Rekonsiliasi Hukum Islam dalam Dimensi Good Governance

OLEH:

MAULIDA MAULAYA HUBBAH

PRODI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS HUKUM ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER

Abstrak
“In the direction of good governance in a country, the need for support from the government whose duties can not be denied as a reference government. Therefore, good government not only prioritizes material aspects that are pragmatic but also carry ethical morals which can be found in the content of religion (Islam). Unceasingly, the approach to supporting aspects of the realization of good governance needs to be emphasized by the existence of rules in which the rules are in harmony with those already prescribed, but not creating a clash within the community. Then the Islamic law in its implications must be relevant so that it can be reviewed into a country.”
Dalam menuju pemerintahan yang baik di suatu negara, perlu adanya dukungan dari pemerintah yang tugasnya tak dapat dipungkiri sebagai pengacu jalannya pemerintahan. Oleh karena itu, pemerintah yang baik tidak hanya mengedepankan aspek material yang bersifat pragmatis namun juga mengemban moral etik yang mana dapat ditemukan dalam muatan agama (Islam). Tak henti disitu, pendekatan aspek penunjang terwujudnya good governace perlu ditekankan dengan adanya aturan-aturan yang mana aturan itu selaras dengan yang telah disyariatkan, namun tidak menciptakan benturan didalam masyarakat. Maka hukum islam dalam implikasinya harus bersifat relevan sehingga dapat diulas kedalam suatu negara.
Kata kunci: “good governance”,etik dan moral, hukum Islam dalam negara.
A.    Latar Belakang
Hidup bersama dalam satu keutuhan kenegaraan, tidaklah  mudah tanpa adanya aturan-aturan yang berkaitan  mengenai kenegaraan, sehingga tertatalah negara tersebut sesuai dengan yang dicita-citakan. Namun perlu disadari, segala hal yang berkaitan dengan negara tak bisa kemudian berparadigma sekuleristik saja, karena segala yang sekuler apalagi dalam modernisasi ini cenderung menitik beratkan pada nilai material yang pragmatis, tanpa memperhatikan nilai-nilai moral, etika, dan tangungjawab secara vertikal.
Logika dikotom yang mulai menggugat adanya pemikiran mengenai pengusaan wewenang kini telah berkembang sehingga menjadikannya suatu teori basic sosok pemerintah dalam pemerintahan. Salah satunya adalah pemahaman Good Governance and Bad Governance, merupakan satu dari berbagai teori mengenai suatu negara, yang perlu diketahui sehingga menjadi landasan seorang pemimpin mengemban amanah yang dibebankan kepadanya. Mengetahui saat ini banyak penyelewengan kekuasaan bukanlah hanya menjadi trend tapi seakan berevolusi menjadi culture yang lumrah terjadi dalam setiap sudut sistematika birokrasi.
Dalam konsep good governance untuk menyelaraskan antara prinsip-prinsip ketatanegaraan yang baik, bagaimana nantinya akan diimplikasikan pada suatu negara, tidaklah lepas dari kepribadian seorang pemimpinnya. Karena mereka yang akan mengatur jalannya sebuah pemerintahan, tak hanya itu pemerintah merupakan salah satu unsur peningkat kinerja dalam suatu pemerintahan.
Berawal dari itu, kemudian nilai-nilai keagamaan yang memuat unsur moral, etika dan tanggungjawab kepada tuhan menjadi salah satu asumsi yang sesuai diperlibatkan dalam kenegaraan, agar setiap manifestasi praktis ketatanegaraan menuju good governance sesuai dengan syariat atau ketetapan tuhan.
Pendekatan dari aspek kepemimpinan tidak dapat bertahan sendiri untuk menciptakan negara yang dicita-citakan sesuai dengan Welfare State, perlu didukung dengan adanya inteverensi pendekatan hukum yang perlu disesuaikan dengan kondisi Sosiaologis negara beserta seluruh unsur didalamnya yang bersangkutan. Penyesuaian ini tidaklah mudah karena dalam potret kehidupan sering kali hukum datang menentang keadaan sosial masyarakat, begitupun sebaliknya.
Maka perlu adanya adabilitas hukum sehingga bersifat relevan dalam lingkup yang akan dikenai hukum tersebut. Dari titik itulah kemudian, saat Islam berkecimpung dalam pemerintahan terlebih dalam aspek hukumnya yang ikut andil dalam suatu negara, sehingga bagaimanapun hadirnya dapat diterima atau selaras dengan pemerintahan dan mampu mewujudkan good governance serta sesuai dengan konsep Welfare State yang menjadi goal akhir.
Berangkat dari keterangan diatas, disaat suatu pemerintahan telah menetukan bagaimana pemerintah yang baik untuk negaranya dengan substansial moral etik agama, hukum dapat melaraskan maupun bersumbangsi kembali dalam pencapaian good governance tanpa adanya kontroversi sebab perbedaan pendapat dikalangan masyarakat tidak sesuai dengan keadaan mereka.
Maka dari itulah penulis ingin mencocokkan kembali, menggugat pentinggnya nilai-nilai keislaman khususnya untuk membangun good governance dalam suatu negara dengan aturan-aturan yang disyariatkan tuhan, sehingga dapat membuka pandangan akan bagaimana hukum islam sesungguhnya selaras dengan masyarakat dan mampu mewujudkan konsep Welfare State yang menjadi tolak ukur keberhasilan berdirinya suatu negara. Sehubungnya, penulis berkenan membahas seulas mengenai “Rekonsiliasi Hukum Islam dalam Dimensi Good Governance”.
B.     Rumusan Masalah.
Berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas maka permasalahan yang dirumuskan dalam permasalahan ini adalah sebagai berikut:
1.  apa yang menjadi Indikator suatu negara dapat dikatakan telah mencapai good governance?
2.      Bagaimanakah pandangan hukum Islam mengenai suatu pemerintahan?
3.      Mampukah hukum islam berimplikasi dalam aturan-aturan suatu negara?
4.      Bagaimana hukum islam sesuai dengan konsep good governance?

