Interpretasi Kajian Jarimah Qishash dan Jarimah Hudud serta Aplikasinya
OLEH:
MAULIDA MAULAYA HUBBAH
PRODI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS HUKUM ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr. wb.
Jika kita berbicara mengenai Fiqh Jinayah maka
akan ditemui rangkaian hukum yang memabahas mengenai Jinayah yang lumrah kita
sebut sebagai hukum pidana Islam. Secara terperinci, aktual, dan akomodatif
fiqh jinayah dibahas dalam kitab-kitab karangan para ahli fiqh atau fuqoha.
Adapun pembahasannya melingkupi beberapa hal yang cukup luas, pasalnya fiqh
jinayah merupakan cabang ilmu fiqh yang runtutannya berada dalam posis teratas
menurut hirarkinya.
Hal yang demikian, perlu kita telaah lebih mendalam, dikupas secara satu persatu sehingga dapat
tercover segala pembahasan mengenai Fiqh Jinayah salah satunya mengenai Jarimah
Qishash dan Jarimah Hudud. Oleh karena itulah kemudian, penulis berinisiatif
untuk mengkaji secara perspektif Fiqh Jinayah” yang dimuat dalam tema “Interpretasi
Kajian Jarimah Qishash dan Jarimah Hudud serta Aplikasinya”
Kemudian kami
sampaikan Terima kasih yang begitu sangat kepada Bapak M Iqrom, M.SI. sebagai dosen
pembimbing mata kuliah Fiqh Jinayah
Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Jember yang telah membimbing dan
mengajari penulis hingga saat ini.
Demikian pengantar yang dapat kami sampaikan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat, Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua
pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai
akhir.
Wassalamu’alaikum wr.wb…....
21
- September - 2018
Penulis,
DAFTAR
ISI
HALAMAN
JUDUL
KATA
PENGANTAR
DAFTAR
ISI
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Historis Qhisash dan Hudud dalam Perspektif
Hukum Islam
2.2 Pengertian, Macam dan Aplikasi Jarimah Qhisash dan Hudud
2.3 Jarimah Qishash dan Jarimah Hudud di Indonesia
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Berdasarkan fakta empiris, banyak sekali kalangan
baik golongan muda ataupun golongan tua yang kurang memahami kaidah dan
hukum-hukum dari usul fiqh, khususnya pembahasan mengenai fiqh jinayah. sehingga
perlu kiranya kami untuk memperbanyak khazanah keilmuan dalam bidang tersebut.
Berbicara mengenai fiqh, maka kita akan menemukan banyak sekali
perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan ulama dalam mengungkapkan hasil
penelitiannya yang secara fundamental dapat mengubah cara pandang kita terhadap
islam. Sehingga sangat penting bagi kita untuk menambah wawasan pengetahuan
dalam hal, oleh karenanya akan kami bahas beberapa yang terkait selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 Historis Qhisash dan Hudud
dalam Perspektif Hukum Islam
Dalam lingkup kajian pembahasan
kedua, hal yang perlu dipahami pertama bahwa salah satu sumber hukum Islam
adalah Al-Qur’an, untuk memahaminya maka dilakukan penafsiran dengan meninjau
segi dilalah-nya. Pertama, nash yang qoth’i dilalah yaitu nash
yang tegas dan jelas maknanya, tidak dapat ditawil atau bahkan sampai
diperdebatkan, sebab nash ini tidak memiliki makna lain selain yang telah
dijelaskan tanpa kegamblangan. Kedua, yaitu nash zhanni dilalah
dimana tidak disebutkan secara eksplisit hanya saja memunculkan illat-nya
sehingga menjadi beberapa penafsiran dalam kalangan fuqora.[1]
Kemudisn menelaah secara
terminologi dijelaskan bahwa hukum islam sebagsi berikut:
حُكمٌ هُوَ حِطَابُ اللهِ المُتَعَلِقِ بِا اَفعَلِ المُكَلِّفِينَ
طَلِبًا اَو تَخِيرً اَو وَضَعَان
Artinya: “hukum adalah
seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah tentang tingkah laku manusia
mukallaf baik secara tuntutan atau
pilihan atau terperinci”[2]
Maka dari keterangan diatas
dapat kita lihat, adapun jarimah qishash dan jarimah hudud, adalah perihal yang
diatur dalam Al-Qur’an yang mana dijelaskan secara terperinci yang telah
ditentukan macam dan jumlahnya dan menjadi hak tuhan.
