Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013
OLEH:
MAULIDA MAULAYA HUBBAH
PRODI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS HUKUM ISLAM
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr. wb.
Puji syukur kehadirat Allah Ilahi Rabbi yang
karena kehendaknya penulis dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Hukum Tata
Negara yang dibebankan kepadanya meski dirasa masih belum sempurna.
Sholat serta salam tak luput
dipanjatkan kepada sang revolusioner Nabi Muhammad Saw. Yang telah memberikan
syafaatnya dan penulis terus mengikuti jejak mencari ilmu sebagaimana beliau
mengajarkan.
Kemudian kami sampaikan Terima
kasih yang begitu sangat kepada Ibu Erfina FuadatuL Khilmi, S.H., M.H. sebagai dosen pembimbing
mata kuliah Hukum Tata Negara Fakultas Syariah Institut
Agama Islam Negeri Jember yang telah membimbing dan mengajari penulis hingga
saat ini.
Demikian pengantar yang dapat kami sampaikan. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat, Akhir kata,
kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.
Wassalamu’alaikum
wr.wb…....
16 - Oktober - 2017
Penulis,
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1
Pertimbangan
Mahkamah Konstitusi
2.2
Putusan Mahkamah Konstitusi
2.3
Implikasi hukum dalam pembatalan
beberapa pasal
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam konsep
negara
hukum, keberadaan
norma-norma hukum yang
mengatur tatanan kehidupan
masyarakatguna mencapai suatu ketertiban, merupakan
karakter umum dari Negara
yang diselenggarakan oleh
hukum.[1] Kehidupan dalam masyarakatyang sedikit
banyak
berjalan dengan tertib dan teratur
ini didukung oleh adanya suatu tantanan. Karenaadanya tatanan
inilah kehidupan
menjadi tertib. Pandangan
ini menjelaskan fungsi utama hukum untuk menciptakan
keadilan
akibat adanya
ketertiban, yang
diorganisasikan oleh lembaga-lembaga
formil dan
informil,
yang
masing-masing merujuk
kepada
hukum
tertulis
dan tidak tidak tertulis.[2]
Negara hukum adalah konsep
yang selalu saja mengalami
simplikasi makna menjadi dalam negara berlaku hukum. Padahal filosofi negara hukum
meliputi
pengertian, ketika negara melaksanakan kekuasaannya, maka negara tunduk terhadap pengawasan hukum. Artinya, ketika
hukum eksis terhadap negara, maka
kekuasaan menjadi terkendali dan selanjutnya menjadi negara yang diselenggarakan berdasarkan
ketentuan hukum tertulis atau
tidak
tertulis. Akan tetapi, jika pengawasan hukum atas
kekuasaan negara
tidak memadai, pengertian substantif negara
hukum akan terperosok ke
dalam kubangan lumpur negara yang
kuasa. Jika kondisi demikian berlangsung terus,
maka negara itu lebih tepat disebut
sebagai
negara yang
nihil hukum. Dalam negara seperti ini bila dipandang secara
kasat mata
memang terdapat seperangkat aturan hukum. Tetapi
hukum itu tidak lebih dari
sekedar
perisai kekuasaan yang membuaat kekuasaan steril
dari hukum dan
melahirkan
negara
yang semata-mata
dikendalikan oleh kekuasaan.[3] Untuk memahami perkembangan konsep negara hukum, secara empiris dapat dikatakan
sebagai objek kajian
yang tidak bisa
terpisah dari perkembangan fungsi yudisial
dalam melaksanakan pengujian hukum secara formil dan
konsep negara
hukum yang awalnya bersifat transedental menjadi lebih nyata atau
konkret
dirasakan oleh masyarakat luas. Karena
melalui sistem
pengujian seperti ini diperkirakan hak-hak konstitusional masyarakat yang dilanggar
oleh produk hukum dapat dikembalikan pada
hakikatnya semula. utuk itu Negara membutuhkan lembaga independen yang bertugas untuk menguj
hukum yang ada di masyarakat.[4]
Lembaran awal sejarah awal praktek
pengujian Undang-undang (yudicial Review) bermula pada Negara AmerikaSerikat saat dipimpin John Marshall dalam
kasus Marburylawan Madison
tahun 1803. Kendati saat itu konstitusi Amerika Serikat tidak mengatur pemberiaan kewenangan untuk
melakukan judicial
review
kepa Mahakamah Agung, tetapi menfsirkan yang mengharuskan untuk senentiasa menegakkan suatu undang-undang
bertentangan
dengan konstitusi.[5] Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, mahkamah Knstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus senketa kewenangan lembaga
Negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang Dasar, membubarkan
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5)
dan
Pasal 24C ayat (2)
UUD
1945 yang ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan keputusan
atas pendapat
Dewan Perwakilan
Rakyat
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum, atau
perbuatan tercela,
atau
tidak
memenuhisyarat
sebagai Presidan dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD1945.