C.    Tujuan dan Manfaat
1. Untuk mengetahui standarlisasi suatu negara dapat dikatakan memiliki aspek maupun unsur-unsur yang terkandung didalam pemerintahannya, sehinga mampu dikatakan telah mencapai good governance yang mana praktiknya diidam-idamkan oleh seluruh negara di dunia demi mencapai Welfare State.
2.      Dalam mencapai kepentingan suatu negara baik kepentingan perdamaian, keamanan, maupun kepentingan-kepentingan ekonomi pada umumnya. Semua kepentingan itu menghendaki akan adanya hukum yang memberikan hak dan kewajiban kepada negara itu. Maka pembahasan ini ditujukan untuk mengetahui bagaimana sudut pandang Islam terlebih dalam aspek hukumnya memandang suatu pemerintahan. Serta dapat mengetahui perseteruan diantara pemahaman yang fanatik atas suatu negara maupun   islam itu sendiri.
3.      Mengetahui bagaimana adabtabilitas hukum Islam berkecimpung di dalam suatu peraturan-peraturan negara demi mewujudkan keinginan bersama menuju good governance. Serta dapat mengetahui bagaimana perkembangan pasang surut hukum Islam berbaur dalam pemerintahan.
4.      Dapat memahami hukum islam lebih jauh, sehingga membuka pandangan seseorang akan hukum islam. Serta mengakui bahwa sifatnya relevan sehingga dapat dijadikan salah satu asumsi menuju good governance. Kemudian untuk dapat mengetahui adanya hukum islam dapat diselaraskan pada aturan-aturan ketatanegaraan yang sesuai dengan keadaan sosial masyarakatnya.

D.    Metode Penelitian
Pembahasan ini menggunakan metode penelitian secara normatif dengan membahas berbagai pendapat dalam pemuatan konsepnya. Serta menggunakan dasar-dasar secara  teoritik mengenai pemerintahan secara umum yang kemudian dimasukkan nilai-nilai keislaman untuk mewujudkan cita-cita suatu negara yang diinginkan. Kemudian memasukkan prinsip-prinsip islam dalam peraturan negara yang tidak menimbulkan kontroversi perbedaan dalam masyarakat.

E.     Kerangka Teoritik
Berdasarkan teori pemerintahan yang baik (good governance) di suatu negara,  salah satunya dapat dilihat dari sejauh mana pemerintah dapat berperan dan sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan, oleh sebab itu kepemimpinan yang efisien harus memiliki standar kapabilitas. Dengan menggunakan konsep-konsep agama (Islam) yang di inteverensikan di dalamnya.
Hukum Islam dijadikan sebagai salah satu asumsi untuk mengatasi modernisasi di era kontemporer seperti saat ini, yang hanya membawa nilai-nilai material dengan mengenyampingkan urusan moral dan etik. Kemudian hukum islam dijadkan salah satu refrensi mengatasi masalah-masalah dalam tatanan kenegaraan.
Dengan menggunakan konsep hati nurani, amanah, kejujuran, keadilan serta bertanggung jawab dalam konsepsi Islam dinyatakan dapat menemukan pemerintah ataupun pimpinan berintegritas tinggi dalam penyelenggaraan suatu tatanan negara, sehingga mencapai good governance.
Disamping menggugah kepemimpinan dengan konsep-konsep Islam, membahas teori “positivisme pragmatis” yaitu hukum merupakan sesuatu yang selalu dalam perubahan, karena ia ditemukan oleh fakta-fakta sosial yang senantiasa berubah. Hukum adalah aturan-aturan yang dibuat untuk melayani kebutuhan sosial yang selalu bekerja dan berfungsi sebagai pemuas hasrat masyarakat yang tidak terbatas. Dalam teori ini hukum menjadi kehilangan stabilitasnya, karena yang lebih dipentingkan adalah terpenuhinya kebutuhan sosial yang terus berkembang secara dinamis. Kedua, adalah teori “positivisme analitis” lebih menekankan pada stabilitas hukumm dimana otoritas hukum ebagai pengendali perubahan agar tetap pada alur hukum. Dijadikan sebagai peraturan yang mengikat yang seharusnya menjadi kontrol perubahan, hukum sebagai suatu hal yang mutlak dan harus dipertahankan.
Mengkaitkan pendekatan maslahah dalam konsep Hukum Islam demi mewujudkan kemanfaatan bersama dan menjauhi kemudharatan.