Qishash jarimah ini ialah
perbuatan-perbuastan yang diancam hukuman qishash, hal ini telah
ditentukan batasannya dan tidak mempunyai batas terendah atau batas tertinggi,
tapi menjadi hak perseorangan dengan pengertian bahwa si korban bisa memafkan
si pembuat, dan apabila dimaafkan maka hukuman tersebut bisa dihapuskan.[3]
Adapun keterangannya secara
eksplisit dijelaskan Allah dalam surat Al-Maidah ayat 45:
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ
بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ
بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ ۚ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ
فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ ۚ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya:
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya
(At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung
dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun)
ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya,
maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang zalim.” (5:45)[4]
Asbabun nuzul Ayat ini, ialah termasuk
cemoohan yang ditujukan kepada orang-orang Yahudi dan kecaman yang keras
terhadap mereka, karena sesungguhnya di dalam nas kitab Taurat yang ada pada
mereka disebutkan bahwa jiwa dibalas dengan jiwa, tetapi mereka mengingkari
hukum tersebut dengan sengaja dan menentang. Mereka menghukum qisas seorang
Nadir karena membunuh seorang Qurazi. tetapi mereka tidak meng-qisas seorang
Qurazi karena membunuh seorang Nadir, melainkan hanya membayar diat.[5] Sebagaimana mereka pun mengingkari hukum Taurat lainnya
yang dinaskan pada kitab mereka sehubungan dengan hukum rajam terhadap pezina muhsan,
lalu mereka menggantinya dengan hal-hal yang diperistilahkan di kalangan
mereka sendiri, yaitu berupa hukum dera, pencorengan, dan dipermalukan.[6]
Dalam kajian Usul Fiqh, ayat ini merupakan
salah satu syariat umat sebelum Islam yang diperselisihkan oleh ulama’. Di satu
sisi ayat ini merupakan salah satu bentuk hukum yang tidak secara tegas
dinyatakan berlaku bagi umat islam, tetapi disisi lain tidak terdapat
keterangan sudah dihapus atau tidak berlaku lagi.[7]
Begitupula sebagaimana yang
diterangkan secara eksplisit dalam al-Qur’an Al-Baqarah ayat 178:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى ۖ الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ
بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَىٰ بِالْأُنْثَىٰ ۚ فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ
شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ۗ ذَٰلِكَ
تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗ فَمَنِ اعْتَدَىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُ
عَذَابٌ أَلِيمٌ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan
orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa
yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar
(diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu
adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang
melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.”[8]
Sedangkan Hudud sendiri sering di artikan sebagai tindak pidana yang macam
dan sanksinya di tetapkan secara mutlak Oleh Allah.[9]
Hukumannya tertentu dan terbatas, artinya memiliki batasan-batasan tertentu
baik batasan maksimal dan batasan minimalnya. Adapun jarimah Hudud memiliki
beberapa macam kategori, ambillah salah satu contohnya, yang terkandung dalam
Al qur’an surat An-Nur ayat 2:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ
وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ
Artinya: “Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus kali dera”
Ayat ini menjelaskan secara eksplisit mengenai hukuman
pelaku zina yang mana masuk kedalam kategori jarimah hudud. Tak hanya itu, ayat
ini juga menjelaskan mengenai larangan untuk berbelas kasih kepada pelaku.[10]
2.2 Pengertian, Macam dan
Aplikasi Jarimah Qhisash dan Hudud
2.2.1
Pengetian Hudud
Hadd hanya diberikan bila terjadi pelanggaran atas hak-hak