Berdasarkan pasal 24 c ayat
(1) Undang-Undang Dasar 1945 Mahkamah
konstitusi diberikan kewenangan kewenangan untuk menguji Undang-Undangterhadap UUD 1945, artinya dalam hal ini
Mahkamah Konstitusi merupakan batu uji
bagi undang-undan
dibawah di bawah UUD1945 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentanbg pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, menyatakan bahwa secara hirarkis kedudukan UUD 1945
adalah lebih tinggi dari undang-undang olehkarna
itu
setiap ketentuan undang-undang tidak boleh
bertentangan dengan UUD 1945
dalam hal suatu
undang-undang diduga bertentangan dengan UUD 1945,
pengujiaannya lewat Mahkamah konstitusi.
Pemilu
presiden dan wakil presiden dengan pemilu Legislatif dilaksanakan secara terpisah,
hal ini juga banyak medapat sorotan
dari berbagai kalangan masyarakat, karena
pemilu terpisah tersebut dinilai tidak efisien.
Selain biayanya sangat besar.pelaksanaan pemilu tidak serentak
telahmenimbulkan kerugiaan hak konstitusonal warga negara sebagai pemilih. Apabila pemilu serentak diterapkan maka akan dapat
menghemat uang negara
sebesar 120
triliun.
Atas dasar itu pakar komunikasi
politik, Effendi Gzhali mempersoalkan sejumlah
pasal dalam
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden
ke Mahkamah Konstitusi. Effendi memohon pengujian konstitusionalitas
Pasal 3
ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan ayat(2), Pasal14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang nomor 42 tahun 2008 tentang pemilihan
presiden dan wakil presiden (lembaran Negara tahun 2008 nomor 176, tambahan
lembaran Negara nomor 2924. (yang selanjutnya disebut UU 42/2008).
Dalam amar putusan,
majelis hakim
konstitusi menyatakan bahwa putusan tersebut hanya
berlaku untuk Pemilu
2019dan seterusnya. Permohonan yang
tidak
dikabulkan adalah uji materi atas
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008Tentang Pemilihan yang
mengatur tentang besaran batas minimal perolehan suara
partai
politik untuk dapat mengusung pasangan
presiden dan wakil presiden (presidential treshold) Mahkamah Konstitusi menyatakan pula bahwa putusan tidak
dapat digunakan untuk
Pemilu 2014 agar tidak muncul ketidakpastian hukum.
Dalam pertimbangan
putusan, Mahkamah Konstitusi menilai tahapan Pemilu 2014. sudah memasuki tahap akhir.
Seperti lazimnya putusan berlaku seketika
setelah dibacakan,
majelis menilai yang
terjadi adalah terganggunya Pemilu 2014. Meskipun
lima dari enam uji materilvdikabulkan, di luar isu presidential treshold,
majelis berpendapat pelaksanaan
Pemilu 2009
dan Pemilu 2014 dengan segala akibat
hukumnya, harus tetap
dinyatakan sah
dan
konstitusional putusan ditandatangani oleh delapan hakim konstitusi, dengan dissenting opinion atau berbeda pendapat Yang
disampaikan Maria Farida Indrati[6]
Dari dinamika putusan Mahkamah konstitusi diluar kebiasaan ini
mengundang berbagai pendapat para ahli hukum
tata negara salah satunya ialah YusrilIhza Mahendra ia berpendapat putusan Mahkamah Konstitusi
soal Pemilihan
Umum serentak menyebabkan kevakuman
hukum dalam pelaksanaan
pemilu. Hal
ini
karenapengujian pemohonan yang diajukan oleh Effendi Ghazali
dan kawan-kawan tidakmeminta secara langsung maksud
Pasal 6A Ayat (2) dan Pasal 22 E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Selain itu juga Yusril mengatakan putusan yang di hasilkan oleh Mahkamah Konstitusi di dalam melakukan pengujian
undang- undang itu merupakan putusan yang blunder dan menggantung.