F.     Pembahasan
1.      Indikator Good Governance dalam Negara

Segala manifestasi suatu negara selamanya akan terkait dengan mewudkan kesatuan, persatuan, keadilan dan kesejahteraan bagi bangsanya. Dalam menghadapi modernitas dalam berbagai aspeknya, kita mengetahui modernisasi tidak hanya membawa dampak positif akan tetapi juga berimplikasi pada adanya distorsi nilai-nilai kebenaran, kemanusiaan, keadilan sosial dan moral yang menitik beratkan pada diri dan  karakteristik atau kepribadian sumber daya manusia setiap individual.
Dalam pemerintahan yang baik (good governance) di suatu negara,  salah satunya dapat dilihat dari sejauh mana pemerintah dapat berperan dan sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan, oleh sebab itu kepemimpinan yang efisien harus memiliki standar kapabilitas sebagaimana yang disebutkan oleh Hickman Titus (1986) dalam perpektif yang lebih menumpu pada kualifikasi teknis berikut ini:[1]
a.       Intelectual Capasity, yang berhubungan dengan kepandaian (ketajaman otak) seseoran untuk mengatur dan merencanakan gerak organisasi atau pemerintahan yang ia tekuni. Perlu diketahui, otak yang cerdas pastilah memiliki kecerdasan emosional (EQ) yang tinggi. Saat seseorang memiliki EQ yang tinggi ia dapat memahami kondisi dirinya, memahami perasaan yang terjadi dalam dirinya, dan bisa mengambil tindakan yang positif sebagai respons dari munculnya perasaan itu. Orang tersebut juga mampu merasakan perasaan orang lain dan bisa menanggapinya secara proporsional.[2]
b.      Self Significance, yakni perasaan dirinya penting untuk membantu mencapai tujuan kelompok.
c.       Vitality, segala sesuatu yang menunjukkan kepada semangat kerja dan kesehatan seseorang.
d.      Training, yakni latihan tambahan yang diterima seseorang agar memiliki kemampuan yang lebih baik daripada orang lain.
e.       Experience, pengalaman pemimpin yang dimiliki seseorang, sekalipun pada kelompok-kelompok kecil. Pengalaman ini dimaksudkan seseorang akan mampu mengetahui jalannya suatu organisasi sehingga dapat mengambil tindakan, setidaknya mereka memiki teori dasar dalam pemerintahan.
f.       Reputations, reputasi yang dimiliki seseorang menyelesaikan tugasnya tanpa cacat atau tercela.
Tidak dapat dipungkiri, bila memenuhi secara keseluruhan seseorang hampir mustahil gagal memimpin kelompoknya, dan apabila standar yang dikemukakan sesuai, maka jelas integritas pemimpin terjamin.
Namun hal ini tidaklah mudah didapat seperti halnya membalikkan kedua tangan, perlu adanya penanaman moral yang menjiwai setiap individual, terlebih sosok pemimpin demi menunjangnya Welfare State yang dicita-citakan.
Karena, pada hakikatnya, manusia selalu merasa ingin kehidupannya tanpa adanya kekurangan, oleh sebab itu, Jack Bologne mengatakan sikap greedy manusia, yang didukung dengan adanya oppurtunity serta dorongan kebutuhan (need) dan tidak adanya exposures yang sesuai, akan menimbulkan tindakan-tindakan penyelewengan bahkan “Abuse of Power.” Adapun moral tersebut building independent dalam diri individual, agama (Islam) mengajarkan beberapa konsepsi dalam hal tersebut, antara lain:
A.    Konsep Hati Nurani
Sesungguhnya setiap orang memiliki hati nurani yang mulia sejauh yang bersangkutan mau dan mampu untuk mengendalikan kebenaran, pengetahuan suci, tulus ikhlas, dan kesucian, serta dapat mengeleminir kekuatan hawa nafsu, dendam, dan ketakutan.
Pikiran, perkataan, dan perbuatan seseorang sangat dipengaruhi oleh hati nurani masing-masing. Bila hati nurani seseorang itu mulia, tentu pikiran, perkataan, perbuatan orang itu akan selalu ada pada jalan Dharma (kesucian).
      Kualitas batin seseorang. Ketikan seseorang slalu puas dengan ketamakan dan kebodohan, maka ia senang melakukan mata pencahariannya dengan cara yang salah. Seperti melakukan tindakan-tindakan penyelewengan yang berujung pada Against of Good Governance Goal.
B.     Konsep Kejujuran
Berdasarkan QS. An-Nahl, 16:105):
انما يفترى الكذب الذين الايؤمنون بايات الله و اولئك هم الكاذبون
“Sesungguhnya yang mengada-ngadakan kebohongan hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang pendusta.”
Berperilaku tidak jujur yang meliputi segala bentuk kebohongan dan perilaku munafik, tidak bisa tidak adalah akar dari sikap dan perilaku yang tergolong atau mengarah dalam tindakan penyelewengan.
      Berawal dari ketidakjujuran, sikap seperti ini, tentu bukanlah sesuatu yang bersifat otomatis, melainkan oleh banyak faktor: mulai dari individu, keluarga, sekolahan, masyarakat dan bangsa.[3]
Kejujuran merupakan prinsip dasar hidup dan kehidupan. Bila seseorang senantiasa mengikuti kebenaran, maka hidupnya akan selamat, sejahtera, terhindar dari bencana, memperoleh kebijaksanaan, dan kemuliaan.
C.    Konsep Amanah
Amanah dalam pengertian sempit adalah memelihara titipan dan mengembalikannya kepada pemiliknya dalam bentuk semula. Sedangkan dalam pengertian yang luas, amanah mencangkup banyak hal;
Menjaga rahasia, memelihara semua nikmat yang diberikan Allah, menunaikan kewajiban dengan baik dan tidak menyalahgunakan jabatan. Sikap inilah yang seharusnya ditekankan oleh setiap pemimpin.
D.    Konsep Tanggung Jawab
Empiris membuktikan betapa banyak orang sejak zaman dahulu hingga saat ini selalu menginginkan sesuatu dengan mudah sehingga mereka menemuan inovasi-inovasi yang serba instant, banyak yang masih belum memahami arti tanggung jawab yang diawali dengan adanya suatu kepercayaan yang diterimanya. Kepercayaan yang diperoleh seseorang merupakan awal dari kesuksesan namun tak henti disitu, maka apa yang telah diembankan perlu dipertanggung jawabkan.[4]