masyarakat. Kata “hudud” adalah bentuk jamak bahasa arab “hadd” yang berarti
pencegahan, penekanan atau larangan. Oleh karenanya ia merupakan suatu
peraturanyang membatasi undang-undang allah berkenaan dengan hal-hal halal dan
haram. Hudud allah dibagi menjadi dua kategori. Pertama undang-undang yang
menjelaskan kepada manusia berhubungan dengan makanan, minuman, perkawinan,
perceraian dan lain-lain yang diperolehkan dan yang dilarang. Kedua
hukuman-hukuman yang di tetapkan atau diputuskan agar dikenakan kepada seseorang
yang melakukan hal yang dilarang.[11]
Secara etimologi, hudud yang merupakan bentuk jamak dari kata had
yang (larangan, pencegahan). Adapun secara terminologis, al-jurjani mengartikan
sebagai sanksi yang telah di turunkan dan yang wajib dilakukan secara haq
karena allah. Sementara itu, sebagian ahli fiqih sebagaimana dikutip oleh abdul
qadar audah, berpendapat bahwa had ialah sanksi yang telah di tentukan secara
syara. Jarimah Hudud sering di artikan sebagai tindak pidana yang macam dan
sanksinya di tetapkan secara mutlak Oleh Allah. Sehingga manusia tidak
berhak untuk menetapkan hukuman lain selain hukum yang di tetapkan berdasarkan
kitab allah.[12]
Kejahatan hudud adalah kejahatan yang paling
serius dan berat dalam hukum pidana islam.ia adalah kejahatan terhadap
kepentingan publik. Jumhur ulama’ merumuskan jarimah hudud ada tujuh yaitu :
zina, Qadzaf(Tuduhan palsu zina), sariqah(Pencurian), hirabah(Perampokan),
Riddah (murtad), al-baghy(Penberontakan) dan syurb al-khamr(Meminum
khamr).sementara madzab malikiyah hanya memasukan jarimah hudud dalam lima
kategori yaitu: zina, qadzaf, sariqah, hirabah dan baghy. Dengan lebih
mendetail, al-sayyid sabiq mengemukakan bahwa hudud secara bahasa berarti
pecegahan. Sanksi-sanksi kemaksiatan tersebut dengan hudud, karena pada umunya
dapat mencegah pelaku dari tindakan pengulang pelanggaran. Adapun arti kata had
mengacu, kepada pelanggaran sebagaimana firman allah (QS.Al-Baqarah(2):
187),”itulah larangan allah, maka janganlah kamu mendekatinya”.
Kata hudud juga
mengandung makna ancaman dan balasan, seperti yang terdapat dalam surah
al-mujadalah (58:20); “sesungguhnya
orang-orang yang menetang Allah dan RasulNya, mereka termasuk orang-orang yang
sangat hina.”
Kata hadd juga
berarti pemisah antara dua hal yang membedakan antara sesuatu dengan yang
lainnya. Dalam pengertian ini termasuk juga dinding rumah atau batas-batas
tanah disebut juga hudud. Hukuman-hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku-pelaku
kemaksiatan disebut hudud, karena hukuman tersebut dimaksudkan untuk mencegah agar
orang yang dikenai hukum itu tidak mengulangi perbuatan yang menyebabkan dia
dihukum.
Dari definisi
yang telah diuraikan bahwa hudud adalah hukuman yang telah ditentukan macam dan
jumlahnya, tidak mempunyai batas minimal dan maksimal dan menjadi otoritas
Allah. Otoritas Allah itu mengandung makna bahwa hukuman tersebut tidak dapat
dihapus oleh perseorangan yang menjadi korban atau oleh masyarakat yang
diwakili oleh penguasa Negara. [13]
Adapun Negara Saudi Arabia yang
memberlakukan Hudud di kalangannya.
Karena Alqur’an
dan Sunnah Rasulullah sebagai Undang-Undang Dasar Negara, maka seluruh aspek
hukum baik menyangkut dengan hukum had, kisas maupun hukum takzir dapat
diterapkan pada setiap warga yang melanggara norma-norma hukum tersebut. Bagi
warga yang membunuh dengan tanpa alasan hukum Syari’ah sanksi hukumnya dibunuh.
Demikian juga pelaku zina, hukumannya dirajam, dan bagi warga yang melaporkan
perbuatan zina warga lain tanpa alat bukti saksi empat orang, juga dikenakan
sanksi rajam delapan puluh kali dan diasingkan atau diisolasi dari tempat
kediamanannya. Hukuman bagi kelompok pengacau keamanan atau pelaku tindakan
pidana konisitas, seperti perampokan dengan pembunuhan dikenakan sanksi pidana
salib, yaitu suatu hukuman yang bersifat amputasi silang dua oragan tubuh
tangan kiri dan kaki kanan.