Pelaksanaan dan hasil
2014 potensial ditafsirkan inkonstitusional dan terlegitimasi. Hal ini dikarenakan putusan Mahkamah
Konstitusi memiliki kekuatan
hukum
yang mengikat
seketika setelah putusan di bacakan dalam
persidangan yang terbuka untuk
umum.
Secara prinsip,
dalam memutus perkara pengujian Undang-undang, mahakamah konsitusi hanya dapat
berperan negatif legislator artinya, Mahkamah Konsitusi hanya menyatakan pasal, ayat, bagian atau seluruh
norma undang-undang bertentangan
denganUndang-Undang Dasar 1945, dan dinyatakan
dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat.
Hal
ini
sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 56 dan
Pasal 54
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 Tentang
Mahkamah Konstitusi.
Namun dalam perkembangan Mahkamah
Konstitusi membuat beberapa putusan yang
tidak sekedar membatalkan norma,
melainkan
juga membuat
putusan yang
bersifat mengatur (positive legislature).
Dalam perpektif yuridis normatif,
tindakan aktivisme yudisial yang mengarah pada kedudukan positive legislature, tersebut tidak sesuai
dengan pasal di atas
dan terkesan melampaui
batas. Sekalipun demikian, apabila ditelaah, beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat positif legislator
justru menunjukkan dan menjadi bukti
penegakan hukum yang
progresif. Meskipun, putusan
tersebut demikian menimbulkan problematika dan dinamika dalam implementasinya.
Dalam penegakan
hukum yang
progresif, hukum tidak hanya
dilihat dari kacamata teks
undang-undang saja,
melainkan menghidupkan kemaslahatan dalam kontekstual.
Pada konteks dinamika
permasalahan
putusan yang
dihasilkan oleh Mahkamah Konstitusi yang
berkaitan dengan hasil putusan yang
bersifat
Possitive
Legislaturedan status pemilu 2014 ini. menarik rasa ingin tahu penulis untuk lebih mendalami meneliti permasalahan dengan
tema:
“Analisis Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2008 Tentang Pemilihan
Umum Presiden Dan
Wakil Presiden
Terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.”
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan
hal-hal yang diuraikan di atas maka permasalahan yang dirumuskan dalam
permasalahan ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah
pertimbangan hakim dalam melakukan prmbatalan pasal 3 Ayat (5), Pasal12 Ayat (1) dan (2), Pasal14 Ayat (2), serta Pasal 112 Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil
Presiden
?
2. Apakah Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 14/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor
42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum
Presiden
Dan Wakil Presiden
telah sesuai berdasarkan Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 24 tahun 2003
tentang mahkamah?
3. Apa implikasi
hukum dalam pembatalanatas
Pasal 3 Ayat (5),
Pasal
12 Ayat (1)dan
(2), Pasal 14 Ayat
(2), serta Pasal112 Undang-Undang Nomor
42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden
dan Wakil Presiden?
1.3 Tujuan
1. Untuk
mengetahui pertimbangan Hakim
mahkamah konstitusi didalam melakukan pembatalan terhadap Pasal 3Ayat (5), Pasal 12 Ayat (1) dan (2), Pasal14 Ayat (2), serta Pasal 112 Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil
Presiden.
2. Untuk mengetahui Apakahputusan
mahkamah konstitusi nomor 14/PUU- XI/2013
Tentang Pengujian
Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden telah sesuai berdasarkan Hukum
Acara mahkamah konstitusi dan Undang-Undang nomer 8 tahun 2011 tentang
perubahan atas Undang-Undang nomer 24 tahun 2003 tentang mahkamah konstitusi.
3. Untuk
mengetahui implikasi
hukum dalam pembatalanatas
Pasal 3 Ayat (5),
Pasal
12 Ayat (1)dan
(2), Pasal 14 Ayat
(2), serta Pasal112 Undang-Undang Nomor
42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden
dan Wakil Presiden.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pertimbangan
Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pembatalan Terhadap Beberapa Pasal di dalam
Undang-Undang nomor 42 tahun 2008 tentang pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden.
1. Kaitan Antara Sistem Pemilihan dan
2. Sistem Pemerintahan Presidensial.
Original Intent
Dari Pembentuk UUD
3. 1945.
4. Efektivitas
dan Efisiensi
Penyelenggara Pemilihan Umum Serta
Hak
Warga Negara Untuk Memilih
Secara Cerdas.
