Sejarah Bantuan Hukum di Indonesia

OLEH:

MAULIDA MAULAYA HUBBAH

PRODI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS HUKUM ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER



KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr. wb.
Asumsi yang hadapi kali ini bahwa hukum masih menjadi sesuatu yang sulit dipahami oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia. Hukum dianggap menjadi sisi lain dari kehidupan masyarakat, bahkan sering dianggap sebagai “musuh” yang tidak harus dikenal, diketahui atau dipahami. Hal ini disebabkan salah satunya karena rendahnya pamahaman masyarakat terhadap hukum itu sendiri maupun fungsinya. Hal demikian muncul sebab keterbatasan informasi dan kesulitan dalam memahami substansi hukum yang berlaku. Sebab selain untuk mengatur, hukum juga dapat membantu untuk menegakkan keadilan dan mengambil hak-hak yang terampas, hal ini yang disebut sebagai bantuan hukum.
Hal yang demikian, perlu kita telaah lebih mendalam,  dikupas secara satu persatu sehingga dapat diketahui hukum pada dasarnya tidak hanya seperti yang dipahami secara asumsi belaka oleh masyarakat Indonesia, sehinga sifat apatis dalam menilai hukum tak lagi muncul. Oleh karena itulah kemudian, penulis berinisiatif untuk mengkaji secara sistematis dari hal paling mendasar terkait bantuan hukum yang dimuat dalam tema “Sejarah Perkembangan Bantuan Hukum di Indonesia”
Kemudian kami sampaikan Terima kasih yang begitu sangat kepada Ibu Rina Suryanti, M.HI. sebagai dosen pembimbing mata kuliah Bantuan Hukum Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Jember yang telah membimbing dan mengajari penulis hingga saat ini.
Demikian pengantar yang dapat kami sampaikan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat, Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.
Wassalamu’alaikum wr.wb…....
                              06 - Oktober - 2018