Tanggung jawab tidak hanya diperlakukan secara horizontal, namun lebih jauh dari itu harus dipertanggung jawabkan kepada Tuhan yang Maha Esa.
E.     Konsep Keadilan
Keadilan dan kebenaran merupakan suatu sikap sekaligus perbuatan yang seharusnya dijalankan setiap manusia dalam kebersamaannya dengan orang lain. Keadilan dan kebenaran merupakan syarat bagi tetap terpeliharanya kedamaian dan kesejahteraan hidup manusia bersama orang lain.
Siapapun orangnya kalau dalam diri pribadinya berkembang nafsu egois yang berlebihan, maka sulit untuk berlaku dan bertindak adil. Yang akan berkembang justru sebaliknya, inilah suatu perbuatan yang merugikan orang lain. [5]
Sebagaimana Allah memerintahkan kita untuk berbuat adil dalam wahyuNya surat Al-A’raf ayat 29:   قل امر ربي بالقسط
Artinya “katakanlah: tuhanku menyuruh untuk menjalankan keadilan”
2.      Pemerintahan Menurut Hukum Islam
Dalam menuju pemerintahan yang baik (Good Governance), selain cenderung mengangkat integritas seorang pemimpin, tak dapat disangkal bahwasannya semua negara mempunyai kepentingan yang sama, baik kepentingan perdamaian, keamanan, maupun kepentingan-kepentingan ekonomi pada umumnya. Semua kepentingan itu menghendaki akan adanya hukum yang memberikan hak dan kewajiban kepada negara itu.[6]
Pemerintahan (al-hukm) secara linguistic berarti keputusan (al-qadha’). Penguasa (al-haakim) adalah seseorang yang melaksanakan keputusan (hukm). Secara umum al-hukm, al-mulk, dan as-sulthan memiliki makna yang sama, yaitu kekuasaan yang menerapkan aturan-aturan. Dengan kata lain, pemerintahan merupakan aktifitas kepemimpinan (imamah) yang diwajibkan oleh syara’ kepada kaum muslimin. Imamah ini adalah kekuasaan yang digunakan untuk mencegah kezhaliman dan menyelesaikan perselisihan.[7]
Islam memerintahkan kaum muslimin menegakkan negara dan menerapkan aturan berdasarkan hukum-hukum islam. Puluhan ayat-ayat al-qur’an mengungkapkan dalam masalah pemerintahan dan kekuasaan, yang mewajibkan umat islam memerintah dengan aturan yang diturunkan oleh Allah SWT. Allah berfirman:
“maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS. Al-maidah: 48)
“dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang diturunkan Allah kepadamu.” (QS. Al-maidah: 49)
“barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-maidah: 44)
“barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-maidah: 45)
Selain ayat-ayat diatas, masih banyak terdapat ayat-ayat yang menjelaskan perihal yang berkaitan dengan pemerintahan dan kekuasaan. Namun perlu disadari islam tidak akan terwujud dalam kehidupan sampai ia ditegakkan dalam suatu negara yang menerapkan hukum-hukumnya, namun bukan berarti harus mengislamisasi suatu negara yang telah berdiri sesuai dengan ideologinya.
Negara Islam adalah suatu bentuk institusi politik yang manusiawi, bukan institusi ketuhanan. Daulah islam juga bukan institusi yang memiliki sifat suci, begitu pula negaranya tidak memiliki sifat ma’sum (terjaga dari segala dosa). Sistem pemerintahan Islam ialah sistem yang menjelaskan mengenai dasar-dasar, karakter, konsep-konsep, pemikiran-pemikiran, yang didalamnya menerapkan unsur keIslam. Negara Islam hanyalah suatu bentuk ikhtiar (usaha) menerapkan pemerintahan yang baik dengan metode-metode sesuai dengan hukum islam.
Yang diperdebatkan hingga menjadikan perseteruan antara hadirnya agama dalam pemerintahan ataupun ketatanegaraan adalah bentuk fanatisme dari tiap pihak yang bertentangan pemikiran. Sebagaimana yang diutarakan oleh Kemal Attaturk seorang tokoh nasionalisme dan partikularisme mengatakan  bahwa nasionalismenya adalah agamanya.[8] Dimana ia menyatukan antara jiwa nasionalisnya, kenegaraannya kepada agamanya. Begitupun dengan fanatisme pertentangan kepada negara untuk membangun negara Islam yang mana suatu negara telah tercipta berdasarkan ideologi sendiri sehingga menimbulkan kontroversi.
Umat islam tidak perlu menuntut negara atau pemerintah menjadi negara pemerintah islam, yang terpenting adalah isi atau substansinya, bukan bentuk formalnya. Bentuk formal tidak akan bermanfaat apabila isinya tidak berubah. Boleh apapun bentuknya, klaimnya, atau pengakuannya terhadap suatu negara tetapi Values atau nilai-nilai yang dijalankan adalah nilai-nilai yang dihendaki oleh Allah.[9]
3.      Adaptabilitas Hukum Islam
Pemikiran dalam kajian ini dimaksudkan sebagai refleksi ulang terhadap pemikiran hukum Islam. Disamping kemajuan nilai-nilai material dan pragmatis dalam modernisasi, moral, etika, dan keadilan sosial seakan terdistorsi, sebab itulah, agama dapat menjadi tumpuan dalam mewujudkan keadilan, dan pembinaan moral dalam rangka menciptakan kehidupan yang penuh keseimbangan, yang dapat mengendalikan dampak-dampak yang dibawa oleh modernisasi. Dalam Islam terdapat seperangkat nilai yang disebut dengan hukum Islam (Fiqh), yang merupakan manifestasi praksis dari nilai-nilai moral yang menjadi tujuan syariat. Secara epistemologi, hukum Islam dihasilkan dari pola pemahaman tertentu terhadap teks-teks nash yang menjadi pedoman dasar, yang selanjutnya ditempatkan sebagai pedoman norma dan etika dalam kehidupan manusia.
Dalam perjalanannya yang hampir lima belas abad, hukum Islam sudah mengalami dinamikanya sendiri, baik itu berupa kemajuan ataupun justru mengalami stagnasi. Penilaian terhadap hal ini dapat diukur dari dua aspek. Pertama, dari segi perkembangan epistemologisnya, yakni sejauh mana system pengetahuan yang digunakan untuk mereproduksi pemikiran hukum Islam ikut mewarnai wacana keilmuan yang berkembang, khususnya dibidang hukum. Kedua, dari segi fungsi dan peranan hukum Islam dalam menciptakan system kehidupan yang sesuai dengan misi Islam itu sendiri, yakni sebagai rahmat bagi semesta alam.