2.2. Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 14/
PUU-XI/2013 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Berdasarkan Hukum Acara Mahkamah
konstitusi dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011 tentang atas perubahan Undang-Undang
Nomer 24 tahun 2003.
Dalam
putusan Mahakamah Konstitusi nomor 14/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian Undang-Undang
Nomer 42 tahun 2008 tentang pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden ini,mahkamah menyatakan dan mengabulkan
Pemilihan Umum secara serentak akan tetapi pelaksanaannya baru dilaksanakan pada tahun
2019.
Dalam putusan ini Mahkamah Konstitusi jelas keluar
dari logika pemikiran hukum positif
bagaimana mungkin mahkamah Konstitusi
mengeluarkan putusan yangbersifat positive legislature sedangkan konstitusi dan Undang-Undang mengamanatkan
Mahkamah Konstitusi yang bersifat negative legislature. Hal initelah menyalahi Pasal 10 ayat (1) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang
Nomor
24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi “ putusan Mahkamah Konstitusi
bersifat Final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan
hukum tetap sejakdiucapkan dan tidak
ada upaya
hukum yang
dapat
ditempuh.
Sifat final
dalam putusan Mahkamah Konstitusi
Undang-Undang ini mencakup
pula kekuatan hukum mengikat (final
and binding)”. Yang di maksud dengan putusan yang
bersifat final
yaitu segala perbuatan hakim yang diucapakan dalam
sidang terbuka untuk umum dan
dibuat
putusan yang bersifat
final yaitu
segalaperbuatan hakim yang diucapakan dalam sidang terbuka untuk
umum
dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri
sebuah sengketa dan apabila sebuah putusan kurang bisa dimengerti atau banyak
menimbulakan tanda tanya maka kita harus kembai melihat ke dalam pertimbangan
hukumnya dan amar putusan sebuah putusan dan di dalam sebuah putusan yang
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat adalah amar putusannya, jadi dalam
putusan ini yang menjadi tolak ukur kita dalam menafsirkan putusan hakim
mahkama yang bersifat final itu poin-poin yang terkandng di dalam amar
putusannya, apa saja yang terkandung di dalam amar putusannya, maka itulah yang
menjadi hukum yang mengikat seketika tanpa adanya sebuah upaya hukum.
Dalam pertimbangannya mahkamah berpendapat
bahwa tahapan pemilu 2014
telah berjalan dan karna batas waktu yang telah mencapai tahap akhir
sehingga mahkamah
memutuskan perberlakuan putusan pemilu serentak
tersebut diberlakukan tahun 2019. Dalam hal
ini
penulis
kurang setuju dengan
alasan hakim konstitusi, karena akan lebih baiknya mahkamah bertanya kepada KPU
selaku institusi yang berwenang dalam penyelenggaraan pemilu, apakah pemilu
serentak tersebut bisa dilaksanakan pada tahun 2014 ini atau tidak, akan tetapi
fakta di persidangan menunjukkan bahwa MK tidak pernah meminta pendapat dari
KPU.
Terlepas dari semua hal di atas putusan
MK yang bersifat mengatur dalam pengujian UU Nomer 42 tahun 2008 tentang
pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dalam perspektif hukum responsif,
menunjukkan bahwa para hakim Konstitusi telah menunjukkan sikap yang mampu
mengadopsi paradigma baru dan meninggalkan paradigma lama. Dari paradigma
positivesme yang berorientasi pada formalistic-legalistik menuju paradigma post
positivism dengan nuansa hukum progresifnya. Hukum tidak lagi dilihat
sebagai entitas yang berdiri sendiri melainkan dia haris mampu berinteraksi
dengan entitas lain dengan tujuan pokok, untuk mengadopsi kepentingan-
kepentingan yang ada di masyarakat. Hukum tidak hanya dilihat dari kacamata
teks UU belaka, melainkan menghidupkannya dalam kontekstualitasnya. Sikap hakim
konstitusi dalam putusan mengatur di atas menunjukkan bahwa tidak selalu
mendasarkan pada pertimbangan yuridis dan otonom teks undang-undang, melainkan
mencoba melihat sebuah persoalan dari berbagai perspektif dalam rangka untuk
mewujudkan apa yang disebut keadilan substantive.