                        Penulis,


BAB I
PENDAHULUAN
1.1     Latar Belakang
Kebanyakan sifat apatis masyarakat terkait hukum mengakibatkan tidak mengertinya sebagian golongan terhadap hukum itu sendiri. Adanya hukum hanya dinggap sebagai seperangkat aturan-aturan saja, padahal faktanya hukum juga berlaku untuk membantu menegakkan keadilan dan mengambil hak-hak yang terampas, hal ini yang disebut sebagai bantuan hukum.
Hukum sebagai kaidah yang mengatur masyarakat seharusnya dapat dijadikan pedoman bagi setiap orang yang melakukan interaksi (baik berupa perilaku maupun hubungan hukum) antarsesama dalam masyarakat, sebab sejatinya manusia sebagai zoon politicon tidak dapat berdiri sendiri. Hal ini tentu dapat terwujud apabila orang atau masyarakat yang bersangkutan benar-benar mengerti substansi yang diatur, serta memahami hak dan kewajiban konstitusional yang menjamin dalam hukum yang berlaku.
Berbicara mengenai bantuan hukum maka perlu dipahami secara sistematis mulai awal terkait bantuan hukum, sehingga pemahamannya secara fundalemtal. Hal awal yang perlu diketahui adalah historis adanya bantuan hukum di Indonesia. Sehingga dapat diketahui adanya secara menyeluruh yang akan kami bahas berikutnya.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1     Sejarah Bantuan Hukum di Indonesia
Bantuan hukum pada dasarnya adalah kewajiban setiap advokad untuk memberikan bantuan yang dilatarbelakangi oleh sifat kedermawanan (charity). Dalam bahasa Frans Hendra Winata, tugas advokat adalah mengabdikan dirinya pada masyarakat sehingga dia dituntut untuk selalu turut serta dalam penegakan hak asasi manusia (HAM), dan dalam profesinya ia bebas untuk membela siapapun.[1]
Bantuan hukum telah dilaksanakan oleh masyarakat Barat sejak zaman Romawi. Saat itu bantuan hukum didasarkan pada nilai-nilai moral dan lebih dianggap sebagai suatu pekerjaan yang mulia, khususnya untuk menolong orang-orang tanpa mengharapkan dan/atau menerima imbalan atau honorarium. Bantuan hukum ini lebih banyak dianggap sebagai pekerjaan memberi jasa di bidang hukum tanpa suatu imbalan.
Bantuan hukum di Indonesia adalah legal institution (lembaga hukum). Awalnya bantuan hukum tidak dikenal dalam sistem hukum tradisional, antuan hukum baru dikenal di Indonesia sejak masuknya atau diberlakukannya sistem hukum Barat di Indonesia (kongkordasi), yang mana bermula pada tahun 1848 ketika di negeri Belanda terjadi perubahan besar dalam sejarah hukumnya, pada tanggal 16 Mei 1848 No.1, perundang-undangan baru di negeri Belanda tersebut juga diberlakukan di Indonesia, antara lain peraturan tentang susunan kehakiman dan kebijaksanaan peradilan (Reglement of de Regterlijke Organisaticen het beleid der Justitie), yang lazim disingkat dengan R.O.
Dalam peraturan hukum inilah diatur untuk pertama kalinya “Lembaga Advokat” sehingga dapat diperkirakan bahwa bantuan hukum dalam arti yang formal baru mulai di Indonesia sekitar pada waktu-waktu tersebut.  Pada masa itu, penduduk Indonesia dibedakan atas 3 golongan berdasarkan Pasal 163 Ayat (1) Indische Staatsregeling (IS), antara lain:
·      Golongan Eropa.
Yang termasuk golongan ini adalah orang Belanda, semua orang yang bukan Belanda tetapi berasal dari Eropa, orang Jepang, dan anak sah dari golongan Eropa yang diakui undang-undang.
·      Golongan Timur Asing.
Yang termasuk dalam golongan Timur Asing adalah golongan yang bukan termasuk dalam golongan Eropa maupun golongan Bumiputera.
·      Golongan Bumiputera.
Yang termasuk golongan ini adalah orang-orang Indonesia asli (pribumi).[2]
Adanya penggolongan terhadap penduduk Indonesia pada masa itu menyebabkan adanya perbedaan antara golongan yang satu dengan golongan yang lain dalam banyak bidang kehidupan, seperti bidang ekonomi, sosial, dan politik kolonial, dimana dalam semua bidang tersebut golongan Bumi putera menempati derajat yang lebih rendah daripada golongan Eropa dan Timur Asing. Perbedaan-perbedaan tersebut juga berimplikasi pada dikotomi sistem peradilan di Indonesia. Pada masa kolonial Hindia Belanda, dikenal adanya 2 (dua) sistem peradilan. Pertama, hierarki peradilan untuk orang-orang Eropa dan yang dipersamakan yang jenjang peradilannya terdiri atas Residentiegerecht untuk tingkat pertama, Raad van Justitie untuk tingkat banding, dan Mahkamah Agung (Hogerechtshof). Kedua, hierarki peradilan untuk orang-orang Indonesia dan yang dipersamakan, yang meliputiDistrictgerecht, Regentschapsgerecht, dan Landraad.[3]
Demikian pula dengan hukum acara yang mengatur masing-masing sistem peradilan tersebut berbeda untuk acara pidana maupun acara perdata. Peradilan Eropa berlaku Reglement op de Rechtsvordering (Rv) untuk acara perdatanya dan Reglement op de Strafvoerdering (Sv) untuk acara pidananya. Kemudian bagi Peradilan Indonesia berlaku Herziene Inlandsch Reglement (HIR), baik untuk acara perdata maupun acara pidananya.