Hukuman-hukuman
pidana inilah yang oleh dunia internasional mengecam Arab Saudi sebagai negara
yang tidak melindungi hak-hak asasi manusia, bahkan dicap sebagai negara yang
membelakukan hukum rimba.
Hakim-hakim di
mahkamah syari’ah apabila dalam memeriksa suatu perkara yang tidak ditemukan
dasar-dasar hukum dalam Qur’an atau Sunnah Rasulullah atau basic law of government, maka diberikan kebebasan untuk berijtihad.
ijtihad hakim baik berdasarkan pada keputusan hakim atas suatu perkara yang
sebelumnya dengan sifat dan krakteristik perkara yang sama, maupun menggunakan
hasil pemikiran para ulama hukum Islam klasik.
Bahkan seperti penerapan hukum Islam di dunia Islam lainnya, keputusan
hakim mahkama syari’ah sebagai prseden bagi hakim dalam menghadapi perkara yang
mempunyai sifat dan krakteristik yang sama.
2.2.2
Macam-Macam Hudud
Ditinjau dari
segi dominasi hak, terdapat dua jenis hudud, yaitu sebagai berikut.
1.
Hudud
yang termasuk hak allah.
2.
Hudud
yang termasuk hak manusia.
Menurut abu ya’la, hudud jenis pertama adalah semua jenis sanksi yang yang
wajib di perlakukan kepada karena ia meninggalkan semua hal yang di
perintahkan,seperti shalat,puasa,zakat,dan haji.da pun hudud dalam kategori yag
ke dua adalah semua jenis sanksi yang di berlakukan kepada sesorang karena ia
melanggar larangan allah,seperti zina,mencuri,dan meminum homer.
Hudud jenis
kedua ini terbagi menjadi dua. Pertama,hudud yang merupakan hak allah ,seperti
atas jarimah zina,meminum minuman keras,mencuri,pemberontakan. Kedua, hudud
yang merupakan hak manusia, seperti hadd qadzf dan qishas. Jarimah hudud yaiyu
di hukum atau sanksi berupa tazir.[14]
2.2.3
Pengetian qishash
Qishash berasal dari kata قصاص yang artinya memotong atau berasal dari
kata Iqtassan yang artinya mengikuti, yakni mengikuti perbuatan si penjahat
sebagai pembalasan atas perbuatannya. Menurut syara' qishash ialah hukuman
balasan seimbang bagi pelaku pembunuhan maupun perusakan atau penghilangan
fungsi anggota tubuh orang lain yang dilakukan dengan sengaja.
Secara etimologis قصاص dari kata Qashoshon- Yaqushu- Qoshan yang berarti تتبعته
(mengikuti), menelusuri jejak atau langkah (تتبع الأثر ) seperti قصصت الأثر
berarti: “aku mengikuti jejaknya”. Hal ini sebagaimana firman Allah :
قَالَ ذَلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِ فَارْتَدَّا عَلَى آثَارِهِمَا قَصَصًا
Artinya : Musa berkata, “Itulah
(tempat) yang kita cari.” Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.
(QS. Al- Kahfi (18) : 64)[15]
Adapun arti qishash secara
terminologi yang dikemukakan oleh Al- Jurnani adalah yang mengenakan sebuah
tindakan (sanki hukum) kepada pelaku persis seperti tindakan yang dilakukan
oleh pelaku tersebut (terhadap korban).Sementara itu dalam Al- Mu’jam Al- Wasit,
qishash diartikan dengan menjatuhkan sanki hukum kepada pelaku tindak pidana
sama persis dengan tindak pidana yang dilakukan, nyawa dengan nyawa dan anggota
tubuh dibalas dengan anggota tubuh.
Dengan demikian, nyawa pelaku
pembunuhan dapat dihilangkan karena ia pernah menghilangkan nyawa korban atau
pelaku penganiyaan boleh dianiaya karena ia pernah menganiaaya korban.
