudkan itu terbagi kepada tiga tingkatan:
1. Kebutuhan Dharuriyat
Ialah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut dengan kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak dipenuhi, akan terancam keselamatan manusia baik di dunia maupun di akhirat kelak. Yang termaksud dalam kategori ini adalah memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, kehormatan dan keturunan.
2. Kebutuhan Hajiyat
Ialah kebutuhan-kebutuhan sekunder, bilamana tidak terwujudkan, tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan. Syariat Islam menghilangkan segala kesulitan itu. Contoh dalam lapangan ibadat, Islam menyariatkan beberapa hukum rukhshah (keringanan) bilamana kenyataannya mendapat kesulitan dalam menjalankan perintah-perintah taklif.
3. Kebutuhan Tahsiniat
Tingkat kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima pokok diatas dan tidak pula menimbulkan kesulitan. Tingkat kebuthan ini merupakan tingkat kebutuhan pelengkap.[2]
Dari 3 pengelompokan kebutuhan diatas, berimplikasi pada macam-macam Maqashid Syariah sebagai berikut.
A.  (Maqashid al- Dharuriyat)
Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia. Hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia seperti yang telah kami uraikan adalah bertitik tolak kepada lima perkara, yaitu: Agama, jiwa, akal, kehormatan (nasab), dan harta. Islam telah mensyariatkan bagi masing-masing lima perkara itu, hukum yang menjamin realisasinya dan pemeliharaannya. lantaran dua jaminan hukum ini, terpenuhilah bagi manusia kebutuhan primernya.
1)      Agama
Agama merupakan persatuan akidah, ibadah, hukum, dan undang-undang yang telah disyariatkan oleh Allah SWT untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya (hubungan vertikal), dan hubungan antara sesama manusia (hubungan horizontal). agama Islam juga merupakan nikmat Allah yang tertinggi dan sempurna seperti yang dinyatakan dalam Al-Qur’an surat al-Maidah ayat 3: الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
”pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”.[3]
Beragama merupakan kekhususan bagi manusia, merupakan kebutuhan utama yang harus dipenuhi karena agama lah yang dapat menyentuh nurani manusia. seperti perintah Allah agar kita tetap berusaha menegakkan agama, seperti firman-Nya dalam surat Asy-syura: 13
أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ
Artinya: “tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah karenanya.”[4]
Agama Islam juga harus dipelihara dari ancaman orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang hendak meruska akidahnya, ibadah-ibadah akhlaknya,atau yang akan mencampur adukkan kebenaran ajaran islam dengan berbagai paham dan aliran yang batil. walau begitu, agama islam memberi perlindungan dan kebebasan bagi penganut agama lain untuk meyakini dan melaksanakan ibadah menurut agama yang diyakininya, orang-orang islam tidak memaksa seseorang untuk memeluk agama islam. hal ini seperti yang telah ditegaskan Allah dalam firman-Nya dalam surat al-Baqarah : 256.
2)      Memelihara Jiwa
Islam melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman Qisas (pembalasan yang seimbang), diyat (denda) dan kafarat (tebusan) sehingga dengan demikian diharapkan agar seseorang sebelum melakukan pembunuhan, berfikir secara dalam terlebih dahulu, karena jika yang dibunuh mati, maka seseorang yang membunuh tersebut juga akan mati, atau jika yang dibunuh tersebut cidera, maka si pelakunya akan cidera yang seimbang dengan perbuatannya.
Banyak ayat yang menyebutkan tentang larangan membunuh, begitu pula hadist dari nabi Muhammad, diantara ayat-ayat tersebut adalah : a. Surat Al-Baqarah ayat 178-179, b. Surat al-an’am ayat 151, c. Surat Al-Isra’ ayat 31, d. Surat Al-Isra’ ayat 33, e. Surat An-Nisa ayat 92-93, f. Surat Al-Maidah ayat 32. Berikut ini adalah salah satu contoh ayat yang melarang pembunuhan terjadi di dunia, yaitu surat Al-Isra’ ayat 33.
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ۗ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ ۖ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا

 “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. dan barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya kami Telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”.[5]