Apabila diperbandingkan, HIR memuat ketentuan perlindungan terhadap kekuasaan pemerintah yang jauh lebih sedikit daripada kitab undang-undang untuk orang Eropa. Sebagai contoh, bagi orang-orang Eropa dikenal kewajiban legal representation by a lawyer baik perkara perdata maupun pidana, hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa mereka telah mengenal lembaga yang bersangkutan di dalam kultur hukum mereka (Belanda) dan karenanya cukup diatur didalam undang-undang tentang ketentuan bantuan hukum sebagaimana yang dikenal di negara-negara yang telah maju, hal ini didasarkan pada pemikiran para pakar hukum alumni tamatan sekolah hukum di Belanda, antara lain Mr. Sartono, Mr. Sastro Moeljono, Mr. Besar Mertokoesoemo, dan Mr. Ali Sastroamidjoyo. Di antara mereka, Mr. Besar Mertokoesoemo merupakan advokat pertama bangsa Indonesia yang membuka kantornya di Tegal dan Semarang pada sekitar tahun 1923.
Para advokat Bumiputera tersebut, baik yang menyelesaikan studinya di negeri Belanda maupun di Batavia, merupakan penggerak pelaksanaan bantuan hukum di Indonesia walaupun pada awalnya motivasi para advokat tersebut adalah sebagai bagian dari pergerakan nasional Indonesia terhadap penjajah. Menurut Abdurrahman, berdasarkan motif yang demikian, walaupun pemberian bantuan hukum ini berkaitan dengan jasa advokat yang bersifat komersiil, karena ia bertujuan khusus untuk membantu rakyat Indonesia yang pada umumnya tidak mampu memakai advokat-advokat Belanda, hal ini sudah dapat dipandang sebagai titik awal dari program bantuan hukum bagi mereka yang tidak mampu di Indonesia. Pada masa penjajahan bangsa Jepang, tidak terlihat adanya kemajuan dari pemberian bantuan hukum.[4]
Awal Kemedekaan
Keadaan yang sama kira-kira juga terjadi pada seputar tahun-tahun awal setelah bangsa Indonesia menyatakan proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945 karena seluruh bangsa sedang mengkonsentrasikan dirinya untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan bangsa. Demikian pula setelah pengakuan kedaulatan Rakyat Indonesia pada tahun 1950 keadaan yang demikian relatif tidak berubah.
Periode 1950-1959
Setelah Indonesia mencapai pengakuan kemerdekaannya pada tahun 1950, maka sampai dengan pertengahan tahun 1959 (yaitu saat Soekarno mengambil oper kekuasaan dengan mengganti konstitusi), keadaan tersebut di atas tidak banyak berubah. Memang pluralisme hukum di bidang peradilan dihapuskan sehingga hanya ada 1 (satu) sistem peradilan untuk seluruh penduduk (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung). Demikian pula hanya berlaku 1 (satu) hukum acara bagi seluruh penduduk. Akan tetapi sayang sekali yang dipilih sebagai warisan dari sistem peradilan dan perundang-undangan kolonial adalah  justru yang bukan lebih maju melainkan yang lebih miskin, yaitu peradilannya bukan Raad van Justitie melainkan Landraad. Hukum acaranya bukan Rechtsvordering melainkan HIR.
“Hal ini membawa akibat bahwa banyak ketentuan-ketentuan hukum yang menjamin bantuan hukum yang berlaku bagi orang Eropa tidak ikut diwarisi ke dalam perundang-undangan yang berlaku setelah kemerdekaan. Dengan kata lain, yang berlaku sejak tahun 1950 sampai saat ini adalah sistem peradilan dan peraturan hukum acara dari zaman kolonial khusus bagi Bangsa Indonesia yang sangat miskin menjamin ketentuan-ketentuan mengenai bantuan hukum.[5]
Orde Lama
Pada periode ini, yang ditandai dengan besarnya kekuasaan dan pengaruh Soekarno (hingga tahun 1965), bantuan hukum dan profesi advokat mengalami kemerosotan yang luar biasa bersamaan dengan melumpuhnya sendi-sendi negara hukum. Pada masa ini hukum tak lebih sebagai “alat revolusi”. Pada masa itu, peradilan tidak lagi bebas tetapi sudah dicampuri dan dipengaruhi secara sadar oleh eksekutif. Hakim-hakim berorientasi kepada pemerintah karena tekanan yang dalam praktek dimanifestasikan dalam bentuk setiap putusan yang dimusyawarahkan dulu dengan kejaksaan. Akibatnya tidak ada lagi kebebasan dan impartiality sehingga dengan sendirinya wibawa pengadilan jatuh dan harapan serta kepercayaan pada bantuan hukum hilang.
Campur tangan kekuasaan eksekutif pada pengadilan mencapai puncaknya dengan diundangkannya Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Undang-Undang tersebut dimuat ketentuan-ketentuan yang bertentangan secara diametral dengan asas-asas negara hukum atau rule of law yang mengakui pengadilan bebas sebagai unsur esensial dan memastikan. Sejak itu boleh dikatakan peranan para advokat menjadi lumpuh dan bantuan hukum menjadi tidak ada artinya sama sekali. Periode ini kiranya merupakan periode pahit bagi sejarah bantuan hukum di Indonesia.