Dua aspek diatas harus berhadapan dengan dua postulat yang sama-sama dianggap valid tapi sering dipertentangkan, yaitu keyakinan bahwa Islam adalah nilai-nilai yang bersifat universal dan absolut, berlaku tanpa batas waktu dan tempat, dan kenyataan bahwa umat Islam sendiri dalam perkembangannya sudah tersebar di seluruh dunia, tersekat oleh perbedaan etnis, budaya, negara, dan bahkan system hukum. Dengan doktrin bahwa Islam datang sebagai rahmatanlilalamin, maka masyarakat manapun dan kapanpun yang meyakini Islam sebagai nilai yang ideal mengharapkan system nilai itu berlaku dan berdaya guna bagi kebaikan hidup manusia.[10]
Al-Qur’an sendiri telah menjelaskan bahwa Islam dimaksudkan untuk kemaslahatan manusia dalam hidupnya, menghilangkan pembebanan dan kepicakan, serta menolak kemudharatan dan kerusakan. Sebagaimana dalam Al-Qur’an surat Al-Anbiya’ ayat 107 yang berbunyi: وما ارسلناك الا رحمة للعالمين
Artinya, “dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi alam semesta.”[11]
Atas dasar tuntutan kemaslahatan diatas, Hukum Islam kemudian harus senantiasa menemukan relevansinya dengan realitas yang akan ditata berdasarkan dialektika yang positif antara dinamika perkembangan masyarakat yang sesuai dengan teks nash sebagai sumber hukum Islam.
Kemudian dari ini muncul pertanyaan yang cukup rumit dijawab; apakah demi mempertahankan relevansi aktualitas itu kukum Islam harus selalu berubah mengikuti perubahan sosial, atau malah sebakliknya, untuk menjawab pertanyaan ini terdapat dua teori hukum yang dapat dijadikan tolak ukur. Pertama, disebut sebagai teori “positivisme pragmatis” yaitu hukum merupakan sesuatu yang selalu dalam perubahan, karena ia ditemukan oleh fakta-fakta sosial yang senantiasa berubah. Hukum adalah aturan-aturan yang dibuat untuk melayani kebutuhan sosial yang selalu bekerja dan berfungsi sebagai pemuas hasrat masyarakat yang tidak terbatas. Dalam teori ini hukum menjadi kehilangan stabilitasnya, karena yang lebih dipentingkan adalah terpenuhinya kebutuhan sosial yang terus berkembang secara dinamis. Kedua, adalah teori “positivisme analitis” lebih menekankan pada stabilitas hukumm dimana otoritas hukum ebagai pengendali perubahan agar tetap pada alur hukum. Dijadikan sebagai peraturan yang mengikat yang seharusnya menjadi kontrol perubahan, hukum sebagai suatu hal yang mutlak dan harus dipertahankan.[12]
Diseluruh dunia pertentangan antara stabilitas dan perubahan hukum merupakan masalah umum bagi semua sistem yang ada di dunia. Berdasarkan dua teori diatas, hukum berada pada posisi dilematis. Namun jika dilihat dari fungsi dan tujuannya, sejatinya suatu sistem hukum dikatakan sempurna dan efektif apabila ia bisa mempertahankan stabilitasnya sekaligus mampu menghadapi dinamika perubahan yang terjadi di masyarakat. Perlu ditekankan, dua teori tersebut dibangun dengan mengacu pada pandangan-pandangan hukum di luar konteks Islam, perspektif ini juga bersifat linier antara antara hukum sebagai ciptaan manusia, dan perubahan sebagai fenomena sosial. Berbeda dengan paradigma hukum Islam, yang secara mutlak juga berdimensi ketuhanan, apabila mengkaitkan antara teori hukum yang telah ditetapkan oleh Islam serta perubahan sosial, maka tidak hanya kesulitan yang akan ditermui melainkan berimplikasi pada pertanggungjawaban keimanan secara vertikal kepada Tuhan atas keabsahan ketentuannya.
Oleh karena itu, dalam konteks Islam, hukum hanyalah sebagai pranata taknis yang menjembatani antara tujuan syara’ yang terkandung dalam nash dan tatanan sosial yang menjadi objek hukum. Maka, hukum Islam juga harus mampu beradaptasi dengan perubahan sosial yang mungkin saja dapat menggugah stabilitasnya. Akan tetapi secara substansial, bukanlah hukum Allah SWT yang berubah mengikuti perubahan sosial, yang terjadi hanyalah perubahan hasil interpretasi terhadap nash sesuai dengan konteks sosialnya. Karena pada dasarnya ketetapan Allah SWT mengandung dua konsep penafsiran, pertama, yaitu secara qath’i dalalah ( قطعي الدلالة ) dimana semua ulama’ sepakat dlam mengartikan satu penafsiran karena bersifat mutlak, kemudian kedua, secara dhonniu dalalah (ظني الذلالة)  yang dalam intepretasinya memunculkan berbagai perbedaan yang disesuaikan.[13]
4.      Rekonsiliasi Hukum Islam Untuk Mencapai Pemerintahan yang Baik
Memasukkan nilai-nilai Islam khususnya hukum Islam dalam pemerintahan yang tidak berbasiskan negara Islam memang terbilang cukup rumit, namun bukan berarti kemudian nilai ini tersankal dari porsi ketatanegaraan. Dapat diakui, relevansi hukum Islam dapat masuk dalam bentuk dan ideologi suatu negara apapun. Maka, menamkan unsur keislaman dalam suatu negara seperti Indonesia misalnya bukan hal yang dapat dipungkiri.
Sebagaimana ketentuan-ketentuan apapun yang telah ditetapkan oleh Allah SWT tidak lain demi, memenuhi kebutuhan manusia, baik itu kebutuhan yang bersifat fisik maupun jiwa, kebutuhan duniawi maupun ukhrawi. Secara garis besar kebutuhan manusia tergolong atas lima garis besar secara umum, yang terangkum dalam istilah maqosid as-syari’ah al-khomsah, yakni melindungi agama dari keyakinan, akal, jiwa, keturunan, dan harta benda. Karena pada hakikatnya, manusia memang terlahir cenderung untuk mempertahankan dirinya. Dan Islam mengatur secara detail mengenai perkara tersebut.
