makalah ushul fiqh (maqosidhu asyariah)
OLEH:
MAULIDA MAULAYA HUBBAH
PRODI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS HUKUM ISLAM
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr. wb.
Jika kita berbicara mengenai Fiqh, dipastikan
segala hal yang merupakan hasil pemikiran para mujtahid berupa hukum praktis
sehingga dapat diketahui bagaimana cara memahami Syariah tercakup didalamnya.
Disinilah kemudian timbul beberapa bidang dengan pengklasifikasian yang sesuai
menurut ciri dan bentuknya.
Ushul Fiqh kemudian dijadikan salah satu
bidang keilmuan untuk mengetahui dasar-dasar atau asal mula ditetapkannya
hukum-hukum tersebut, maka perlu diketahui apa saja tujuan dari adanya hukum
tersebut melalui bidang ilmu ini. Untuk itulah penulis berinisiatif untuk
mengkajinya secara sederhana.
Kemudian kami sampaikan Terima kasih yang
begitu sangat kepada Bapak Dr. H.
Sutrisno, M.HI sebagai dosen pembimbing mata kuliah Ushul Fiqh Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Jember yang
telah membimbing dan mengajari penulis hingga saat ini.
Demikian pengantar yang dapat kami sampaikan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat, Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua
pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai
akhir.
Wassalamu’alaikum wr.wb…....
03 - November - 2017
Penulis,
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR
DAFTAR
ISI
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Maqashid Al-Syari’ah
2.2 Macam-Macam Maqashid Al-Syari’ah
2.3 Peranan atau Tujuan Mengetahui Maqashid Al-Syari’ah
2.3 Peranan atau Tujuan Mengetahui Maqashid Al-Syari’ah
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Perlu diketahui bahwa syariah tidak
menciptakan hukum-hukumnya dengan kebetulan, tetapi dengan hukum-hukum itu bertujuan
untuk mewujudkan maksud-maksud yang umum. Kita tidak dapat memahami nash-nash
yang hakiki kecuali mengetahui apa yang dimaksud oleh syara’ dalam menciptakan
nash-nash itu. Petunjuk-petunjuk lafadz dan ibaratnya terhadap makna
sebenarnya, kadang-kadang menerima beberapa makna yang ditarjihkan yang salah
satu maknanya adalah mengetahui maksud syara’.
Kaidah-kaidah pembentukan hukum
Islam ini, oleh ulama ushul diambil berdasarkan penelitian terhadap hukum-hukum
syara’, illat-illatnya dan hikmah (filsafat) pembentukannya diantara nash-nash
itu pula ada yang menetapkan dasar-dasar pembentukan hukum secara umum, dan
pokok-pokok pembentukannya secara keseluruhan seperti juga halnya wajib
memelihara dasar-dasar dan pokok–pokok itu dalam mengistimbath hukum dari
nash-nashnya, maka wajib pula memelihara dasar-dasar dan pokok-pokok itu dalam
hal yang tidak ada nashnya, supaya pembentukan hukum itu dapat merealisasikan
apa yang menjadi tujuan pembentukan hukum itu, dan dapat mengantarkan kepada
merealisasikan kemaslahatan manusia serta menegakkan keadilan diantara mereka.
Untuk
itulah penulis tertarik untuk membahas seulas mengenai Maqashid Al-Syari’ah yang akan kami bahas berikutnya.
1.2. Rumusan Masalah.
Berdasarkan
hal-hal yang diuraikan di atas maka permasalahan yang dirumuskan dalam permasalahan ini
adalah sebagai berikut:
1.
Apa
pengertian Maqashid Al-Syari’ah?
2.
Apa saja macam-macam dari Maqashid
Al-Syari’ah?
3.