Orde Baru
Periode ini dimulai ketika gagalnya kudeta PKI yang disusul jatuhnya rezim Soekarno. Pada mulanya atau tahun-tahun pertama tampak ada drive yang kuat sekali untuk membangun kembali kehidupan hukum dan ekonomi yang sudah hancur berantakan. Di samping program rehabilitasi ekonomi, terasa sekali adanya usaha-usaha untuk menumbuhkan kebebasan berbicara, kebebasan pers, juga kebebasan mimbar pada universitas. Independency pengadilan mulai dijalankan dan respek kepada hukum tumbuh kembali.[6]
Usaha pembangunan kembali ini berpuncak pada digantinya Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang kembali menjamin kebebasan peradilan dari segala campur tangan dan pengaruh-pengaruh kekuatan dari luar lainnya dalam segala urusan pengadilan.
Menurut ketentuan dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, untuk pertama kalinya secara eksplisit diberikan jaminan mengenai hak atas bantuan hukum. Dalam satu bab khusus tentang bantuan hukum, terdapat ketentuan-ketentuan bahwa setiap orang yang berperkara berhak memperoleh bantuan hukum. Juga ada ketentuan bahwa seorang tersangka dalam perkara pidana berhak menghubungi dan meminta bantuan penasihat hukum sejak saat dilakukan penangkapan atau penahanan.[7]
Sejalan dengan perkembangan bantuan hukum, berkembanglah suatu ide untuk mendirikan semacam biro konsultasi hukum sebagaimana yang pernah didirikan di Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) Jakarta pada tahun 1940 oleh Prof. Zeylemaker, seorang Guru Besar Hukum Dagang dan Hukum Acara Perdata, yang melakukan kegiatannya berupa pemberian nasihat hukum kepada rakyat yang tidak mampu, di samping juga untuk memajukan kegiatan klinik hukum. Diawali pada tahun 1954, didirikan Biro Tjandra Naya yang dipimpin oleh Prof. Ting Swan Tiong yang mana pada waktu itu lebih mengutamakan konsultasi hukum bagi orang-orang Cina. Selanjutnya, atas usulan Prof. Ting Swan Tiong yang disetujui oleh Prof. Sujono Hadibroto (Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia), pada tanggal 2 Mei 1963 didirikan Biro Konsultasi Hukum di Universitas Indonesia dengan Prof. Ting Swan Tiong sebagai ketuanya. Kemudian pada tahun 1968, biro ini berganti nama menjadi Lembaga Konsultasi Hukum, dan pada tahun 1974, menjadi Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH). Kemudian pada tahun 1967, Biro Konsultasi Hukum juga didirikan di Fakultas Hukum Universitas Padjajaran.[8]
Bersamaan dengan itu, berkembang pula ide untuk mendirikan suatu organisasi atau perkumpulan bagi para advokat, pada awalnya perkumpulan-perkumpulan advokat yang ada belum dalam bentuk satu wadah kesatuan organisasi advokat nasional. Dimulai sekitar tahun 1959-1960 dimana para advokat yang berasal dari Jawa Tengah berkumpul di Semarang dan sepakat untuk mendirikan organisasi advokat yang dinamakan BALIE di Jawa Tengah. Selanjutnya perkumpulan advokat berkembang dan bermunculan di daerah-daerah lain, seperti Balai Advokat di Jakarta, Bandung, Medan, dan Surabaya.
Usaha pembentukan wadah kesatuan yang sesungguhnya bagi advokat sudah lama direncanakan sejak Kongres I PERSAHI (Persatuan Sarjana Hukum Indonesia) pada tahun 1961 di Yogyakarta dimana pada waktu itu hadir para ahli hukum dan advokat sebagai peserta kongres. Lalu bertepatan dengan saat berlangsungnya Seminar Hukum Nasional I pada tanggal 14 Maret 1963 di Jakarta, tokoh-tokoh advokat sebanyak 14 orang mencetuskan berdirinya suatu organisasi advokat yang kemudian dikenal dengan nama Persatuan Advokat Indonesia (PAI) dengan ketuanya Mr. Loekman Wiriadinata yang bertugas menyelenggarakan dan mempersiapkan suatu kongres nasional para advokat Indonesia.
Berdirinya PAI tersebut mendapat perhatian dari Pemerintah Republik Indonesia pada masa itu yang kemudian mengundang para pengurus PAI untukikut berperan serta dalam penyusunan rancangan undang-undang yang berhubungan dengan lembaga pengadilan dan pelaksanaan peradilan Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 29 Agustus 1964 diselenggarakan Kongres I/Musyawarah Advokat yang berlangsung di Hotel Danau Solo yang dihadiri oleh perwakilan-perwakilan advokat se-Indonesia dan kemudian pada tanggal 30 Agustus 1964 diresmikan berdirinya Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN).
Salah satu proyek PERADIN adalah pendirian suatu Lembaga Bantuan Hukum. Hal ini terealisasi dengan didirikannya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Jakarta pada tanggal 26 Oktober 1970 di bawah pimpinan Adnan Buyung Nasution, yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Pimpinan PERADIN tanggal 26 Oktober 1970 No. 001/Kep/DPP/10/1970, dan mulai berlaku pada tanggal 28 Oktober 1970.24 Pada tahun 1980, Lembaga Bantuan Hukum ini berubah nama menjadi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).25Delapan bulan setelah berdirinya LBH di Jakarta, pengembangan LBH di daerah lainnya meningkat, yakni dengan lahirnya Lembaga-Lembaga Bantuan Hukum di Medan, Yogyakarta, Solo, dan Palembang. Di samping itu, beberapa kota lainnya di daerah-daerah juga mengirimkan utusannya ke LBH di Jakarta untuk meninjau dan mempelajari segala sesuatu mengenai LBH di Jakarta dengan maksud hendak mendirikan Lembaga Bantuan Hukum di daerahnya.
Selama periode ini, keberadaan bantuan hukum sangat terasa karena adanya tanggung jawab profesional para ahli hukum. Yang penting di sini adalah adanya keinginan untuk menyumbangkan keahlian profesional kepada rakyat miskin yang buta hukum. Pada masa ini kegiatan bantuan hukum lebih banyak diarahkan kepada penanganan perkara (pidana, perdata, subversi) dan sebagainya di pengadilan, dan juga di luar pengadilan (nasihat dan konsultasi).
Memasuki Tahun 1974-1976 mulai dirasakan adanya keterbatasan-keterbatasan, baik yang sifatnya intern maupun ekstern, misalnya keterbatasan tenaga, dana, dan organisasi, serta kesadaran hukum yang rendah di kalangan rakyat, termasuk para pejabat. Karena itu mulai dirasakan bahwa tidak akan mungkin efektif kegiatan bantuan hukum itu apabila tanpa mengajak pihak lain untuk berperan serta. Di sinilah muncul gagasan penerangan hukum, penataran hukum, dan diskusi hukum. Di sini pula bermulanya kegiatan tambahan bantuan hukum dari penanganan perkara menjadi penanganan perkara plus penerangan dan penataran hukum (non-litigasi).
Selama era Orde Baru, masalah bantuan hukum tumbuh dan berkembang dengan pesat. Misalnya saja, sejak tahun 1978, banyak bermunculan Lembaga Bantuan Hukum dengan menggunakan berbagai nama. Ada Lembaga Bantuan Hukum yang sifatnya independen, ada Lembaga Bantuan Hukum yang dibentuk oleh suatu organisasi politik atau suatu organisasi massa, ada pula yang dikaitkan dengan lembaga pendidikan, dan lain sebagainya.
Pada tahun 1979 terdapat tidak kurang dari 57 Lembaga Bantuan Hukum yang terlibat dalam program pelayanan hukum kepada masyarakat miskin dan buta hukum. Pada masa ini, terjadi perpecahan dalam tubuh PERADIN sehingga banyak bermunculan organisasi advokat yang baru, seperti misalnya:
·      Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN)
·      Asosiasi Advokat Indonesia (AAI)
·      Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI)
·      Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI)
·      Serikat Pengacara Indonesia (SPI)
·      Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI)
·      Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM)
·      Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).
Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat disebutkan dalam Pasal 32 Ayat (4) perintah untuk membentuk suatu organisasi advokat yang bersifat single bar association (wadah tunggal) dalam jangka waktu 2 tahun setelah berlakunya Undang-Undang tersebut. Berdasarkan perintah tersebut, dibentuklah Persatuan Advokat Indonesia (PERADI). PERADI inilah yang sampai saat ini bertindak sebagai wadah tunggal organisasi advokat Indonesia.