3)      Memelihara Akal
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna diantara seluruh makhluk ciptaan Allah yang lainnya. Allah telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk, dan melengkapi bentuk itu dengan akal. Untuk menjaga akal tersebut, Islam telah melarang minum Khomr (jenis menuman keras) dan setiap yang memabukkan dan menghukum orang yang meminumnya atau menggunakan jenis apa saja yang dapat merusak akal.
Begitu banyak ayat yang menyebutkan tentang kemuliaan orang yang berakal dan menggunakan akalnya tersebut dengan baik. Kita disuruh untuk memetik pelajaran kepada seluruh hal yang ada di bumi ini, termasuk kepada binatang ternak, kurma, hingga lebah, seperti yang tertuang dalam surat An-Nahl ayat 66-69.
66 إِنَّ لَكُمْ فِي الْأَنْعَامِ لَعِبْرَةً نُسْقِيكُمْ مِمَّا فِي بُطُونِهِ مِنْ بَيْنِ فَرْثٍ وَدَمٍ لَبَنًا خَالِصًا سَائِغًا لِلشَّارِبِين
 “Dan Sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.”
67 وَمِنْ ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالْأَعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَةً لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
“Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minimuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.”
68 وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ
“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia,"
69  ثُمَّ كُلِي مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلًا يَخْرُجُ مِنْ بُطُونِهَا شَرَابٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاءٌ لِلنَّاسِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَةً لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang Telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan”.[6]
4)      Memelihara Keturunan
Untuk memelihara keturunan, Islam telah mengatur pernikahan dan mengharamkan zina, menetapkan siapa-siapa yang tidak boleh dikawini, sebagaimana cara-cara perkawinan itu dilakukan dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi, sehingga perkawinan itu dianggap sah dan percampuran antara dua manusia yang berlainan jenis itu tidak dianggap zina dan anak-anak yang lahir dari hubungan itu dinggap sah dan menjadi keturunan sah dari ayahnya. Islam tak hanya melarang zina, tapi juga melarang perbuatan-perbutan dan apa saja yang dapat membawa pada zina.
5)      Memelihara harta benda
Meskipun pada hakikatnya semua harta benda itu kepunyaan Allah, namun Islam juga mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena manusia sangat tama’ kepada harta benda, dan mengusahakannya melalui jalan apapun, maka Islam mengatur supaya jangan sampai terjadi bentrokan antara satu sama lain. Untuk itu, Islam mensyariatkan peraturan-peraturan mengenai mu’amalat seperti jual beli, sewa menyewa, gadai menggadai dll.

B. (Maqashid al-Hajiyat)
 Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder manusia. Hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder bagi manusia bertitik tolak kepada sesuatu yan gdapat menghilangkan kesempitan manusia, meringankan beban yan gmenyulitkan mereka, dan memudahkan jalan-jalan muamalah dan mubadalah (tukar menukar bagi mereka). Islam telah benar-benar mensyariatkan sejumlah hukum dalam berbagai ibadah, muamalah, dan uqubah (pidana), yang dengan itu dimaksudkan menghilangkan kesempitan dan meringankan beban manusia.
Dalam lapangan ibadah, Islam mensyariatkan beberapa hukum rukhsoh (keringanan, kelapangan) untuk meringankan beban mukallaf apabila ada kesullitan dalam melaksanakan hukum azimah (kewajiban). contoh, diperbolehkannya berbuka puasa pada siang bulan ramadhan bagi orang yang sakit atau sedang bepergian.
Dalam lapangan muamalah, Islam mensyariatkan banyak macam akad (kontrak) dan urusan (tasharruf) yang menjadi kebutuhan manusia. seperti, jual beli, syirkah (perseroan), mudharobah (berniaga dengan harta orang lain) dll.

C. (Maqashid al-Tahsini)
Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan pelengkap manusia. Dalam kepentingan-kepentingan manusia yang bersifat pelengkap ketika Islam mensyariatkan bersuci (thaharah), disana dianjurkan beberapa hal yang dapat menyempurnakannya. Ketika Islam menganjurkan perbuatan sunnat (tathawwu’), maka Islam menjadikan ketentuan yang di dalamnya sebagai sesuatu yang wajib baginya. Sehingga seorang mukallaf tidak membiasakan membatalkan amal yang dilaksanakannya sebelum sempurna .
Ketika Islam menganjurkan derma (infaq), dianjurkan agar infaq dari hasil bekerja yang halal. Maka jelaslah, bahwa tujuan dari setiap hukum yang disyariatkan adalah memelihara kepentingan pokok manusia, atau kepentingan sekundernya atau kepentingan pelengkapnya, atau menyempurnakan sesuatu yang memelihara salah satu diantara tiga kepentingan tersebut.[7]