Kita lihat dari hukum acara MK, menurut
Sekretaris Jenderal Mahkama Konstitusi Janedjri M. Gaffar mengatakan Makamah
tidak dalam tekanan pihak manapun dala mmemutuskan uji materi UU Pemilihan
Presiden. Janedjri mengklaim proses pembacaan putusan pun sudah sesuai
prosedur. “Kalau ada yang bilasng kami ditekan atau diintervensi itu tidak
benar” kata Janedjri, di kantornya, Selasa, 28 Januari 2014. “Karena bole
dibuktikan kami sudah melakukan sesuai dengan prosedur.” Janed merinci alur
berkas perkara pengajuan UU Pilpres itu sampai diputuskan pada 23 Januari,
kemarin. Menurut dia, terdapat 7x lagi rapat permusyawaratan hakim (RPH)
setelah keputusan diambil pada 26 Maret tahun lalu, semua tahapan yang dilalui
telah sesuai dengan hukum acara Mahkamah Konstitusi.
2.3. Implikasi
hukum dalam pembatalan beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomer 42 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden
a.
Melihat dari aspek pemberlakuan putusannya, menurut pakar hukum tata negara,
Dr. Margarito Kamis dari Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate. Keputusan
MK mengabulkan pengujian UU No. 42 Tahun 2008 tentang pilpress menjadi polemik
tersendiri. Kendati telah diputuskan pelaksanaan pemilihan legislatif dan
pemilihan presiden dihelat serentak, namun dalam implementasinya kekeputusan
pelaksanaan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden dihelat serentak, namun
dalam implementasinya keputusan tersebut baru berlaku pada pemilu 2019. Putusan
MK No. 14/PUU-XI/2013, menyatakan mengabulkan permohonan pemohonan untuk sebagian, Pasal 3 ayat (5), Pasal 12
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2)
dan Pasal 112 Undang-Undang
Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden bertentangan dengan UUD
1945. Pasal-pasal yang dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945 tidak menimbulkan akibat hukum yang
fundamental, kecuali Pasal 122 UU No. 42 Tahun 2008, karena dalam amar
putusannya secara tegas menyatakan pasal ini
bertentangan dengan konstitusi.
Akibat hukum yang paling fundamental,
yang ditimbulkan dari pernyataan MK dalam amar putusannya bahwa pasal 112
bertentangan presiden harus dilaksanakan secara bersamaan. Menyadari akibat
hukum yang fundamental itu, maka MK menyiasatinya dengan menyatakan, amar
putusan tersebut diatas berlaku untuk penyelenggaraan pemilihan umum tahun
2019 dan pemilihan
umum seterusnya
Secara konstitusional
atau dalam tataran teoritik, siasat
Mahkamah Konstitusi tersebut menimbulkan masalah karena dalam
pasal
47
UU Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi berisi
ketentuan sebagai
berikut: Putusan
MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno
terbuka untuk umum. Maka ketentuan hukumnya
pasal 112 UU
No. 42 Tahun 2008 tentang pemilihan presiden
dan
wakil presiden, yang dinyatakan
Mahkamah
Konstitusi bertentangan dengan UUD 1945, berlaku positif sejak putusan Mahkamah Konstitusi dibacakan.
Karena putusan tersebut di bacakan
tanggal 23 Januari
2014 maka keputusan tersebut berlaku
sejak tanggal tersebut, sehingga
pasal 112
tidak lagi
mempunyai kekuatan
hukum mengikat. Pasal-pasal yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 45
dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Kehilangan sifat positifnya sebagai hukum, sehingga tidak bisa digunakan
sebagai dasar untuk melakukan tindakan hukum yang sah.
Sehingga seharusnya Komisi Pemilihan Umum tidak bisa lagi
menggunakan pasal
112 UU Pilpres sebagai dasar positifnya sebagai hukum, sehingga tidak
bisa digunakan sebagai dasar untuk
melakukan tindakan hukum yang sah.
Sehingga seharusnya Komisi Pemilihan Umum tidak bisa lagi
menggunakan pasal
112 untuk pilpres sebagai dasar penyelenggaraan pemilu. Presiden dan Wakil
Presiden pada tahun 2014 ini, pendapat senada juga disampaikan Yusril Ihza
Mahendra, bahwa setiap putusan MK yang sudah diketok dan dibacakan secara
otomatis berlaku sejak diucapkan oleh majlis hakim.[7]
Namun dalam konteks putusan
pengujian Undang-Undang pilpres, MK memrintahkan agara pemilu serentak (yang
berarti sesuai konstitusi) dilaksanakan pada tahun 2019. Karena landasan untuk
penyelenggaraan pemilu 14 inkonstitusional, maka hasil dari pemilu 2014 mendatang
juga
inskonstitusional. Konsekuensinya DPR, DPD, DPRD dan Presiden serta Wakil
Presiden terpilih dalam pemilihan legislatif dan pemilihan presiden 2014 juga inkonstitusional.