Revormasi
Selama era reformasi, banyak usaha yang telah dilakukan untuk membentuk suatu undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai bantuan hukum. Namun kebanyakan ketentuan tentang bantuan hukum diatur dalam suatu undang-undang yang tidak secara khusus mengatur mengenai bantuan hukum, seperti Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, KUHAP, dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Merealisasikan kegiatan bantuan hukum selama belum adanya undang-undang yang secara tegas mengatur mengenai bantuan hukum, dikeluarkanlah Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum, selanjutnya disebut SEMA, yang pada dasarnya melaksanakan amanat Pasal 56 dan 57 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan SEMA ini memerintahkan setiap Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, dan Pengadilan TUN di Indonesia untuk segera membentuk Pos Bantuan Hukum, selanjutnya disebut Posbakum, guna memberikan bantuan hukum kepada masyarakat yang tidak mampu secara ekonomis.
Guna melaksanakan amanat SEMA, sejak tahun 2011 telah dibentuk Pos-Pos Bantuan Hukum di banyak Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia. Pembentukan Posbakum tersebut dilakukan secara bertahap. Pada tahun 2011, misalnya, dibentuk 46 Posbakum di 46 Pengadilan Agama di seluruh Indonesia. Pada tahun 2012, jumlah Posbakum bertambah menjadi 69 di 69 Pengadilan Agama di seluruh Indonesia. Pada tahun 2013, jumlah Posbakum yang ada masih tetap sama dengan tahun sebelumnya.
Pada tahun 2014, direncanakan penambahan 5 Posbakum di 5 Pengadilan Agama di Indonesia, antara lain di Pengadilan Agama Stabat, Pengadilan Agama Cibinong, Pengadilan Agama Purwokerto,Pengadilan Agama Tulungagung, dan Pengadilan AgamaGirimenang, sehingga total Posbakum di Pengadilan Agama di seluruh Indonesia menjadi 74 Posbakum.
Usaha untuk membentuk suatu undang-undang khusus mengenai bantuan hukum membuahkan hasil dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Dengan lahirnya Undang-Undang tersebut, pemberian bantuan hukum di Indonesia mencapai suatu ketegasan melalui tatanan prosedural yang tegas dan pasti yang diatur dalam Undang-Undang tersebut sehingga lebih menjamin kepastian hukum bagi perlindungan hak-hak masyarakat miskin guna memperoleh keadilan dan persamaan di muka hukum.
2.2         Konsep Bantuan Hukum dan Perkembangannya
Dalam rangka meningkatkan kesadaran hukum  rakyat menjamin  penegakan hukum dan kepastian hukum. Serta pelayanan hukum, maka di lakukan upaya berupa gerakan agar masyarakat mengetahui  dan mengerti itu semua . di antaranya berupa pemberian bantuan hukum.
Dalam kaitannya dengan bantuan hukum tersebut. Secara umum dapatlah di katakan bahwa semua jenis bantuan hukum adalah bertujuan untuk mengadakan perubahan sikap, walaupun hal itu bukanlah merupakan tujuan akhir, akan tetapi masing-masing bantuan hukum tersebut mempunyai tujuan yang di arahkan pada macam-macam kategori sosial dalam masyarakat.
Bantuan hukum sebagai suatu wawasan tentu masih berkembang, secra konseptual apabila kita melihat pada tujuan dan orientasi, sifat, cara pendekatan dan ruang lingkup aktivitas program bantuan hukum, khususnya bagi golongan miskin dan buta di indonesia. Pada dasarnya dapat di kategorikan pada konsep pokok yaitu:
·      Konsep bantuan hukum tradisional adalah pelayanan hukum yang di berikan kepada masyarakat miskin secara individual. sifat dari bantuan hukum ini pasif dan pendekatannya sangat formal-legal dalam arti melihat semua permasalahan hukum kaum miskin semata- mata dari sudut hukum yang berlaku, sebagai konsekuensi dari sifat dan pendekatannya pada pelayanan hukum baik di luar maupun di luar pengadilan. Orientasi dan tujuan bantuan hukum ini adalah untuk menegakkan keadilan untuk si miskin menurut hukum yang  berlaku, kehendak mana di lakukan atas landasan semangat charity.
·      Konsep bantuan hukum tradisional yang individual npada dasarnya merupakan konsep lama yang sejalan dengan hukum yang ada di mana bantuan bantuan hukum pada setiap kasus yang menurut hukum beralasan untuk di bela, penekanannya dalam konsep  bantuan hukum ini lebih kepada bantuan hukum itu sendiri, hukum yang selalu di andaikan netral sama rasa sama rata. Hal ini menimbulkan peremasalahan dengan cukup seringnya hukum itu pada posisi yang netral justru menguntungkan mereka yang berkuasa dan yang berpunya[9].