Dalam menangani praktek kejahatan yang merenggut jiwa dan raga seseorang,
hukum Islam menawarkan konsep penting tentang masalah kejahatan terhadap nyawa
manusia dengan menyebutkan bahwa tindak pidana pembunuhan (al-qatl) disebut
dengan kejahatan terhadap jiwa manusia (al-jinayah ‘ala al-insaniyyah), dimana
istilah ini sama dengan pengertian pemunuhan dalam hukum positif. Al-jinayah
atau yang biasa dikenal dengan Jinayat adalah beberapa hukum yang meliputi
sanksi membunuh orang, melukai, memotong, menghilangkan manfaat anggota badan,
seperti menghilangkan salah satu panca indera.
Membunuh orang
merupakan dosa besar selain dari ingkar. Karena kejinya perbuatan itu, juga
untuk menjaga keselamatan dan kesejahteraan umum, Allah yang Maha Adil dan Maha
Mengetahui memberikan balasan yang layak (setimpal) dengan kesalahan yang besar
itu, yaitu hukuman berat di dunia atau dimasukan kedalam neraka di akhirat nanti. Dalam Al-Qur’an Surat
Al-Maidah ayat 32, Allah berfirman bahwa :
“...barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang
itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi,
maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang
memilihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara
kehidupan manusia selamanya...”
Menurut
pandangan hukum pidana Islam, bagi orang yang membunuh tanpa sebab yang
dibenarkan oleh agama, maka hukum akan menjatuhkan sanksi pidana yang berat,
yakni dengan tindak pidana mati atau hukuman qishash. Namun, pelaksanaan
hukuman ini diserahkan pada putusan keluarga si terbunuh, apakah tetap
dilaksanakan qishash atau dimanfaatkan dengan penggantian berupa denda sebesar
dengan penggantian sebesar yang ditetapkan keluarga si terbunuh.
Adapun
Negara-negara yang masih menganut hukum islam diantaranya:
1.
Arab Saudi
Arab Saudi
masih mempraktikkan hukuman ini dengan mengacu pada syariat Islam yang berlaku.
Namun, hukuman pancung hanya diberlakukan terhadap terpidana mati kasus
pembunuhan.
Eksekusi bisa
saja dibatalkan, jika keluarga korban memaafkan dan pelaku diharuskan membayar
diyat (uang pengganti) yang nominalnya ditetapkan oleh keluarga korban. Dikutip
dari laman boombastis.com, disebutkan bahwa sebanyak 157 orang telah dieksekusi
dengan cara dipancung pada tahun 2015 silam.
2.
Qatar
Qatar juga
menjadi negara yang berada di jazirah Arab yang konsisten menegakkan syariat
Islam. Hukuman pancung dikenakan kepada para terpidana yang dianggap melanggar
hukum Islam yang sudah menjadi pedoman mereka.
Meski praktik
hukuman pancung di Qatar tak sebanyak di Arab Saudi, namun penerapan hukuman
ini efektif membuat warga takut dan enggan melakukan pelanggaran hukum.
3.
Yaman
Pemerintah
Yaman tak segan menjatuhi hukuman mati kepada para pelaku pemerkosaan,
penjualan narkoba, praktik hubungan sesama jenis maupun kasus penculikan.
Hukuman mati dilakukan dengan cara ditembak, digantung, dirajam bahkan
dipancung.
Tak hanya oleh
pemerintah, kelompok gerilyawan tertentu juga kerap melakukan pemenggalan
secara ilegal terhadap mereka yang dianggap melakukan kejahatan atau
pelanggaran hukum yang mereka anut.
4.
Irak
Irak paling
getol melakukan hukuman pancung saat rezim Saddam Husein berkuasa. Pemenggalan
kepala adalah merupakan hal lumrah dilakukan di negeri 1001 malam tersebut.
Bahkan, di era
kekuasaannya, Saddam Husein pernah mengeksekusi 50 orang wanita tuna susila
dengan cara dipancung pada tahun 2000 silam.
Meski kini
jarang dilakukan oleh pemerintah, namun belakangan marak kelompok militan yang
kerap menculik sesorang yang dianggap melanggar syariat Islam.
Mereka kemudian
akan meminta tebusan. Jika tak dituruti, maka si korban tadi akan dibunuh
dengan cara dipancung.[16]
2.2.4
Macam-Macam Qishosh
a.
Qishash
jiwa, yaitu hukum bunuh bagi tindak pidana pembunuhan. (Pembunuhan)
- Qishash anggota
badan, yakni hukum qishash atau tindak pidana melukai, merusakkan anggota
badan, atau menghilangkan manfaat anggota badan (penganiayaan).
