Makalah Hukum Tata Usaha Negara

OLEH:
MAULIDA MAULAYA HUBBAH

PRODI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS HUKUM ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER


KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr. wb.
Jika kita berbicara mengenai Negara Hukum, dipastikan segala hal yang berkaitan dengan peradilan included didalamnya. Begitupun dengan Peradilan Tata Usaha Negara, adanya tak lain dan tak bukan untuk mencapai keadilan. Al-adlu salah satu asmaul husna yang kian sungguh diperintahkan oleh Allah untuk ditegakkan, memang tak ada yang dapat mencapai sampai titik hakikat keadilan, namun manusia diwajibkan untuk terus berusaha mendapatinya.
Perintah dalam menegakkan keadilan meliputi berbagai aspek kehidupan, baik mulai dari persoalan pribadi, keadilan di dalam rumah tangga, kemasyarakatan sampai pada soal-soal kenegaraan. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaan Tata Usaha Negara juga perlu kita bahas. Alasan itulah kemudian penulis hendak membahas seulas mengenai Peradilan Tata Usaha Negara.
Kemudian kami sampaikan Terima kasih yang begitu sangat kepada Bapak Moh. Khoirul Hadi al-asy ari sebagai dosen pembimbing mata kuliah Hukum Tata Usaha Negara Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Jember yang telah membimbing dan mengajari penulis hingga saat ini.
Demikian pengantar yang dapat kami sampaikan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat, Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.
Wassalamu’alaikum wr.wb…....
                              17 - Februari - 2018

                        Penulis,





DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1. PENDAHULUAN
            1.1 Latar Belakang
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hukum Tata Usaha Negara
2.2 Tujuan Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara
2.3 Sejarah Peradilan Tata Usaha Negara
2.4 Muatan Perubahan dalam UU Nomor 5 Tahun 1986 Atas UU Nomor 9 Tahun 2004
2.5 Muatan Perubahan dalam UU Nomor 5 Tahun 1986 Atas UU
Nomor 9 Tahun 2004