Apa peranan atau tujuan mengetahui Maqashid
Al-Syari’ah?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
Maqashid
Al-Syari’ah
Secara lughawi maqasid al syari’ah terdiri dari dua kata, yakni maqasid dan
syari’ah. Maqasid adalah bentuk jama’ dari maqsud yang berarti maksud atau
tujuan. Syari’ah sejatinya berarti hukum Allah, baik yang ditetapkan sendiri
maupun ditetapkan oleh Nabi. Dapat diambil kesimpulan Maqasid al-syariah adalah
apa yang dimaksud Allah dalam menetapkan hukum, apa yang dituju Allah dalam
menetapkan hukum, atau apa yang ingin dicapai oleh Allah dalam menetapkan suatu
hukum.[1]
Jadi, maqashid merupakan tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan sesuatu.
Terdapat berbagai pendefinisian telah dilontarkan oleh ulama usul fiqh tentang
istilah maqasid. Ulama klasik tidak pernah mengemukakan definisi yang spesifik
terhadap maqasid, malah al-Syatibi yang terkenal sebagai pelopor ilmu maqasid pun
tidak pernah memberikan definisi tertentu kepadanya. Namun ini tidak bermakna
mereka mengabaikan maqasid syara' di dalam hukum-hukum syara'. Berbagai
tanggapan terhadap maqasid dapat dilihat di dalam karya-karya mereka. Kita akan
dapati tanggapan ulama klasik yang pelbagai inilah menjadi unsur di dalam
definisi-definisi yang dikemukakan oleh ulama mutakhir selepas mereka. Apa yang
pasti ialah nilai-nilai maqasid syara' itu terkandung di dalam setiap ijtihad
dan hukum-hukum yang dikeluarkan oleh mereka. Ini karena nilai-nilai maqasid
syara' itu sendiri memang telah terkandung di dalam al-Quran dan al-Sunnah.
Ada
yang menganggap maqasid ialah maslahah itu sendiri, sama dengan menarik
maslahah atau menolak mafsadah. Ibn al-Qayyim menegaskan bahwa syariah itu
berasaskan kepada hikmah-hikmah dan maslahah-maslahah untuk manusia di dunia
atau di akhirat.Perubahan hukum yang berlaku berdasarkan perubahan zaman dan
tempat adalah untuk menjamin syariah dapat mendatangkan kemaslahatan kepada
manusia. Sementara Al-Izz bin Abdul Salam juga berpendapat sedemikian apabila
beliau mengatakan "Syariat itu semuanya maslahah, menolak kejahatan atau
menarik kebaikan.” Ada juga yang memahami maqasid sebagai lima prinsip Islam
yang asas yaitu menjaga agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta. Di satu sudut yang lain, ada juga ulama klasik
yang menganggap maqasid itu sebagai logika
pensyariatan sesuatu hukum.
Kesimpulannya maqasid syariah ialah "matlamat-matlamat yang ingin
dicapai oleh syariat demi kepentingan umat manusia". Para ulama
telah menulis tentang maksud-maksud syara’, beberapa maslahah dan sebab-sebab
yang menjadi dasar syariah telah menentukan bahwa maksud-maksud
tersebut dibagi dalam dua golongan sebagai berikut:
A. Golongan Ibadah,
yaitu membahas masalah-masalah Ta’abbud yang berhubungan langsung antara
manusia dan khaliqnya, yang satu persatunya telah dijelaskan oleh syara’.
B. Golongan
Muamalah Dunyawiyah, yaitu kembali pada maslahah-maslahah dunia, atau seperti
yang ditegaskan oleh Al Izz Ibnu Abdis Salam sebagai berikut:
“Segala
macam hukum yang membebani kita semuanya, kembali kepada maslahah di dalam
dunia kita, ataupun dalam akhirat. Allah tidak memerlukan ibadah kita itu.
Tidak memberi manfaat kepada Allah taatnya orang yang taat, sebagaimana tidak
memberi mudarat kepada Allah maksiatnya orang yang durhaka”.