Maka, keabsahan hukum Islam yang mengitervensi dalam suatu negara dianggap mampu untuk membangun good governance sebagaimana yang dicita-citakan oleh negara atas konsep Welfare State. Menimbang dalam hukum Islam juga mengkaji suatu hukum berdasarkan keadaan Sosiologis suatu negara maupun segala unsur dalam negara tersebut, baik tujuannya yang melindungi hak-hak individu maupun hak-hak kolektif masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut, dalam pemikiran Hukum Islam, diasumsiakan bahwa nilai-nilai kemaslahatan dapat terwujud apabila prinsip-prinsip yang terkandung dalam nash dapat  teraktualisasi secara efektif untuk memenuhi tuntutan kehidupan manusia. Untuk itulah menitik beratkan pada ijtihad para ulama’ yang merumuskan teori atau kaidah-kaidah yang standar menjadi hukum Islam sebagai perwujudan dari nash untuk kepentingan kebutuhan praktis tetapi nantinya juga dipertanggung jawabkan kepada Allah SWT dengan cara analogi, konsensus, maupun dengan bentuk dan cara lainnya.
Bentuk-bentuk pemikiran tersebut kemudian dimasukkan kedalam beberapa teori hukum Islam yang disesuaikan. Seperti Salah satunya adalah dengan menggunakan teori pendekatan Al-Maslahah yang mana memberikan pedoman hukum Islam dengan menemui masalah-masalah yang bersesuaian dengan tujuan-tujuan syariat Islam dan tidak ditopang oleh sumber dalil khusus, baik bersifat legitimasi atau membatalkan maslahah tersebut. Sebagaimana Al-Ghozali mengatakan bahwa maslahah berarti sesuatu yang mendatangkan manfaat (keuntungan) dan menjauhkan (kerusakan) namun hakikat dari maslahah adalah: المحافظة على مقصود الشرع artinya, memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum)”[14] meski dalam penggunaanya tidak semua ulama’ menyepakati dalam masalah maslahah.
Secara klasifikasian kemudian maslahah didefinisikan kedalam artian umum dan khusus. Dalam artian umum yakni kebaikan atau hal-hal yang dapat mengantarkan kepada terwujudnya kebaikan manusia dalam hidupnya. Begitu juga masuk dalam pengertian ini hal-hal yang dapat menghilangkan kemudharatan atau kerusakan secara mutlak. Sedangkan dalam artian khusus yaitu dibagikan kedalam dua hal:
1.      Maslahah yang sudah nyata menjadi tujuan syara’ dalam setiap ketetapan hukum, yakni sifat dan jenis kemaslahatan itu sudah bisa diketahui dalam teks-teks nash.
2.      Maslahah yang didasarkan pada penilaian manusia bahwa dalam sesuatu itu terdapat kebaikan walaupun tidak secara eksplisit dikatakan oleh teks. Dalam pengertian ini kebenarannya dianggap bersifat relatif dengan pengertian bisa saja bersesuaian dengan ketentuan syara’ atau justru bertentangan, sehinga perlu diuji validitasnya dengan penelitian (istiqra’) secara menyeluruh terhadap teks-teks yang terkait.[15]
Kemudian dalam penetapan hukum Islam dengan menggunakan pendekatan maslahah ditekankan lagi menurut keabsahan, urgensi, lingkup sasaran dan konteks penggunaanya.
Selain untuk  melaraskan kembali hukum Islam dengan metode pendekatan maslahah, masih terdapat pendekatan-pendekatan lainnya yang bersifat relevan tetapi tidak menghilangkan stabilitas hukum dan tetap bersikukuh pada ketetapan syara’.
G.    Penutup
1.      Kesimpulan
Dari paparan penulis secara singkat diatas, kiranya penulis menyimpulkan sebagai jawaban dari rumusan masalah yang termaktub diatas:
1. manifestasi suatu negara selamanya akan terkait dengan mewudkan kesatuan, persatuan, keadilan dan kesejahteraan bagi bangsanya. Dalam menghadapi modernitas dalam berbagai aspeknya, kita mengetahui modernisasi tidak hanya membawa dampak positif akan tetapi juga berimplikasi pada adanya distorsi nilai-nilai kebenaran, kemanusiaan, keadilan sosial dan moral yang menitik beratkan pada diri dan  karakteristik atau kepribadian sumber daya manusia setiap individual. Dalam mencapai integritas pemimpin dapat memupukkan konsep-konsep Islam untuk menemukan kepribadian yang baik harus memiliki konsep hati nurani, kejujuran, keadilan, amanah dan tanggung jawab dalam dirinya.
2.     Dalam menuju pemerintahan yang baik (Good Governance), selain cenderung mengangkat integritas seorang pemimpin, tak dapat disangkal bahwasannya semua negara mempunyai kepentingan yang sama, baik kepentingan perdamaian, keamanan, maupun kepentingan-kepentingan ekonomi pada umumnya. Semua kepentingan itu menghendaki akan adanya hukum yang memberikan hak dan kewajiban kepada negara itu. Sebab Islam juga diasumsikan dapat memecahkan masalah yang terkandung didalam kehidupan bernegara ini.
3.     Disamping kemajuan nilai-nilai material dan pragmatis dalam modernisasi, moral, etika, dan keadilan sosial seakan terdistorsi, sebab itulah, agama dapat menjadi tumpuan dalam mewujudkan keadilan, dan pembinaan moral dalam rangka menciptakan kehidupan yang penuh keseimbangan, yang dapat mengendalikan dampak-dampak yang dibawa oleh modernisasi. Dan hukum Islam tetap dituntut untuk relevan disamping menjaga stabilitas hukumnya dalam ketentuan syara’.
4.     Memasukkan nilai-nilai Islam khususnya hukum Islam dalam pemerintahan yang tidak berbasiskan negara Islam memang terbilang cukup rumit, namun bukan berarti kemudian nilai ini tersankal dari porsi ketatanegaraan. Dapat diakui, relevansi hukum Islam dapat masuk dalam bentuk dan ideologi suatu negara apapun. Maka, menamkan unsur keislaman dalam suatu negara seperti Indonesia misalnya bukan hal yang dapat dipungkiri.
2.      Saran
Penulis menyarankan kepada pembaca agar lebih membuka wawasan mengenai ketatanegaraan yang ada di dalam negara khususnya negara yang ditinggali, serta tidak bersifat fanatik akan suatu dimensi ideologi tanpa mempertimbangkan pendekatan-pendekatan aspek lainnya, yang mungkin dan terkadang bisa lebih memberikan kontribusi dalam menyelesaikan perkara yang dihadapi.