2.6 Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara

BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Indonesia adalah salah satu negara yang menjunjung tinggi kedaulatan hukum, sehingga jelas Indonesia disebut sebagai negara hukum. Sebagai negara hukum, berarti di negara kita hukumlah yang mempunyai arti penting terutama dalam semua aspek kehidupan bermasyarakat. Segala penyelenggaraan yang dilaksanakan oleh negara dengan perantaraan pemerintahnya harus sesuai dan menurut kaidah-kaidah yang telah ditentukan terlebih dahulu oleh hukum.
Sebagai salah satu contoh secara materil, Peraturan perundang-undangan yang telah diadakan lebih dahulu merupakan batas kekuasaan penyelenggaraan negara. Undang Undang Dasar yang memuat norma-norma hukum dan peraturan-peraturan hukum harus ditaati dengan tidak memandang bulu, baik oleh masyarakat, pemerintah sendiri maupun badan-badan penyelenggaranya.
Berdasarkan hal tersebut, untuk “memayungi” segala perkara yang telibat di dalamnya, semisal permasalahan dengan Pejabat Pemerintahan tentang dikeluarkannya suatu kebijakan yang merugikan kepentingan individu/ pribadi, maka salah satu jalan untuk menyelesaikannya adalah dengan mengajukan gugatan melalui Peradilan Tata Usaha Negara. Seperti perbuatan pejabat negara terkait perizinan (vergunning), dispensasi, konsensi, dan pengurusan surat-surat dituangkan dalam putusan pejabat (beschikking).[1]
Hal ini telah diatur dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo Undang Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Hal ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan negara untuk memberikan pelayanan publik bagi semua kalangan, apalagi pengajuan gugat melalui Peradilan Tata Usaha Negara terbilang lebih murah dari pada menyelesaikan dalam peradilan umum, yakni dengan membayar panjar biaya gugatan. (Lawangpos// Dengan demikian, Peradilan Tata Usaha Negara itu diadakan dalam rangka memberikan perlindungan kepada rakyat pencari keadilan, yang merasa dirinya dirugikan akibat suatu keputusan tata usaha negara.
Kemudian seiring dengan terus berkembangnya zaman, Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang bermula termuat dalam UU Nomor 5 Tahun 1986 ini, perlu diadakannya revisi kembali. Dari berbagai aspek permasalah perihal UU Nomor 5 Tahun 1986 sampai pada Undang Undang Nomor 51 Tahun 2009, perlu kiranya kita pahami sehingga dapat membuka wawasan kita mengenai HTUN (Hukum Tata Usaha negara), baik menyangkut bagaimana sejarah adanya HTUN di Negara Indonesia, maupun muatan-muatan yang terkandung didalam perundang-undangan tersebut.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Hukum Tata Usaha Negara
Pengertian Hukum Tata usaha Negara bisa di artikan sebagai sebuah aturan atau hukum yang mengatur mengenai jalannya administrasi di suatu negara. Hukum tersebut mengatur adanya tata pelaksanaan pemerintah dalam suatu masa dalam menjalankan kewajibannya dan juga tugasnya. Hukum tata usaha negara itu sendiri menitik beratkan kepada hal-hal yang terkait dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh sebuah pemerintah. Untuk hukum tata usaha negara sendiri terkadang orang kebingungan untuk membedakannya dengan Hukum Tata Negara. Hukum tata negara sendiri lebih fokus kepada hal mengenai konstitusi atau hukum dasar yang di gunakan oleh suatu negara untuk mengatur suatu negara mengeluarkan kebijakan pemerintah[2].
Apa yang di maksud dengan keputusan Tata Usaha Negara  menurut Udang-Undang No 5 tahun 1986 terdapat dalam pasal 1 angka 3 yang menentukan bahwa keputusan Tata usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang di keluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Jika di urai, apa yang di maksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut, akan di temukan unsur-unsurnya sebagai berikut:
a.       Penetapan tersebut tertulis dan dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
b.      Berisi tindakan hukum Tata Usaha negara
c.       berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
d.      Bersifat konkret, individual atau fnal
e.       Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.[3]
Rumusan unsur atau elemen diatas sebenarnya dituliskan dengan muatan sama, hanya saja ada poin-poin tertentu yang dalam buku satu dijadikan satu poin misal, poin A dalam buku Siti Soetami dijadikan dua poin berbeda, sedangkan dalam buku Marbun poin itu digabungkan menjadi satu kesatuan.
Penjelasan pasal 1 angka 3 menyebutkan bahwa “istilah penetapan tertulis terutama menunjuk kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan yang di keluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara. Dengan adanya penjelasan pasal 1 angka 3 tersebut dapat di ketahui bahwa menurut pengertian undang-undang Negara yang tidak tertulis, kecuali Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). KTUN  itu memang di haruskan tertulis, namun yang di syaratkan tertulis bukanlah bentuk formalnya seperti surat keputusan pengangkatan dan sebagainya.
Sebab keputusan Tata Usaha Negara harus dengan bentuk tertulis. Karena untuk memudahkan bagi kebijakan. Dari penjelasan pasal 1 angka 3 juga dapat diketahui bahwa formal suatu penetapan tertulis tidak menjadi syarat mutlak agar suatu penetapan tertulis dapat disebut atau termasuk Keputusan Tata Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 3.
Oleh karena bentuk formal, tetapi pada “isi”[4] dari suatu penetapan tertulis yang di keluarkan oleh Badan atau pejabat Tata Usaha negara tidak menjadi syarat  mutlak agar penetapan tertulis  tersebut dapat disebut atau termasuk keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana yang di maksud dalam pasal 1 angka 3, maka penjelasan pasal 1 angka 3 menyebutkan lebih lanjut bahwa sebuah memo atau nota akan merupakan suatu keputusan badan atau Pejabat Tata Usaha Negara[5].
2.2. Tujuan Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara
Terjadinya peningkatan peranan pemerintah baik dalam makna kuantitatif maupun kualitatif merupakan konsekuensi eksistensi sebuah Negara Hukum berdasarkan teori Negara Hukum Modern. Manakala peranan yang berwujud keterlibatan aktif Pemerintah untuk mengimbangi dinamika perkembangan  masyarakat menjadi pilihan, maka sebenarnya ide-ide mengenai Pemerintah yang bersih, birokrasi yang efisien dan pemerintahan berlandaskan hukum merupakan faktor-faktor yang inheren dengan pilihan yang diambil.
Peradilan Tata Usaha Negara diciptakan untuk menyelesaikan sengketa antara Pemerintah dan warga negaranya, yakni sengketa yang timbul sebagai akibat dari adanya tindakan-tindakan Pemerintah yang dianggap melanggar hak-hak warga negaranya. Tujuan pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara adalah:
1.      Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak-hak individu.
2.      Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan kepada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut.[6]
Tujuan tersebut di atas, kemudian ditampung dalam Penjelasan Umum Angka ke-1 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Peradilan Tata Usaha Negara tersebut diharapkan mampu nenegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum, sehingga dapat memberikan pengayoman kepada masyarakat, khususnya dalam hubungan antara badan atau pejabat tata usaha negara dengan masyarakat.
Adapun putusan-putusan yang dapat diambil oleh suatu badan peradilan tata usaha negara dapat berupa:
a.       Pembatalan suatu keputusan dari seorang pejabat tata usaha negara yang melanggar salah satu keriterium tersebut di atas.
b.      Koreksi terhadap suatu  keputusan dari seseorang pejabat tata usaha negara yang keliru.
c.       Membetulkan interpresi yang keliru.
d.      Memberi pentah pembayaran atau penagihan kepada seseorang pejabat atau suatu instansi tata usaha negara.