Hal ini selaras dengan firman-Nya, ‘Dan kami telah tetapkan terhadap mereka
di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan
mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka
luka (pun) ada kisasnya. barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka
melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. barangsiapa tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang
yang zalim.’ (QS. Al-Maidah : 45)[17]
2.3
Jarimah Qishash dan Jarimah Hudud di Indonesia
Hukum pidana yang dimiliki
agama islam selama ini tidak dipahami secara benar dan mendalam oleh
masyarakat, bahkan yang lebih anehnya lagi juga tidak di pahami oleh masyarakat
islam sendiri. Stigma negatife yang ditujukan kepada hukum
pidana islam karena mereka melihat pelaksanaan hukum yang tergolong primitive, kejam, keji dan
mengerikan. Mereka hanya menggambarkan tentang betapa kejamnya sanksi hukuman
rajam terhadap orang yang berzina, hukuman potong tangan terhadap pencuri ,
serta hukum hudud dan jilid pada umumnya. Mereka tidak memahami tentang system
hukum islam dan system peradilan hukum islam serta eksekusi pelaksanaan
sanksinya. Masyarakat seperti inilah yang kita jumpai di hampir seluruh daratan
bumi pertiwi Indonesia.
Namun meskipun stigma negatif tersebut ada,
tidak menyurutkan sebagian ummat muslim untuk terus mengupayakan transformasi
hukum pidana ke dalam hukum nasional. Hal ini berdasarkan sudut pandang
filosofi bangsa Indonesia, yang berdasarkan pancasila, memungkinkan hukum islam
untuk menjadi bagian dari pembangunan hukum nasional Indonesia. Masalahnya
adalah, bagaimana hukum pidana islam dapat turut serta dan menjadi bagian dalam
hukum positif Indonesia.
Hukum islam dalam bidang hukum pidana dapat
didiskusikan bahkan dijalin kedalam hukum pidana di Indonesia. Hal ini
dimungkinkan sepanjang ia sesuai dengan dasar filosofi bangsa Indonesia yaitu
Pancasila dan hukum dasar UUD NRI 1945 yang melandasi Negara Republik Indonesia
sebagai suatu Negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa yang tertera pada sila
pertama Pancasila.
Di lingkungan masyarakat islam berlakutiga
kategori hukum dalam pandangan islam, yaitu:
·
Syariat
خطاب الشارع المتعلق بأفعال
المكلفين بالقتضاء أو التخيير أو الوضع.
Ketentuan
Allah yang berkaitan dengan perbuatan subjek hukum, berupa melakukan suatu
perbuatan , memilih, atau menentukan sesuatu sebagai syarat, sebab, atau
penghalang. Secara harfiah syariah artinya jalan menuju ke tempat mata air,
atau tempat yang dilalui air sungai. Mahmud Syaltut dalam bukunya al-Islam
Aqidah wa Syariah mendefinisikan syariat adalah peraturan yang diturunkan
Allah kepada manusia agar dipedomani dalam berhubungan dengan tuhannya, dengan
sesamanya, dengan lingkungannyadan dengan kehidupan.[18] Jadi dapat kita
pahami bahwa hukum syariat adalah hukum-hukum yang ditetapkan Allah dan
Rosul-Nya yang secara jelas terdapat dalam al-Quran dan al-Hadist.
·
Fiqh
Secara
harfiah, fiqh artinya adalah faham.berbeda dengan ‘ilm, yang artinya
mengert.[19]
العلم بالأحكام الشرعية العملية من أدلتها التفصيلية
Fiqh adalah
ilmu atau pemahaman tentang hukum-hukum syarak bersifat perbuatan (yang
dipahami) dari dalil-dalil terperinci. Fiqh juga bisa dipahami sebagai
hukum-hukum hasil pemahaman ulama mujtahid dari dalil-dalilnya yang terperinci
(terutama ayat-ayat al-Quran dan Hadist).
·
Siyasah Syari’ah
التوسعة على ولاة الأمر فى أن يعملوا ما تقضى به المصلحة مما لايخالف أصول
الدين وإن لم يكن عليه دليل خاص.