Akal dapat mengetahui maksud syara’ terhadap segala hukum
muamalah, yaitu berdasarkan pada upaya untuk mendatangkan manfaat bagi manusia
dan menolak mafsadat dari mereka. Segala manfaat ialah mubah dan segala hal
mafsadat ialah haram. Namun ada beberapa ulama, diantaranya, Daud Azh – Zhahiri
tidak membedakan antara ibadah dengan muamalah.
2.2. Apa saja macam-macam dari Maqashid
Al-Syari’ah
Beberapa ulama ushul telah mengumpulkan beberapa
maksud yang umum dari mensyari’atkan hukum. Abu Ishaq al-Syatibi melaporkan
hasil penelitian para ulama’ terhadap ayat-ayat Al-qur’an dan Sunnah
Rasullullah bahwa hukum-hukum disyariatkan Allah untuk mewujudkan kemaslahatan
umat manusia di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan yang diwujudkan itu
terbagi kepada tiga tingkatan:
1. Kebutuhan Dharuriyat
Ialah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut dengan kebutuhan
primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak dipenuhi, akan terancam keselamatan
manusia baik di dunia maupun di akhirat kelak. Yang termaksud dalam kategori
ini adalah memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal,
kehormatan dan keturunan.
2. Kebutuhan Hajiyat
Ialah kebutuhan-kebutuhan sekunder, bilamana tidak terwujudkan, tidak
sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan. Syariat Islam
menghilangkan segala kesulitan itu. Contoh dalam lapangan ibadat, Islam
menyariatkan beberapa hukum rukhshah (keringanan) bilamana kenyataannya
mendapat kesulitan dalam menjalankan perintah-perintah taklif.
3. Kebutuhan Tahsiniat
Tingkat kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi
salah satu dari lima pokok diatas dan tidak pula menimbulkan kesulitan. Tingkat
kebuthan ini merupakan tingkat kebutuhan pelengkap.[2]
Dari 3 pengelompokan kebutuhan diatas, berimplikasi pada macam-macam Maqashid
Syariah sebagai berikut.
A. (Maqashid
al- Dharuriyat)
Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat
kebutuhan primer manusia. Hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia
seperti yang telah kami uraikan adalah bertitik tolak kepada lima perkara,
yaitu: Agama, jiwa, akal, kehormatan (nasab), dan harta. Islam telah
mensyariatkan bagi masing-masing lima perkara itu, hukum yang menjamin
realisasinya dan pemeliharaannya. lantaran dua jaminan hukum ini, terpenuhilah
bagi manusia kebutuhan primernya.
1)
Agama
Agama
merupakan persatuan akidah, ibadah, hukum, dan undang-undang yang telah
disyariatkan oleh Allah SWT untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya
(hubungan vertikal), dan hubungan antara sesama manusia (hubungan horizontal).
agama Islam juga merupakan nikmat Allah yang tertinggi dan sempurna seperti
yang dinyatakan dalam Al-Qur’an surat al-Maidah ayat 3: الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
الْإِسْلَامَ دِينًا
”pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu,
dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi
agama bagimu”.[3]
Beragama merupakan kekhususan bagi manusia, merupakan
kebutuhan utama yang harus dipenuhi karena agama lah yang dapat menyentuh
nurani manusia. seperti perintah Allah agar kita tetap berusaha menegakkan
agama, seperti firman-Nya dalam surat Asy-syura: 13
أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا
تَتَفَرَّقُوا فِيهِ
Artinya: “tegakkanlah
agama dan janganlah kamu berpecah belah karenanya.”[4]
Agama Islam juga harus dipelihara dari ancaman orang-orang yang tidak
bertanggung jawab yang hendak meruska akidahnya, ibadah-ibadah akhlaknya,atau
yang akan mencampur adukkan kebenaran ajaran islam dengan berbagai paham dan aliran yang batil. walau begitu,
agama islam memberi perlindungan dan kebebasan bagi penganut agama lain untuk
meyakini dan melaksanakan ibadah menurut agama yang diyakininya, orang-orang
islam tidak memaksa seseorang untuk memeluk agama islam. hal ini seperti yang
telah ditegaskan Allah dalam firman-Nya dalam surat al-Baqarah : 256.