e.       Memerintahkan suatu tindakan disiplin kepada seorang pejabat atau suatu istansi administrasi negara terhadap sesorang pegawai negeri yang melakukan pelanggaran disiplin.
f.       Penetapan suatu validitas (berlaku tidaknya) dari suatu dokument yang dibuat/diterbitkan oleh suatu instansi tata usaha negara.
g.      Membetulkan suatu prosedur atau metode pelaksanaan suatu undang-undang yang melanggar salah satu kriteria tersebut diatas.[7]
Jelaslah, bahwa Peradilan Hukum Tata Usaha Negara merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang diberi tugas untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa dalam bidang tata usaha negara, kecuali sengketa tata usaha di lingkungan militer atau angkatan senjata, dan dalam soal-soal ini yang menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1953 dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1958 diperiksa, diputus dan diselesaikan oleh peradilan militer, sedangkan tata usaha negara lainnya yang menurut undang-undang ini tidak menjadi wewenang Perdilan Tata Usaha Negara, diselesaikan oleh peradilan umum. Dengan demikian, Peradilan Tata Usaha Negara itu diadakan dalam rangka memberikan perlindungan kepada rakyat pencari keadilan, yang merasa dirinya dirugikan akibat suatu keputusan tata usaha negara.
2.3.  Sejarah Peradilan Tata Usaha Negara
Mengenai eksistensi lembaga peradilan tata usaha negara, mau tidak mau kita harus melihat ke negara Perancis, suatu negara yang memuat fakta sejarahnya merupakan pelopor kelahiran lembaga sejenis ini untuk pertama kali. Peranan negara ini terasa sampai sekarang. Antara lain negara ini berperan sebagai pemuka dalam. "association internationale of supreme administrative jurrisditions". Sejarah kelahiran lembaga peradilan administrasi di Pranscis ini dimulai sekitar tahun 1790, dengan undang-undang tanggal 16 dan 24 agustus 1790, yang memberi fungsi kepada conseil d'etat untuk bertindak sebagai lembaga pengawasan (judiciil controle) terhadap administrasi/ pemerintah dan lembaga peradilan untuk dilepaskan wewenangnya untuk memeriksa dan mengadili sengketa administrasi, dan saat itulah dapat dikatakan sebagai awal mulanya penafsiran dari prinsip yang mengakibatkan lahirnya sistem prancis tentang kontrol administrasi yang dilakukan suatu peradilan administrasi yang bebas dan terpisah.
Pada mulanya pula lembaga conseil d'etat merupakan satu-satunya lembaga peradilan administrasi dalam arti umum untuk seluruh Prancis, yang berarti bahwasannya semua sengketa administratif diadili oleh conseild'etat kecuali sengketa-sengketa secara tegas diserahkan penyelesaiannya kepada badan-badan peradilan administrasi khusus lainnya. Akibatnya, beban lembaga conseil d'etat tiap hari kian banyak, sehingga pada tahun 1953 saja jumlah Perkara yang diajukan kepada lembaga ini mencapai 26.000 perkara, yang mengakibatkan hal-hal tersebut justru sangat merugikan kepada semua pihak, sehingga perlu jalan keluar untuk mengatasinya. Sebagai jalan keluarnya pada tahun 1953 dibentuklah apa yang kita kenal sekarang sebagai "tribunal administratif", yang kedudukan di daerah tersebut dan merupakan lembaga peradilan administrasi dalam tingkat pertama.
Selanjutnya mengenai peradilan tata usaha negara di indonesia awal mulanya dan merupakan tonggak sejarah berdirinya peradilan tata usaha negara yakni dengan adanya undang-undang nomor 5 tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara. Kemudian dilakukannya perubahan dengan adanya undang-undang nomor 9 tahun 2004 tentang perubahan atas undang-undang nomor 5 tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara. [8] Selanjutnya dilakukan Perubahan lagi dengan adanya undang-undang nomor 51 tahun 2009 tentang perubahan kedua atas undang-undang  Nomor 5 tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara.
Mengenai konsep rancangan undang-undang hukum acara peradilan tata usaha negara sebenarnya sudah lama dibicarakan bahkan pada tahun 1948 susah dibicarakan tentang konsep rancangan hukum acara ini. Pada waktu itu. "rencana undang-undang  ini disusun oleh prof. Dr, Eirjono projodikoro, SH., kira-kira pada tahun 1948 atas perintah menteri kehakiman Drs. Susanto tirtoprodjo, SH di Yogyakarta sebelum ada penyerahan kedaulatan oleh Belanda pada penghabisan tahun 1949.
Pernah juga disusun rancangan undang-undang tentang peradilan tata usaha negara yang dirumuskan dan dimatangkan oleh lembaga pembinaan hukum nasional/ LPHN (sekarang badan pembinaan hukum nasional/ BHPN) pada tanggal 10 januari 1966, dan dipublikasikan dalam penerbitan 1 LPHN 1967. Tetapi rancangan undang-undang tersebut belum sempat dimajukan oleh pemerintah kepada DPR GR, pleh DPR pernah diusahakan sebagai unsul inisiatif oleh DPR GR tahun 1967. Terapi rancanga iti gagal tidak dapat menyelesaikan.
Ditempat yang sama pernah juga dilaksanakan simposium dimana dalam simposium tersebut membahas konsep naskah rancangan undang-undang tentang peradilan tata usaha negara juga pernah dibahas dalam simposium tentang peradilan tata usaha negara yang diselenggarakan oleh badan pembinaan hukum nasional di jakarta tanggal 5-7 februari 1976.
Keinginan untuk segera membentuk perdilan tata usaha negara ini dipertegas lagi dalam pidato kenegaraan presiden rebuplik indonesia, soeharto, dihadapan sidang pleno DPR pada tanggal 16 agustus 1978 yang isinya tentang mekanisme untuk meratakan keadilan, yaitu:
1.      Penyelesaian perkara seadil-adilnya dan secepat-cepatnya
2.      Bantuan hukum untuk mereka yang kurang mampu
3.      Segera akan dibentuknya peradilan tata usaha negara[9]
Lebih lanjut presiden republik indonesia (Bapak Soeharto) mengirim surat kepada pemimpin dewan perwakilan rakyat republik indonesia di Jakarta dengan nomor: R.07/ PU / V / 1982, tanggal 13 mei 1982 perihal rancangan undang-undang tentang peradilan dalam lingkungan peradilan tata usaha negara. Dimana isi surat tersebut pada pokoknya  “untuk mohon dibicarakan dalam sidang dewan perwakilan rakyat guna mendapatkan persetujuan pada sidang 1981-1982. Selanjutnya untuk keperluan pembicaraan dalam persidangan mengenai rancangan undang-undang tersebut, kami persilahkan saudara menghubungi saudara menteri kehakiman” dan dalam surat tersebut tembusanya disampaikan kepada wakil presiden, ketua mahkamah agung dan menteri kehakiman13. Selanjutnya pada tahun 1986 pemerintah mengajukan rancangan undang-undang tersebut kepada DPR dan pada waktu itu DPR menyetujui.
Pada tanggal 29 Desember 1986 disahkan undang-undang nomor 5 tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara lembaran negara republik indonesia tahun 1986 nomor 7 dan di undangkan di Jakarta pada tanggal 29 desember 1986 oleh menteri sekretaris negara republik indonesia (Sudharmono SH).
Dengan disahkanya undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara, maka ada angin segar tentang pembekuan peradilan tata usaha negara di Indonesia waktu itu. Sejak mulai efektif diopersikan undang-undang tersebut pada tanggal 14 januari 1991 berdasarkan peraturan pemerintah No. 7 Tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara, yang sebelumnya ditandai dengan diresmikan tiga pengdilan tinngi tata usaha negra (PTTUN) dijakarta, medan, dan ujung pandang. Serta lima pengadilan tata usaha negara (PTUN) di jakrta, medan, palembang, surabaya, dan ujung pandang maka sejak itu terbentuklah pengadilan tata usaha negra di indonesia.
Kemudia seiring dengan perkembangan dan kebutuhan maka semakin banyak pula dibentuk pengadilan dikota-kota lainya (Seperti di pengadilan tata usaha negara (PTUN) di seluruh ibu kota provinsi sebagai pengadilan tingkat pertama, dan juga banyak pula dibentuk pengadilan tinggi tta usaha). Sedangkan mengenai susunan pengadilan tata usaha negara terdiri atas pimpinan, hakim anggota, panitera, dan sekretaris. Pimpinan pengadilan terdiri atas seorang ketua dan seorang wakil ketua. Sedangkan hakim anggota pada pengadilan tinngi tata usaha negara adalah hakim tinngi.[10]