Tuntutan perkembangan dan pemihakan kepada kaum miskin kaitannya dengan bantuan hukum, pada akhirnya menggiring suatu keadaan bahwa bantuan hukum yang tradisional itu tidaklah cukup. Menurut T. Mulya Lubis, beberapa hal yang melatarbelakangi hal itu adalah di karenakan[10]:
1.    Sifat bantuan hukum tradisional yang individual seperti pada pasal 259 HIR dan pasal 35, 36 dan 37 UU No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Di sini bantuan hukum kurang lebih sama dengan pelayanan kesehatan  individual yang tidak mempertimbangkan kondisi-kondisi sosial.
2.     Sitem hukum kita menunjang sistem bantuan hukum tradisional yang individual dan masih belum di mungkinkannya suatu bantuan hukum kolektif dan hukum acara kita dalam artian “class action” sebagaimana yang dikenal di Amerika.
3.    Bantuan hukum kita masih sangat urban dan karena itu masih di ragukan apakah bantuan hukum kita benar-benar berurusan dengan pinggiran.
4.    Sifat hukum kita adalah pasif, sifat hukum yang pasif ini sebatulnya lebih berperan  sebagai legitimasi status quo yang mempertahankan pola hubungan menindas antara pusat terhadap pinggiran.
5.    Karena bantuan hukum masih terlalu terikat dangan pendekatan-pendekatan hukum semata, kurang di perhatikan  pendekatan non hukum  yang justru dapat membantu  percepatan penyelesaian sengketa atau masalah konflik sosial.
6.    Bantuan hukum masih berjalan sendiri atau baru pada tahapan bekerjasama dengan sesama organisasi bantuan hukum. Pada hal karena dimensi sengketa dan konflik tidak semata bersifat hukum, seharusnya organisasi di luar LBH tidak saja memperkaya pemahahaman kita atas konflik “Pusat” & “Pinggiran” tetapi lebih dari itu akan mempercepat penyelesaian konflik.
7.    Bantuan hukum belum mengarah pada terciptanya gerak sosial.
Konsep bantuan hukum konstitusional adalah bantuan hukum untuk rakyat miskin yang di lakukan dalam rangka usaha dan tujuan lebih luas seperti:
·      Menyadarkan hak- hak masyarakat miskin sebagai subyek hukum.
·      Penegakan dan pengembangan nilai-nilai hak asasi manusia sebagai sendi utama bagi tegaknya negara hukum.
Sifat dari jenis bantuan hukum ini lebih aktif di mana bantuan hukum di berikan tidak saja secara individual akan tetapi juga kepada kelompok-kelompok masyarakat scara kolektif, cara pendekatan yang di lakukan adalah di samping formal legal juga melalui jalan politik dan negosiasi, oleh karena itu aktivitas seperti kampanye penghapusan ketentuan hukum yang di anggapn membatasi ruang gerak bagi partisipasi aktif rakyat miskin, kontrol terhadap birokrasi pemerintah, pendidikan hukum masyaarakat, menjadi bagian yang esensial dalam konsep bantuan hukum konstitusional.
Lingkup kegiatan bantuan hukum ini cukup luas, tidak terbatas pada pelayanan hukum di dalam maupun di luar pengadilan . orientasi dan tujuannya adalah usaha mewujudkan negara hukum yang berlandaskan pada prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Bantuan hukum untuk rakyat miskin di pandang sebagai subyek hukum yang memiliki hak yang sama dengan golongan masyarakat lain.
Sementara itu dalam kubu lembaga bantuan hukum dalam perkembangan konsep bantuan hukum mempopulerkan “konsep bantuan hukum struktural” yang ternyata kemudian mendapat tanggapan dan bahasan yang hangat baik dalam kalangan LBH sendiri maupun di luar LBH. Bahkan kinipun konsep mereka ini tetap aktual dan menjadi bahan renungan atau pemikiran untuk mengembangkan konsep bantuan hukum di indonesia. Tampak nya dari pihak LBH sendiri hingga kini masih dinamis untuk mengembangkannya lebih lanjut. Apabila kita kaji kiranya pemunculan  dan pengembangan konsep bantuan hukum struktural  ini berpijak pada kenyataan bahwa pemahaman terhadap keadaan yang senyatanya ada dan berkembang (dalam masyarakat maupun dunia hukum) membuat konsep bantuan hukum tradisional yang selama itu di terapkan tidak cukup mampu untuk di pakai sebagai dasar bekerja.