2)
Memelihara Jiwa
Islam
melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman Qisas
(pembalasan yang seimbang), diyat (denda) dan kafarat (tebusan) sehingga dengan
demikian diharapkan agar seseorang sebelum melakukan pembunuhan, berfikir secara dalam
terlebih dahulu, karena jika yang dibunuh mati, maka seseorang yang membunuh
tersebut juga akan mati, atau jika yang dibunuh tersebut cidera, maka si
pelakunya akan cidera yang seimbang dengan perbuatannya.
Banyak ayat yang menyebutkan tentang larangan
membunuh, begitu pula hadist dari nabi Muhammad, diantara ayat-ayat tersebut
adalah : a. Surat Al-Baqarah ayat 178-179, b. Surat al-an’am ayat
151, c. Surat Al-Isra’ ayat 31, d. Surat Al-Isra’ ayat 33, e.
Surat An-Nisa ayat 92-93, f. Surat Al-Maidah ayat 32. Berikut ini adalah
salah satu contoh ayat yang melarang pembunuhan terjadi di dunia, yaitu surat Al-Isra’ ayat 33.
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ
الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ۗ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا
لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ ۖ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا
“Dan janganlah
kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu
(alasan) yang benar. dan barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya
kami Telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris
itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat
pertolongan”.[5]
3)
Memelihara Akal
Manusia adalah makhluk yang paling
sempurna diantara seluruh makhluk ciptaan Allah yang lainnya. Allah telah
menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk, dan melengkapi bentuk itu dengan
akal. Untuk menjaga akal tersebut, Islam telah melarang minum Khomr (jenis
menuman keras) dan setiap yang memabukkan dan menghukum orang yang meminumnya
atau menggunakan jenis apa saja yang dapat merusak akal.
Begitu banyak ayat yang menyebutkan
tentang kemuliaan orang yang berakal dan menggunakan akalnya tersebut dengan
baik. Kita disuruh untuk memetik pelajaran kepada seluruh hal yang ada di bumi
ini, termasuk kepada binatang ternak, kurma, hingga lebah, seperti yang
tertuang dalam surat An-Nahl ayat 66-69.
66 إِنَّ لَكُمْ فِي الْأَنْعَامِ
لَعِبْرَةً نُسْقِيكُمْ مِمَّا فِي بُطُونِهِ مِنْ بَيْنِ فَرْثٍ وَدَمٍ لَبَنًا خَالِصًا
سَائِغًا لِلشَّارِبِين
“Dan
Sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu.
kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu
yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang
meminumnya.”
67 وَمِنْ ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ
وَالْأَعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا إِنَّ فِي ذَلِكَ
لَآَيَةً لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
“Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minimuman
yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.”
68 وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ
الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ
“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah
sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang
dibikin manusia,"
69 ثُمَّ كُلِي
مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلًا يَخْرُجُ مِنْ
بُطُونِهَا شَرَابٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاءٌ لِلنَّاسِ إِنَّ فِي
ذَلِكَ لَآَيَةً لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan
dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang Telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah
itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat
obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan”.[6]
4)
Memelihara Keturunan
Untuk memelihara keturunan, Islam
telah mengatur pernikahan dan mengharamkan zina, menetapkan siapa-siapa yang
tidak boleh dikawini, sebagaimana cara-cara perkawinan itu dilakukan dan
syarat-syarat apa yang harus dipenuhi, sehingga perkawinan itu dianggap sah dan
percampuran antara dua manusia yang berlainan jenis itu tidak dianggap zina dan
anak-anak yang lahir dari hubungan itu dinggap sah dan menjadi keturunan sah
dari ayahnya. Islam tak hanya melarang zina, tapi juga melarang
perbuatan-perbutan dan apa saja yang dapat membawa pada zina.
5)
Memelihara harta benda
Meskipun pada hakikatnya semua harta
benda itu kepunyaan Allah, namun Islam juga mengakui hak pribadi seseorang.