UU No 5 Tahun 1986 perlu diganti :
Peradilan Tata Usaha Negara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yakni, Undang-Undang No 5 Tahun 1986 Tentang PTUN, selanjutnya mengalami perubahan pertama dirubah dengan Undang-Undang No 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Hal itu dilakukan untuk memenuhi syarat untuk menjadikan lembaga PTUN yang professional guna menjalankan fungsinya melalui kontrol yudisialnya. Dalam praktek kemudian ternyata Undang-Undang No 5 tahun 1986 tersebut, ternyata masih banyak kekurangan. Kekurangan tersebut antara lain sering tidak dipatuhi putusan PTUN oleh pejabat. Hal itu disebabkan tidak adanya lembaga eksekutor dan juga tidak ada sanksi hukumnya serta dukungan yang menyebabkan inkonsistensi sistem PTUN dengan sistem peradilan lainnya, terutama dengan peradilan umum karena terbentur dengan asas dat de rechter niet op de stoel van het bestuur mag gaan zitten (hakim tidak boleh duduk di kursi pemerintah atau mencampuri urusan pemerintah) dan asas rechtmatigheid van bestuur yakni atasan tidak berhak membuat keputusan yang menjadi kewenangan bawahannya atau asas kebebasan Pejabat tak bisa dirampas. [11]
Untuk mengatasi kekuarangan-kekurangan yang ada di UU No 5tahun 1986 tersebut, pemerintah bersama-sama dengan lembaga legislatif berinisiatif melakukan perubahan beberapa substansi undang-undang tersebut. Adanya perubahan pertama UU No 9 Tahun 2004 diharapkan dapat memperkuat eksistensi PTUN. Kenyataaan yang terjadi walaupun sudah dilakukan perubahan terhadap UU No 5 tahun 1986, dengan hadirnya UU No 9 Tahun 2004 ternyata masih saja memunculkan pesimisme dan apatisme publik karena tidak mengatur secara rinci tahapan upaya eksekusi secara paksa yang bisa dilakukan atas keputusan PTUN serta tidak adanya kejelasan prosedur dalam UU No 9 Tahun 2004 Pasal 116 ayat (4) yakni jika pejabat tidak bersedia melaksanakan putusan maka dapat dikenakan sanksi upaya paksa membayar sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif. lemah dari prinsip-prinsip hukum administrasi negara. Untuk itu pemerintah dan pihak lembaga legislatif mengeluarkan perubahan kedua dari UU No 5 tahun 1986 yakni dengan perubahan kedua lewat UU No 51 tahun 2009.[12]
Makna Perubahan Undang-Undang TUN Maksud perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 antara lain sebagai berikut:
1. Hal yang utama yakni dari segi penguatan pengawasan hakim, baik pengawasan internal oleh   Mahkamah Agung maupun pengawasan eksternal atas perilaku hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial, serta pembentukan Majelis Kehormatan Hakim.
2. Berikut menyangkut persyaratan pengangkatan hakim, baik hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara maupun hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yakni antara lain proses seleksi hakim yang transparan, akuntabel, dan partisipatif serta harus melalui proses yang ketat.
3. Adanya pengadilan khusus dan hakim ad hoc.
4. Persyaratan mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim.
5. Adanya usaha peningkatan kesejahteraan hakim.
6. Transparansi dan akuntabilitas putusan.
7. Waktu pemberian salinan putusan;
8. Kejelasan biaya perkara dan pengelolaan serta pertanggungjawabannya.
9. Prosedur bantuan hukum
Berdasarkan poin-poin tersebut, dapat dikatakan bahwa perubahan ini pada dasarnya untuk mewujudkan penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa. Selain itu makna perubahan ini tidak lain melakukan penataan sistem peradilan (peradilan satu atap), terlebih pengadilan tata usaha negara yang secara konstitusional di bawah Mahkamah Agung yang mempunyai kewenangan dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara tata usaha negara tingkat terakhir.[13]
            Indonesia sebagai negara hukum dan memiliki peradilan administrasi untuk mendukung terwujudnya cita-cita rechtstaats. UU No 5 Tahun 1986 menjadi dasar awal munculnya peradilan administrasi di Indonesia yang dikenal dengan UU Peradilan Tata Usaha Negara. UU ini sudah disempurnakan dua kali yakni dengan UU No 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009. Terkait dengan pelaksanaan putusan peradilan administrasi dalam UU PTUN telah diubah juga selama tiga kali, pengaturannya sendiri diatur dalam Pasal 116.[14]
2.4.  Muatan Perubahan dalam UU Nomor 5 Tahun 1986 Atas UU Nomor 9 Tahun 2004
Dalam penyesuaiannya, UU Nomer 5 Tahun 1986, terdapat beberapa perubahan dengan UU N OMOR 9 Tahun 2004 dengan perincian sebagai berikut:
  • Perubahan pada pasal 2, pasal 4, pasal 6, pasal 7, pasal 12 – 22, pasal 26, pasal 28- 38, pasal 42, pasal 44 – 46, pasal 53, pasal 116.
  • penambahan pasal 9A sampai dengan pasal 39E, pasal 143A.
  • Penghapusan pasal 118
  • penggantian pada penjelasan Umum yang menyebut “Pemerintah” menjadi “Ketua Mahkama Agung”.
Sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari UU Nomor 5 Tahun 1986 telah mengeluarkan:
  1. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya pada Peradilan Tata Usaha Negara.
  2. Keputusan Mentri Keungan RI Nomor 1129/KKM.01/1001 tentang Tata Cara Pembayaran Ganti Rugi Pelaksanaan Peradilan Tata Usaha Negara.
Atas dasar ketentuan yang terdapat dalam pasal 32 ayat 4 UU Nomor 14 Tahun 1985, MA telah mengeluarkan beberapa petunjuk, salah satunya “Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan beberapa ketentuan dalam UU Nomor 5 Tahun 1986 tentan HTUN.”[15]
Salah satu aspek terpenting dalam revisi Undang-Undang tersebut ialah dalam muatan Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut telah membawa perubahan penting terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sehingga membawa konsekuensi perlunya pembentukan atau perubahan seluruh  perundang-undangan di bidang kekuasaan kehakiman, termaksud perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 1986. Pembentukan atau perubahan  perundang-undangan tersebut dilakukan dalam usaha memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Pembentukan peraturan perundang-undangan di bidang kekuasaan kehakiman yang telah dilakukan adalah dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999. Sehubungan dengan hal tersebut telah diubah pula Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu undang-undang yang mengatur lingkungan peradilan yang berada di  bawah Mahkamah Agung perlu pula dilakukan perubahan. Perubahan atas Undang-Undang  Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara telah meletakkan dasar kebijakan  bahwa segala urusan mengenai peradilan umum, baik menyangkut teknis yudisial maupun non yudisial yaitu urusan organisasi, administrasi, dan finansial di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Kebijakan tersebut bersumber dari kebijakan yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana dikehendaki oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perubahan penting lainnya atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara antara lain sebagai berikut :
  1. Ketentuan syarat menjadi hakim dalam pengadilan di lingkungan peradilan Tata Usaha  Negara.
  2. Batasan umur pengangkatan seorang hakim dan pemberhentian hakim.
  3. Peraturan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim.
  4. Pengaturan tentang pengawasan terhadap hakim.
  5. Penghapusan ketentuan hukum acara yang mengatur masuknya pihak ketiga dalam suatu perkara sengketa.
  6. Pemberian sanksi terhadap pejabat karena tidak dilaksanakannya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Perubahan secara umum atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada dasarnya untuk menyesuaikan terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang  Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