Berkaitan dengan pemunculan dan pengembangan konsep bantuan hukum struktural, Buyung nasution pernah menyatakan bahwa: “Bantuan hukum hakikatnya adalah sebuah program yang tidak hanya merupakan aksi kultural akan tetapi juga aksi struktural yang di arahkan pada perubahan tatanan masyarakat yang tidak adil menuju tatanan masyarakat yang lebih mampu memberikan nafas yang nyaman bagi golongan  mayoritas oleh karena itu, bantuan hukum bukanlah masalah yang sederhana, ia merupakan rangkaian tindakan guna pembebasan masyarakat dari belenggu struktur poleksos yang  sarat dengan penindasan.”
Konsep bantuan hukum struktural lahir sebagai konsekuensi  dari pemahaman terhadap hukum. Realitas hukum yang kini kita hadapi adalah produk dari proses- proses  sosial yang terjadi di atas pola hubungan tertentu di tengah infra struktur masyarakat yang ada. Bila demikian halnya, hukum itu sebenarnya  merupan supra struktur yang merupakan hasil interaksi di antara infra struktur  masyarakat, oleh karena itu, selama pola hubungan di antara infra struktur menunjukkan gejala yang timpang, maka hal yang demikian itu akan semakin mempersulit terwujudnya hukum yang adil.
Dalam nafas seperti itu, maka bantuan hukum struktural ini tidak akan dapat menghindarkan diri dari tujuan menata kembali masyarakat dari kepincangan struktural yang tajam dengan menciptakan pusat-pusat kekuatan (power resources) dan sekaligus berarti mengadakan redistribusi kekuasaan untuk melaksanakan partispasi dari bawah. Bahkan di katakan bahwa yang penting harus di ingat di sini adalah agar kepada rakyat  miskin mayoritas yang berada di pinggiran haris di kembalikan hak dasar mereka akan sumberdaya politik, ekonomi, teknologi, informasi, dan sebagainya agar mereka bisa menentukan masyarakat yang bagaimana merekankehendaki.
Dalam kerangka yang demikian maka dengan bantuan hukum struktural tampaknya di inginkan adanya perubahan struktural, perubahan pola hubungan sosial, artinya suatu perubahan ada hubungan yang menjadi dasar kehidupan sosial menuju pola pengembangan hukum yang  lebih sejajar. Hal ini merupakan prasyarat bagi pengembangan hukum yang memberikan keadilan bagi mayoritas kaum miskin di indonesia. Atau seperti yang di kosepkan  oleh GBHN terciptanya pemerataan dan kemerataan keadilan.
Berpijak pada pemikiran di atas , maka konsep bantuan hukum struktural dapat di cirikan sebagai berikut:
1.    Mengubah orientasi bantuan hukum dari kekotaan menjadi kedesaan.
2.    Membuat sifat bantuan hukum berubah menjadi aktif.
3.    Mendayagunakan lebih banyak pendekatan-pendekatan di luar hukum.
4.    Mengadakan kerja sama lebih banyak dengan lembaga-lembaga sosial lainnya.
5.    Menjadikan bantuan hukum sebagai gerakan yang melibatkanpartispasi rakyat banyak (facilitator).
6.     Mengutamakan kasus- kasus (penanganannya) yang sifatnya struktural.
7.    Mempercepat terciptanya hukum-hukum yang responsip (responsive law) yang menunjang perubahan struktural.
Dalam rangka pendekatan struktural tersebut maka dengan demikian kegiatan bantua hukum tidak semata-mata meberikan pelayanan hukum terhadap kasus-kasus yang ada, akan tetapi harus lebih mampu pula untuk memilih dan memilah serta memanfaatkan kasus-kasus yang mampu pula untuk memilih dan memilah seerta memanfaatkan kasus yang mampu mendorong terwujudnya kondisi bagi efektivitas pelaksanaan hak masyarakat miskin.
Di mana pendidikan (hukum) penyebatran gagasan kesemuanya di arahkan untuk menciptakn proses penyadaran masyarakat miskin akan hak-hak mereka linngkungan dan kondisi ekonomi dan politik mereka harus menjadi bagian dari program bentuan hukum struktural ini.
Namun demikian, sebagai sebuah konsep yan akan dioperasionalkan untuk meratakan jalan bagi usaha “mengubah pola hubungan  yang timpang antara pusat dan pinggiran” maka sebuah gerakan bantuan hukum semisal bantuan hukum strukturalpun tentu masih belum cukup, sebagaimana di sadari oleh pencetus konsep ini sejak awal dan oleh karenanya itu merupakan suatu langkahb awal dari serangkaian pekerjaan besar yang harus di lakukan scara simultan dalam segala bidang dan yanf memerlukan pendekatan yang lebih menyeluruh.