2.3. Peranan atau Tujuan Mengetahui Maqashid Al-Syari’ah
Hampir setiap ulama’ dan penulis ushul fiqh membicarakan mengenai maqashid syariah tak luput tujuan untuk mengetahuinya. Namun tujuan awalnya adalah menemukan sifat-sifat yang sahih yang terdapat dalam hukum nash syara’ untuk disaring menjadi illat hukum melalui petunjuk masalikul illat, sedangkan tujuan akhir yang merupakan tujuan utamanya adalah ta’lil al-hakam yang artinya mencari dan mengetahui llat hukum. Adapun mengetahui illat hukum dipisahkan menjadi tiga kemungkinan:
Pertama, dapat menetapkan hukum pada suatu kasus yang padanya terdapat illat hukum, namun belum ada hukum padanya dengan cara menyamakannya dengan kasus yang sama yang padanya terdapat pula illat hukum tersebut dalam arti yang sederhana untuk kepentingan qiyas. Inilah tujuan yang terbanyak dalam penemuan illat tersebut dan disetujui oleh mayoritas ulama’. Serta berlaku dalam illat yang punya daya jangkau atau muta’addiyah.[8]
Kedua, untuk memantapkan diri dalam beramal. Hal ini berlaku dalam illat yang tidak punya daya rentang yang disebut illat al-qashirah. Seseorang akan merasa mantap dalam melakukan perintah Allah, missal melakukan perintah sholat, sewaktu ia telah mengetahui sholat adalah dzikir, sedangkan dzikir itu adalah menenangkan jiwa. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Ar-Rad ayat 28[9]
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
Ketiga, untuk penyucian jiwa. Mengetahui bahwa datangnya Syari’at Islam menbawa rahmat bagi umat manusia sebagaimana yang dijelaskan dalam Al- Qur’an surat Al-Anbiya’ ayat 107 وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Artinya: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan. Berbagai peribadatan serta amal ditempuh untuk membersihkan jiwa dan memeperkokoh kesetiakawanan sosial. Dengan demikian akan tercipta suasana saling kasih mengasihi.
Keempat, ialah mencapai kemaslahatan. Maslahat yang dikendaki oleh Islam bukanlah maslahat yang seiring dengan hawa nafsu. Akan tetapi, maslahat yang hakiki yang menyangkut kepentingan umum, bukan kepentingan pihak tertentu (khusus).[10]

BAB III
PENUTUP

3.1  KESIMPULAN
Dari paparan penulis secara singkat diatas, kiranya penulis menyimpulkan sebagai jawaban dari rumusan masalah yang termaktub diatas :
1. Secara lughawi maqasid al syari’ah dapat diambil kesimpulan Maqasid al-syariah adalah apa yang dimaksud Allah dalam menetapkan hukum, apa yang dituju Allah dalam menetapkan hukum, atau apa yang ingin dicapai oleh Allah dalam menetapkan suatu hukum maqashid merupakan tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan sesuatu. Terdapat berbagai pendefinisian telah dilontarkan oleh ulama usul fiqh tentang istilah maqasid. Ulama klasik tidak pernah mengemukakan definisi yang spesifik terhadap maqasid, malah al-Syatibi yang terkenal sebagai pelopor ilmu maqasid pun tidak pernah memberikan definisi tertentu kepadanya. Namun ini tidak bermakna mereka mengabaikan maqasid syara' di dalam hukum-hukum syara'.
2. terdapat tiga macam Maqashid Syariah diantaranya: (Maqashid al- Dharuriyat), (Maqashid al-Hajiyat), (Maqashid al-Tahsini).
3. tujuan mengetahui Maqashid Syariah diantaranya dapat mengetahui hukum, mensucikan jiwa, mencapai kemaslahatan dan dapat memantapkan diri dalam beramal.


DAFTAR PUSTAKA

1.      Abu Zahra, Muhammad. 2010. Cetakan XII. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus.
2.      Syarifuddin, Amir. 2008. Cetakan IV. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
3.      Effendi, Satria. 2009. Cetakan III. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
4.       Muhammad Syah, Ismail. 1992. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Bumi Aksara.




[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Kencana, Jakarta, 2008, Hlm. 231
[2] Satria Effendi, Ushul Fiqh, Kencana, Jakarta, 2009, Hlm. 234 - 236
[3] https://tafsirq.com/5-al-maidah/ayat-3
[4] https://tafsirq.com/26-asy-syura/ayat-13
[5] https://tafsirq.com/17-al-isra’/ayat-33
[6] https://tafsirq.com/16-An-Nahl/ayat-66-69
[7] Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Bumi aksara, Jakarta, 1992, hlm 67-101
[8] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 247
[9] https://tafsirq.com/13-ar-rad/ayat-28
[10] Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2010, hlm. 543 - 548

Komentar

Postingan populer dari blog ini

makalah tarikh tasyri' (Fenomena Tasyri’ Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in)

Makalah Hukum Tata Usaha Negara

makalah bahasa arab