2.5.    Muatan Perubahan dalam UU Nomor 9 Tahun 2004 Atas UU Nomor 51 Tahun 2009
Penyempurnaan atas pengaturan UU Nomor 5 Tahun 1986 terus dilakukan, UU Nomor 51 Tahun 2009 merupakan kali kedua revisi atas undang-undang tersebut, sehingga pelaksanaan putusan dapat berjalan efektif.
Menitik beratkan pada kekuasaan kehakiman, UUD 45 telah mengatur secara jelas bahwasannya kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
            Landasan diatas menjadikan perlu ditinjaunya kembali segala UU yang berkenaan langsung dengan kekuasaan kehakiman, sehingga berdasarkan perihal tersebut perlu adanya perubahan mengenai segala perundang-undangan kekuasaan kehakiman. Tujuannya tak lain untuk menguatkan menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 merupakan salah satu undang-undang yang mengatur lingkungan peradilan yang berada di  bawah Mahkamah Agung. Perubahan kedua yag dilakukan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara ini, meletakkan dasar kebijakan bahwa segala urusan mengenai Peradilan Tata Usaha Negara, baik menyangkut teknis yudisial maupun non yudisial yaitu urusan organisasi, administrasi, dan finansial di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Perubahan lain yang cukup penting atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara antara lain sebagai berikut:
  1. penguatan pengawasan hakim, baik pengawasan internal oleh Mahkamah Agung maupun pengawasan eksternal atas perilaku hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta  perilaku hakim.
  2. Memperketat persyaratan pengangkatan hakim, baik hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara maupun hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara antara lain melalui proses seleksi hakim yang dilakukan secara transparan, akuntabel, dan  partisipatif serta harus melalui proses atau lulus pendidikan hakim.
  3.  pengaturan mengenai pengadilan khusus dan hakim ad hoc.
  4.  pengaturan mekanisme dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim.
  5. kesejahteraan hakim.
  6. transparansi putusan dan limitasi pemberian salinan putusan.
  7. transparansi biaya perkara serta pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban  biaya perkara.
  8. bantuan hukum.
  9. Majelis Kehormatan Hakim dan kewajiban hakim untuk menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Perubahan secara umum atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah upaya untuk mewujudkan penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa, dengan melalui penataan sistem  peradilan berdasarkan peraturan yang signifikan. terlebih pengadilan tata usaha negara secara konstitusional merupakan salah satu badan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang mempunyai kewenangan dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara tata usaha negara
Kemudian dalam keberlangsungannya, Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 dilakukan uji materi oleh MK atas permohonan Iwan Kurniawan, S.H. sehingga MK memberikan putusan melakukan Pencabutan terhadap UU No. 51 Tahun 2009 yang dilakukan oleh Mahkama Konstitusi karna adanya  permohonan Pengujian Pasal 1 butir 3, Pasal 77 ayat (1), dan Pasal 109 ayat (3) Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan diubah kembali dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, serta Pasal 226 ayat (1) Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang  Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa NOP  a quo telah merugikan hak konstitusional Pemohon, yaitu:
1.      Hak atas perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana  yang dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
2.      Hak mendapat kemudahan untuk memperoleh keadilan sebagaimana dimaksud Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.
Sebab, Pasal 1 butir 3 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan diubah kembali dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) (Lembaran Negara Tahun 1986 Nomor 77 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3344) bersifat meluas dan multi tafsir, sehingga mencakup atau memasukkan Sertipikat Hak (Milik) atas tanah sebagai obyek pemeriksaan pengadilan tata usaha negara (PTUN). Padahal, sengketa pembatalan Sertipikat Hak (Milik) atas tanah tidak pernah berdiri sendiri sebagai sengketa yang hanya menyangkut kewenangan dan prosedur penerbitannya an sich, tapi pasti memiliki substansi sebagai sengketa hak atas tanah yang menurut sistem peradilan masuk kewenangan absolut peradilan umum (Pengadilan Negeri). Karenanya, sengketa hak atas tanah dapat diadili oleh dua pengadilan yang  berbeda baik secara paralel maupun secara berlanjut (voorgezette),  yaitu PTUN dan Pengadilan Negeri. Akibatnya, terbuka peluang munculnya dua putusan pengadilan yang  saling bertentangan antara putusan PTUN dan putusan Pengadilan Negeri yang secara niscaya memunculkan ketidak pastian hukum.[16]
2.6. Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara
Untuk lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara sebagai sub sistem dari sistem peradilan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang RI Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang RI Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU Peratun) dalam Pasal 47 mengatur tentang kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam sistem peradilan di Indonesia yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara. Kewenangan Pengadilan untuk menerima, memeriksa, memutus menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya yang dikenal dengan kompetensi atau kewenangan mengadili.[17]
Menurut Sjachran Basah, istilah kompetensi berasal dari bahasa Latin “competentia” yang berarti “hetgeen aan lemand toekomt” yang artinya apa yang menjadi wewenang seseorang. Dalam bahasa Indonesia sering istilah kompetensi diterjemhkan sebagai kewenangan, kekuasaan atau hak, yang dikatkan dengan badan yang menjalankan keuasaan di bidang kehakiman, sehingga kekuasaan itu menjadi competere.
Kompetensi dalam KBBI adalah kewenangan (keuasaan) untuk menentukan (memutuskan sesuatu). Kompetensi dari suatu pengadilan untuk memeriksa, mengadili dan mumutus suatu perkara berkaitan dengan jenis tingkatan pengadilan yang ada berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sjachran Basah menyatakan bahwa kompetensi merupakan pemberian kekuasaan, kewenangan atau hak kepada badan dan atau pengadilan yang melakukan tugas atau fungsi di bidang peradilan.
Pentingnya kompetensi dalam hubungannya dengan kekuasaan atau kewenangan suatu badan pengadilan, adalah untuk mengetahui berwenang atau tidak suatu badab pengadilan mengadili dan memutus suatu perkara atau sengketa yag diajukan kepadanya.
Kekuasaan dan atau kewenangan mengadili suatu badan peradilan atau pengadilan dilihat dari segi jenis operkara danatau obyek sengketa serta yuridiksi atau wilayah hukum suatu pengadilan, dapat dibedakan kedalam dua bagian, yaitu kekuasaan atau kewenangan absolut dan kewenangan relatif. [18] Menurut Sjachran Basa, kompetensi pengadilan ada dua macam sebagai berikut :
a. Absolut
Berkaitan dengan pemberian wewenang yang bersifat bulat (absolut) mengenai materinya atau pokok sengketa, yang dapat dibedakan secara horizontal dan vertikal sebagai berikut :
(a) Secara horizontal, merupakan wewenang yang bersifat bulat yang melekat dari suatu jenis pengadilan terhadap jenis pengadilan lainnya, yang mempunyai kedudukan yang sederajat, misalnya antara pengadilan Tata Usaha Negara dengan Pengadilan Negeri.
(b) Secara vertikal, merupakan wewenang yang bersifat bulat yang melekat dari suatu jenis pengadilan yang secara berjenjang atau hirarki mempunyai kedudukan lebih tinggi, misalnya Pengadilan Tata Usaha Negara dengan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan Mahkamah Agung.