Kewenangan
pemerintah untuk melakukan kebijakan yang dikehendaki kemaslahatan, melalui
aturan yang tidak bertentangan dengan agama,meskipun kemaslahatan melalui
aturan yang tidak bertentangan dengan agama, meskipun tidak ada dalil tertentu.
Kewenangan tersebut dibuat oleh lembaga yang berwenang dalam negara yag sejalan
dengan atau tidak bertentanagan dengan syariat agama islam.
Menurut
Prof. AR Taj, siyasah (tanpa Syari’at) dilihat dari dasar sumbernya dapat
dibagi dua yaitu:[20]
·
Siyasah Syar’iah
·
Siyasah Wad’iyah
Dasar pokok
siyasah syar’iyah adalah wahyu atau agama. Di dalamnya terdapat nilai dan norma
transendental yang merupakan dasar dari pembuatan peraturan-peraturan yang dibuat oleh institusi-institusi yang
berwenang dalam sebuah negara. Dan pokok lainnya dalam siyasah syar’iyah selain
wilayah transendental adalah lingkungan dan manusia itu sendiri. Siyasah
wad’iyah adalah peraturan perundang-undangan yang bersumber pada manusia
sendiri dan lingkungannya seperti pandangan para ahli, urf, adat,
pengalaman-pengalaman aturan-aturan terdahulu yang diwariskan dan lain-lain.
Pertanyaan
selanjutnya adalah dapatkah peraturan-peraturan yang dibuat oleh manusia
melalui badan pemerintahan yang berwenang dimasukkan ke dalam siyasah
syar’iyah. Jawabannya adalah dapat, sepanjang peraturan-peraturan terebut tidak
bertentangan dengan syariat islam dan peraturan tersebut sejalan dengan keadaan
yang ada dilingkungan tempat berlakunya. Siyasah syariah menempatkan hukum hasil
temuan manusia pada posisi yang sangat tinggi dan bernilai. Wajib hukumnya bagi
masyarakat diwilayah berlakunya hukum yang dibuat oleh badan berwenang tersebut
dan peraturan itu tidak bertentangan dengan agama untuk dipatuhi sepenuh hati.
Allah berfirman dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 59
يايهاالذين ءآمنوا أطيعوا الله و أطيعوا لرسول و أولى
الأمر منكم....الخ
Artinya:
“Wahai
orang-orang yang beriman taatlahkalian kepada Allah dan Rosul, dan taatlah
kepada ulil amri (pemerintah) diantara kalian.”
Dalam rangka
pengisian dan pengembangan Demokrasi Pancasila, objektivitas dari kata dan
khasanah keislaman seperti ayat-ayat al-Quran, Hadis, Syariah, dan lieratur
keislaman perlu di upayakan seoptimal mungkin. Hasilnya bisa dilihat dari
formulasi yang berifat umum terasa seakan-akan bukan dari islam, tetapi yang
penting dilihat dari segi materinya bersifat islami.
Penerapan
hukum pidana islam disuatu negara dapat dilakukan dengan pendekatan jawabir dan
zawajir. Ibrahim Hosen memberikan penjelasan sebagai berikut:
1. Teori Jawabir menghendaki
pelaksanaan hukuman pidana persis seperti hukuman yang secara harfiah
disebutkan di dalam nash (ayat al-Qur’an dan hadist). Hukuman
dilaksanakan dengan tujuan menebus kesalahan dan dosa yang dilakukan oleh
terpidana.
2. Teori Zawajir hukuman yang
dijatuhkan terhadap tindak pidana tidak harus persis seperti tersebut di dalam
nash.[21]
BAB III
PENUTUP
1.1
Kesimpulan
1. Al-Qur’an, untuk
memahaminya maka dilakukan penafsiran dengan meninjau segi dilalah-nya. Pertama, nash yang qoth’i dilalah yaitu nash
yang tegas dan jelas maknanya, tidak dapat ditawil atau bahkan sampai
diperdebatkan, sebab nash ini tidak memiliki makna lain selain yang telah
dijelaskan tanpa kegamblangan. Kedua, yaitu nash zhanni dilalah
dimana tidak disebutkan secara eksplisit hanya saja memunculkan illat-nya
sehingga menjadi beberapa penafsiran dalam kalangan fuqora.