BAB III
PENUTUP
1.1  Kesimpulan

1.      Lika liku sejarah bantuan hukum di Indonesia mengalami pasang surut selaras dengan berjalannya waktu. Merupakan salah satu negara yang pernah dijajah, Indonesia menganut asas kongkordasi yang mana mengadopsi hukum-hukum bekas negara penjajah. Bantuan hukum awalnya masih tidak dapat dilihat kebermanfatannya apalagi eksistensinya di awal-awal kemerdekaan, begitu pula dimasa orde lama, angin segar baru terasa dimasa orde baru hingga mengalami perkembangan-perkembangan dimasa revormasi.
2.      Bantuan hukum sebagai suatu wawasan tentu masih berkembang, secra konseptual apabila kita melihat pada tujuan dan orientasi, sifat, cara pendekatan dan ruang lingkup aktivitas program bantuan hukum, khususnya bagi golongan miskin dan buta di indonesia. Sifat dari jenis bantuan hukum ini lebih aktif di mana bantuan hukum di berikan tidak saja secara individual akan tetapi juga kepada kelompok-kelompok masyarakat scara kolektif, cara pendekatan yang di lakukan adalah di samping formal legal juga melalui jalan politik dan negosiasi, oleh karena itu aktivitas seperti kampanye penghapusan ketentuan hukum yang di anggapn membatasi ruang gerak bagi partisipasi aktif rakyat miskin, kontrol terhadap birokrasi pemerintah, pendidikan hukum masyaarakat, menjadi bagian yang esensial dalam konsep bantuan hukum konstitusional.


DAFTAR PUSTAKA

Ade Irawan Taufik. 2013. Sinergisitas Peran dan Tanggung Jawab Advokat dan Negara dalam Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma. Vol. 2, No. 1.
Febri Handayani. 2016. Bantuan Hukum di Indonesia. Yogyakarta: Kalimedi
http://digilib.unila.ac.id/3561/12/BAB%20II.pdf diakses pada tanggal 06 Oktober 2018.
abdurahman wahid dalam bukunya Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia yag mengutip dari pendapat Adnan Buyung Nasution menjelaskan tentang perkembangan bantuan hukum yang ada di Indonesia.
Dalam hal ini Adnan Buyung Nasution, sebagaimana dikutip oleh Bambang Sunggono dan Aries Harianto dalam buku Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia menuliskan terkait keadaan bantuan hukum pada periode orde baru yang merupakan mas dimana bantuan hukum mulai berkiprah.
Lihat schyut dalam T. Mulya Lubis. Bantuan Hukum dan Kamiskinan Struktural.
T Mulya Lubis, “ Bantuan Hukum Struktural:  Redistribusi kekuasaan dan partisipasi Dari Bawah”. Prisma No.5 Mei 198.





[1] Ade Irawan Taufik, Sinergisitas Peran dan Tanggung Jawab Advokat dan Negara dalam Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma, Vol. 2, No. 1, 2013, hal 59
[2] Febri Handayani, Bantuan Hukum di Indonesia, Kalimedi, Yogyakarta, 2016, hal. 41-43
[3] Febri Handayani, Bantuan Hukum di IndonesiaI........... hal. 43-44
[4] http://digilib.unila.ac.id/3561/12/BAB%20II.pdf diakses pada tanggal 06 Oktober 2018
[5] abdurahman wahid dalam bukunya Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia yag mengutip dari pendapat Adnan Buyung Nasution menjelaskan tentang perkembangan bantuan hukum yang ada di Indonesia.
[6] Dalam hal ini Adnan Buyung Nasution, sebagaimana dikutip oleh Bambang Sunggono dan Aries Harianto dalam buku Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia menuliskan terkait keadaan bantuan hukum pada periode orde baru yang merupakan mas dimana bantuan hukum mulai berkiprah.
[7] Febri Handayani, Bantuan Hukum di IndonesiaI........... hal. 46-48
[8] Febri Handayani, Bantuan Hukum di IndonesiaI........... hal. 49
[9] Lihat schyut dalam T. Mulya Lubis, Bantuan Hukum dan Kamiskinan Struktural, op.cit.,84
[10] T Mulya Lubis, “ Bantuan Hukum Struktural :  Redistribusi kekuasaan dan partisipasi Dari Bawah”. Prisma No.5 Mei 1981

Komentar

Postingan populer dari blog ini

makalah tarikh tasyri' (Fenomena Tasyri’ Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in)

Makalah Hukum Tata Usaha Negara

makalah bahasa arab