Oleh karena manusia sangat tama’ kepada harta benda, dan mengusahakannya melalui
jalan apapun, maka Islam mengatur supaya jangan sampai terjadi bentrokan antara
satu sama lain. Untuk itu, Islam mensyariatkan peraturan-peraturan mengenai
mu’amalat seperti jual beli, sewa menyewa, gadai menggadai dll.
B. (Maqashid
al-Hajiyat)
Syariat yang berhubungan dengan
hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder manusia. Hal-hal yang bersifat
kebutuhan sekunder bagi manusia bertitik tolak kepada sesuatu yan gdapat
menghilangkan kesempitan manusia, meringankan beban yan gmenyulitkan mereka,
dan memudahkan jalan-jalan muamalah dan mubadalah (tukar menukar bagi mereka).
Islam telah benar-benar mensyariatkan sejumlah hukum dalam berbagai ibadah,
muamalah, dan uqubah (pidana), yang dengan itu dimaksudkan menghilangkan
kesempitan dan meringankan beban manusia.
Dalam
lapangan ibadah, Islam mensyariatkan beberapa hukum rukhsoh (keringanan,
kelapangan) untuk meringankan beban mukallaf apabila ada kesullitan dalam
melaksanakan hukum azimah (kewajiban). contoh, diperbolehkannya berbuka puasa
pada siang bulan ramadhan bagi orang yang sakit atau sedang bepergian.
Dalam lapangan muamalah, Islam
mensyariatkan banyak macam akad (kontrak) dan urusan (tasharruf) yang menjadi
kebutuhan manusia. seperti, jual beli, syirkah (perseroan), mudharobah
(berniaga dengan harta orang lain) dll.
C. (Maqashid
al-Tahsini)
Syariat yang berhubungan dengan
hal-hal yang bersifat kebutuhan pelengkap manusia. Dalam
kepentingan-kepentingan manusia yang bersifat pelengkap ketika Islam
mensyariatkan bersuci (thaharah), disana dianjurkan beberapa hal yang dapat
menyempurnakannya. Ketika Islam menganjurkan perbuatan sunnat (tathawwu’), maka
Islam menjadikan ketentuan yang di dalamnya sebagai sesuatu yang wajib baginya.
Sehingga seorang mukallaf tidak membiasakan membatalkan amal yang
dilaksanakannya sebelum sempurna .
Ketika Islam menganjurkan derma
(infaq), dianjurkan agar infaq dari hasil bekerja yang halal. Maka jelaslah,
bahwa tujuan dari setiap hukum yang disyariatkan adalah memelihara kepentingan
pokok manusia, atau kepentingan sekundernya atau kepentingan pelengkapnya, atau
menyempurnakan sesuatu yang memelihara salah satu diantara tiga kepentingan
tersebut.[7]
2.3. Peranan atau Tujuan Mengetahui
Maqashid Al-Syari’ah
Hampir setiap ulama’ dan penulis ushul fiqh membicarakan mengenai maqashid
syariah tak luput tujuan untuk mengetahuinya. Namun tujuan awalnya
adalah menemukan sifat-sifat yang sahih yang terdapat dalam hukum nash syara’
untuk disaring menjadi illat hukum melalui petunjuk masalikul
illat, sedangkan tujuan akhir yang merupakan tujuan utamanya adalah ta’lil
al-hakam yang artinya mencari dan mengetahui llat hukum. Adapun
mengetahui illat hukum dipisahkan menjadi tiga kemungkinan:
Pertama, dapat menetapkan hukum pada suatu kasus yang padanya terdapat illat hukum,
namun belum ada hukum padanya dengan cara menyamakannya dengan kasus yang sama
yang padanya terdapat pula illat hukum tersebut dalam arti yang
sederhana untuk kepentingan qiyas. Inilah tujuan yang terbanyak dalam
penemuan illat tersebut dan disetujui oleh mayoritas ulama’. Serta
berlaku dalam illat yang punya daya jangkau atau muta’addiyah.[8]
Kedua, untuk memantapkan diri dalam beramal. Hal ini berlaku dalam illat yang
tidak punya daya rentang yang disebut illat al-qashirah. Seseorang akan
merasa mantap dalam melakukan perintah Allah, missal melakukan perintah sholat,
sewaktu ia telah mengetahui sholat adalah dzikir, sedangkan dzikir itu adalah
menenangkan jiwa. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Ar-Rad ayat 28[9]
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ
اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka
manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati
Allah-lah hati menjadi tenteram.”