2. Jarimah Qishash dan Jarimah Hudud merupakan
sanksi yang runtutannya dan aplikasinya diatur oleh Allah dalam wahyunya.
Adapun aplikasinya, dilakukan di berbagai negsrs yang menggunakan syariat Islam
sebagai dasar ideologi negara sehinga sistem hukum yang berlaku menggunakan hukum
Islam.
3. Indonesia merupakan negara yang menjadikan
hukum sebagai kedudukan tertinggi di dalam ketatangaraan, sehingga hukum
berposisi sebagai pemeluk segala aspek yang terjadi didalam menjalin hubungan
berbangsa dan berneraga, maka hukum layaknya harus dapat berlangsung relevan
bagi siapa saja, karena dasar ideologi Indoesia adalah pancasila dengan Bhineka
Tunggal Ika yang menjadi simbol, tidak dapat hukum Islam dijadikan hukum yang
berlaku di negara ini.
DAFTAR PUSTAKA
Noor Harisudin. 2013. Pengantar Ilmu Fiqh. Surabaya: Pustaka Radja.
Amir Syarifuddin. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
Ahmad Hanafi. 2005. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Bulan
Bintang.
Nurul Irfan & Masyofah, Fiqh Jinayah, Paragonatama Jaya,
Jakarta, 2013, hal. 8
https://tafsirq.com/topik/al+baqoroh+178
Ahmad Wardi Muslich. 2004. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta:
Sinar Grafika
Rahman i doi. 1996. Hudud dan pewarisan. Jakarta: pt raja grafindo
persida.
Nurul irfan. 2013. Fiqih jinayah. Jakarta: amzah.
Siti anisah. 2016. PENERAPAN
HUKUM QISHASH UNTUK MENEGAKKAN KEADILAN. Universitas
Negeri Jakarta: Jurnal syariah.
Dikutip
dari news.okezone.com 14 maret 2016. Mnc media
Ahmad Rofiq. 1995. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta:PT
RajaGrafindo Persada.
Sahal Mahfud. 2001. pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta:
Gama Media.
Ahmad Sukardja. 2001. Posisi Hukum Pidana Islam Dalam Peraturan Perundang-Undangan dan Konteks Politik
Hukum Indonesia. Pejaten Barat:
Pustaka Firdaus.
Ahmad
Sukardja. 2001. Posisi
Hukum Pidana Islam Dalam Peraturan Perundang-Undangan dan Konteks Politik
Hukum Indonesia. Pejaten
Barat: Pustaka Firdaus.
[5] https://alquranmulia.wordpress.com/2015/12/08/tafsir-ibnu-katsir-surah-al-maa-idah-ayat-45/ diakses tanggal 16 September 2018
[7] Nurul Irfan & Masyofah, Fiqh Jinayah, Paragonatama Jaya,
Jakarta, 2013, hal. 8
[9] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar
dan Asas Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal. 17
[11] Rahman i doi. Hudud dan pewarisan.(jakarta; pt raja grafindo
persida, 1996) hal : 6
[13] Siti anisah. PENERAPAN HUKUM QISHASH UNTUK MENEGAKKAN KEADILAN. Universitas
Negeri Jakarta. Jurnal syariah 4. 2016. Hal 101-102
[14] Nurul irfan. Fiqih jinayah.(jakarta;amzah,2013) hal: 13-16
[16] Dikutip dari news.okezone.com 14 maret 2016. Mnc media
[17] Nurul irfan. Fiqih jinayah.(jakarta;amzah,2013) hal 4-6
[18] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta:PT
RajaGrafindo Persada, 1995, hlm. 4.
[19] Sahal Mahfud, pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta:
Gama Media, 2001, hlm.16.
[20] Ahmad Sukardja, Posisi Hukum Pidana Islam Dalam Peraturan
Perundang-Undangan dan Konteks Politik Hukum
Indonesia, Pejaten Barat: Pustaka Firdaus, 2001, hlm. 213.
[21] Ahmad Sukardja, Posisi Hukum Pidana Islam Dalam Peraturan
Perundang-Undangan dan Konteks Politik Hukum
Indonesia, Pejaten Barat: Pustaka Firdaus, 2001, hlm. 222
Komentar
Posting Komentar