H.    Daftar Pustaka
1.      Imawan, Riswanda. 1998. Membedah Politik Orde Baru. (Yogjakarta: Pustaka Pelajar)
2.      Masykur, Syafii. Menajamkan Otak dengan Sholat. , Yogyakarta: Citra Risalah.
3.      Yunahar Ilyas Dkk. 2014. Korupsi dalam perspektif Agama-Agama. Yogyakarta: KUTUB.
4.      Widodo, L. Amin. 1994. Fiqh Siyasah. Yogjakarta: Tiara Wacana.
5.      Zallum, Abdul Qadim .2001. Pemikiran Politik Islam. Bangil: Al-Izzah.
6.      Asy’syannawi, Fahmi. 2006. Fiqh Politik, Bandung: Pustaka Setia.
7.      Rahman, Zaini. 2016. Fiqh Nusantara dan Sistem Hukum Nasional. Yogjakarta: Pustaka Pelajar.
8.      Keterangan dalam Majlis ta’lim yang membahas mengenai Dalil dan Sumber Ilmu Fiqh oleh Dr. M. Noor Harissudin, M.Fil.I. pada tanggal 18 September 2016, Jember.
9.      Syarifuddin, Amir. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
10.  Zaini Rahman, Fiqh Nusantara dan Sistem Hukum Nasional, Pustaka Pelajar, Yogjakarta, 2016