b. Relatif
Berkaitan dengan pembagian wewengan, yang bersifat terperinci (relatif) diantara badan-badan yang sejenis mengenai wilayah hukum, misalnya Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar dengan Pengadilan Tata Usaha Negara Medan atau Jakarta.
Umumnya telah disepakati bahwa menganai kompetensi atau wewenang suatu badan peradilan untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara dibedakan atas kompetensi absulut dan kompetensi relatif, maka demikan pula halnya dengan Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai salah satu badan peradilan yang menjalankan fungsi di bidang kekuasaan kehakiman di Indonesia. [19] Berdasarkan penjelasan UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 5 Tahun 1986 bahwa pengadilan tata usaha negara secara konstitusional merupakan salah satu badan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang mempunyai kewenangan dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara atau sengketa tata usaha negara.[20]
            Dalam kompetensi relatif Pengadilan Tata Usaha Negara diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 1986 Pada Pasal 6 ayat (1) dinyatakan kedudukan Pengadilan Tata Usaha Negara berada di Ibukota Kabupaten/Kota, dan daerah hukumya meliputi wilayah Kapubaten/Kota.[21] Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan Pengadilan tingkat pertama (pasal 8 UU no 5 tahun 1986 angka a) dan dibentuk dengan keputusan presiden (pasal 9).
            Pasal 1 angka 10 UU Nomor 51 Tahun 2009 menjelaskan tentang pengertian sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputisan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undannngan.
            Adapun obyek sengketa tersebut adalah keputusan tata usaha negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usah negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.[22]
Isi Pasal-Pasal dalam UU Nomor 51 Tahun 2009 berkaitan dengan pengadilan
·         Subyek sengketa yaitu penggugat dan tergugat.
Pada Pasal 144C
(1) setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum
(2) negara menanggung biaya pekara bagi pencari keadilan yang tidak mampu
(3) pihak yang tidak mampu sebagaimana pada ayat (2) harus melampirkan surat keterangan tidak mampu dari kelurahan tempat domisili  yang bersangkutan
Pasal 144D
(1) Pada setiap pengadilan tata usaha negara dibentuk pos bantuan hukum untuk pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum.
(2) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan secara cuma-cuma  kepada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap.
Penjelasan pada ayat (2) terkait “Bantuan hukum secara cuma-cuma” adalah bantuan hukum yang diberikan sampai pada eksekusi putusan
Pasal 51 A
(1) Pengadilan wajib memberikan akses kepada masyarakat untuk memperolerh informasi yang berkaitan dengan putusan dan biaya perkara dalam proses persidangan.
(2) Pengadilan wajib menyampaikan salinan putisan kepada para pihak dalam jangka waktu paling lambat 14 hari kerja sejak putusan diucapkan.
(3) Apabila pengadilan tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) dan (2), ketua pengadilan dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan-undangan.

BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
1.      Pengertian Hukum Tata usaha Negara bisa di artikan sebagai sebuah aturan atau hukum yang mengatur mengenai jalannya administrasi di suatu negara. Hukum tersebut mengatur adanya tata pelaksanaan pemerintah dalam suatu masa dalam menjalankan kewajibannya dan juga tugasnya. Hukum tata usaha negara itu sendiri menitik beratkan kepada hal-hal yang terkait dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh sebuah pemerintah.
2.      Tujuan peradilan Tata Usaha Negara adalah memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak-hak individu, serta memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan kepada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut.
3.      Sejarah mengenai adanya HTUN di Indonesia berkiblat pada Prancis, yang kemudisn diatur oleh UU Nomor 5 Tahun 1986 dan direvisi sebanyak dua kali.

4.      Dalam penyesuaiannya, UU Nomer 5 Tahun 1986, terdapat beberapa perubahan dengan UU N OMOR 9 Tahun 2004 dengan perincian sebagai berikut:
a.       Perubahan pada pasal 2, pasal 4, pasal 6, pasal 7, pasal 12 – 22, pasal 26, pasal 28- 38, pasal 42, pasal 44 – 46, pasal 53, pasal 116.
b.      penambahan pasal 9A sampai dengan pasal 39E, pasal 143A.
c.       Penghapusan pasal 118
d.      penggantian pada penjelasan Umum yang menyebut “Pemerintah” menjadi “Ketua Mahkama Agung”
5.      muatan perubahan kedua atas UU Nomor 5 Tahun 1986 ini, penulis Menitik beratkan pada kekuasaan kehakiman, UUD 45 telah mengatur secara jelas bahwasannya kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
6.       Kopetensi Peradilan disebut dalam dua pembagian oleh pakar humum yaitu relatif dan absolut.