Ketiga, untuk penyucian jiwa. Mengetahui bahwa datangnya Syari’at Islam
menbawa rahmat bagi umat manusia sebagaimana yang dijelaskan dalam Al- Qur’an
surat Al-Anbiya’ ayat 107 وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Artinya: “Dan tiadalah Kami
mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan. Berbagai
peribadatan serta amal ditempuh untuk membersihkan jiwa dan memeperkokoh
kesetiakawanan sosial. Dengan demikian akan tercipta suasana saling kasih
mengasihi.
Keempat, ialah mencapai kemaslahatan. Maslahat yang dikendaki oleh Islam
bukanlah maslahat yang seiring dengan hawa nafsu. Akan tetapi, maslahat yang
hakiki yang menyangkut kepentingan umum, bukan kepentingan pihak tertentu
(khusus).[10]
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dari paparan penulis secara singkat diatas,
kiranya penulis menyimpulkan sebagai jawaban dari rumusan masalah yang
termaktub diatas :
1. Secara lughawi maqasid al syari’ah dapat diambil
kesimpulan Maqasid al-syariah adalah apa yang dimaksud Allah dalam
menetapkan hukum, apa yang dituju Allah dalam menetapkan hukum, atau apa yang
ingin dicapai oleh Allah dalam menetapkan suatu hukum maqashid merupakan tujuan
yang ingin dicapai dalam melakukan sesuatu. Terdapat berbagai pendefinisian telah dilontarkan oleh ulama usul fiqh
tentang istilah maqasid. Ulama klasik tidak pernah mengemukakan definisi yang
spesifik terhadap maqasid, malah al-Syatibi yang terkenal sebagai pelopor ilmu
maqasid pun tidak pernah memberikan definisi tertentu kepadanya. Namun ini
tidak bermakna mereka mengabaikan maqasid syara' di dalam hukum-hukum syara'.
2. terdapat tiga
macam Maqashid Syariah diantaranya: (Maqashid
al- Dharuriyat), (Maqashid al-Hajiyat), (Maqashid al-Tahsini).
3. tujuan mengetahui Maqashid Syariah diantaranya dapat mengetahui hukum, mensucikan
jiwa, mencapai kemaslahatan dan dapat memantapkan diri dalam beramal.
1.
Abu Zahra, Muhammad. 2010. Cetakan XII. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus.
2.
Syarifuddin, Amir. 2008. Cetakan IV. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
3.
Effendi, Satria. 2009. Cetakan III. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
4. Muhammad Syah, Ismail. 1992. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Bumi
Aksara.
[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Kencana, Jakarta, 2008, Hlm.
231
[2] Satria Effendi, Ushul Fiqh, Kencana, Jakarta, 2009, Hlm. 234
- 236
[3] https://tafsirq.com/5-al-maidah/ayat-3
[4] https://tafsirq.com/26-asy-syura/ayat-13
[5] https://tafsirq.com/17-al-isra’/ayat-33
[6] https://tafsirq.com/16-An-Nahl/ayat-66-69
[7] Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Bumi aksara,
Jakarta, 1992, hlm 67-101
[8] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Kencana, Jakarta, 2008, hlm.
247
[9] https://tafsirq.com/13-ar-rad/ayat-28
[10] Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, Pustaka Firdaus, Jakarta,
2010, hlm. 543 - 548
Komentar
Posting Komentar