       







[1] Riswanda Imawan, Membedah Politik Orde Baru, Pustaka Pelajar, Yogjakarta, 1998, hlm. 267 – 268.
[2] M. Syafii Masykur, Menajamkan Otak dengan Sholat, Citra Risalah, Yogyakarta, 212, hlm. 4.
[3] H. Yunahar Ilyas Dkk, Korupsi dalam perspektif Agama-Agama, KUTUB, Yogyakarta, 2014, hlm. 59.
[4] Ibid 17, hlm. 129.
[5] Ibid 17, hlm. 279.
[6] L. Amin Widodo, Fiqh Siyasah, Tiara Wacana, Yogjakarta, 1994,  hlm. 5
[7] Abdul Qadim Zallum, Pemikiran Politik Islam, Al-Izzah, Bangil,  2001, hlm 151
[8] Fahmi Asy’syannawi, Fiqh Politik, Bandung, Pustaka Setia, 2006, hlm 314-316
[9] Ibid.
[10] Zaini Rahman, Fiqh Nusantara dan Sistem Hukum Nasional, Pustaka Pelajar, Yogjakarta, 2016, hlm. 17
[11] Al-Anbiya’ (21) : 107.
[12] Zaini Rahman, Fiqh Nusantara dan Sistem Hukum Nasional, Pustaka Pelajar, Yogjakarta, 2016, hlm. 20.
[13] Keterangan dalam Majlis ta’lim yang membahas mengenai Dalil dan Sumber Ilmu Fiqh oleh Dr. M. Noor Harissudin, M.Fil.I. pada tanggal 18 September 2016, Jember.
[14] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Kencana, Jakarta, 2005, hlm. 368.
[15] Zaini Rahman, Fiqh Nusantara dan Sistem Hukum Nasional, Pustaka Pelajar, Yogjakarta, 2016, hlm. 125.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

makalah tarikh tasyri' (Fenomena Tasyri’ Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in)

Makalah Hukum Tata Usaha Negara

makalah bahasa arab