DAFTAR PUSTAKA
Franciska Romana H. & Sunarya R. Jurnal, Mimbar Hukum Vol. 26, Nomor 2, Juni 2014.
Soetami, Siti. 2001. Hukum Peradilan Tata Usaha Negara. Bandung: Refika Aditma.
SF Mrbun. 2003. Peradilan Tata Usaha Negara. Yogyakarta: LIBERTY.
R. Wiyono. 2008. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Sinar Grafika.
Tjandra, W. Riawan. 1999. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Situmorang, Victor. 1992. Pokok-Pokok Peradilan Tata Usaha  Negara. Jakarta: Rineka Cipta.
Yanto, Nur. 2015. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Mitra Wacana.
Wantu, Force M. 2014. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Gorontalo: UNG Press.
Wijaya, Adhy. sAnalisis Perbandingan Perubahan Antara UU No. 5 Tahun 1986, UU No. 9 Tahun 2009, dan UU No. 51 Tahun 2009.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 17/PUU-IX/2011
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 136 – 137
Qamar, Nurul. 2011. Karakteristik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Makassar: Pustaka Refleksi.
Tim Permata Press, Undang-Undang Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Bernat Panjaitan, Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara (TUN) Pada Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Jurnal Ilmiah “Advokasi”. Vol.03.No.02, September 2015.



[1] Franciska Romana H. & Sunarya R. Jurnal, Mimbar Hukum Vol. 26, Nomor 2, Juni 2014, halaman 260 - 274
[2] Siti soetami. Hukum Peradilan Tata Usaha Negara.bandung, 2001, hal 1-4

[3] SF Mrbun, Peradilan Tata Usaha Negara, Yogyakarta, 2003, cet. 2, hlm 48
[4] Ibid, hlm 49
[5] Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, jakarta, 2008, cet.2 hal 17-20
[6] W. Riawan Tjandra, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 1999, hal. 1.
[7] Victor Situmorang, Pokok-Pokok Peradilan Tata Usaha  Negara, PT. Rineka Cipta, jakarta, 1992, hal. 18.
[8] Nur Yanto, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Jakarta: Mitra Wacana, 2015), hlm 9-10
[9] Ibid, hlm. 11
[10] Ibid., hlm 12.
[11] Force M. Wantu, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Gorontalo: UNG Press, 2014), hlm. 8
[12] Ibid, hlm. 9
[13] Force M. Wantu, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Gorontalo: UNG Press, 2014), hlm. 9-10
[14] Adhy Wijaya, Analisis Perbandingan Perubahan Antara UU No. 5 Tahun 1986, UU No. 9 Tahun 2009, dan UU No. 51 Tahun 2009. Hlm., 4
[15] Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, jakarta, 2008, cet.2 hal 4
[16] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 17/PUU-IX/2011
[17] Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 136 - 137
[18] Nurul Qamar, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. (Makassar: Pustaka Refleksi, 2011) hlm, 22-23
[19] Ibid., hlm. 23-24
[20] Tim Permata Press, Undang-Undang Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara. Hlm., 125
[21] Bernat Panjaitan, Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara (TUN) Pada Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Jurnal Ilmiah “Advokasi”. Vol.03.No.02, September 2015. Hlm, 11.
[22] Tim Permata Press, Undang-Undang Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara. Hlm., 100.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

makalah tarikh tasyri' (Fenomena Tasyri’ Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in)

makalah bahasa arab