Secara teoritik terdapat dua akibt hukum lanjutannya yang bisa didentifikasi,
pertama, akibat hukum prapemilu presiden dan wapres, adalah gugatan terhadap
keputusan-keputusan KPU meliputi; penetapan tahapan pilpres, penetapan pasangan
calon, dan pengadaan
barang dan jasa.
Kedua, akibat hukum pasca Pilpres
adalah gugtan terhadap keabsahan Presiden dan
Wakil
Presiden
terpilih. Semua gugatan akan dialamatkan ke Pengadailan
Tata Usaha Negara di
Jakarta, karena
locusnya ada di Jakarta. Sebagai solusinya secara hukum
bisa dilakukan
dengan Presiden menerbitkan Perppu
mencabut Pasal
9
UU
No
42
Tahun 2008, dimana pasal tersebut berisi ketentuan pasangan calon
presiden dan pasangan calon wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu
yang memenuhi
persyaratan perolehan pemilihan suara paling sedikit 20 % dari jumlah kursi
di DPR atau memperoleh 25 % dari
suara sah nasional, apabila pasla 9 ini dihapus atau
dicabut, maka pemisahan pemilihan presiden dan pemilihan presiden tersebut sah
karena sudah sesuai dengan norma dan pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Sedangkan secara politik
perlu diciptakan suasana demam politik,
Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden pada tahun 2014 dengan dukungan dari semua pihak. Pemilihan umum presiden dan
wakil presiden tahun 2014 ini perlu melibatkan Ormas yang punya pengaruh
besar,
seperti PP Muhammadiyah, PB
Nahdlatul Ulama, Persatuan Gereja Indonesia, dan lain sebagainya, Pemerintah perlu mendorong pihak-pihak
terkait terutama para pemuka opini untuk turut berpartisipasi
agar Pemilu tetap berjaln dengan lancar dan aman. Implikasi atas keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut, harus diminimaliser agar tidak ada peluang bagi pihak-pihak
yag kalah dalam pemilihan legisatif maupun pemilihan presidn untuk menggugat
hasil pemilihan karena pelksanaan pemilu tahun 2014 masih dianggap ilegal[8]
b. Berdampak
kepada ketentuan
peraturan
perundang-undangan mengenai tata cara pelaksanaan dan sistem pemilu, baik/.
Pilpres maupun pemilu Anggota Lembaga Perwakilan, telah dibuat dan diiplmentasikan demikan
rupa. Demikan juga persiapan-persiapan tekhnis yang dilakuakan oleh
penyelenggara termasuk persiapan peserta
pemilihanumum dan seluruh
masyarakat Indonesia telah
sampai pada tahap akhir
c. Dihapusnya ketentuan pasal-pasal
dalam
Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yaitu
Pasal (3)
Ayat (5), Pasal 12 Ayat (1) dan (2),
Pasal 14 Ayat
(2), serta Pasal 112 yang betentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2), Pasal4 ayat (1), Pasal 6A ayat (1) dan ayat (2),Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D
ayat (1), Pasal 28D ayat
(3), Pasal
28H ayat (1), dan Pasal
33 ayat (4) UUD 1945.
d.
Dengan
diputuskannya Pasal 3
ayat (5)
Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2008 dan ketentuan yang lain yang berkaitan dengan
tata cara dan persyaratan pelaksanaan pilpres maka diperlukan aturan
baru sebagai dasar hukum untuk melaksanakan pilpres dan pemilu Anggota
Lembaga Perwakilan secara serentak. Berdasarkan Pasal 22E ayat (6)
UUD 1945, ketentuan lebih lanjut tentang
pemilihan umum haruslah diatur
dengan
Undang-Undang yang baru, karena Undang-Undang yang telah dianggap bertentangan dengan UUD
1945
hanya bisa digantikan dengan undang-undang juga yaitu
undang-undang yang baru.
e. Biaya/Aggaran pemilu, Selama ini, honor
penyelenggara pemilu merupakan komponen terbesar biaya pemilu, memakan hingga
65 persen dana pemilu.Besarnya
honor ini terkait jumlah tempat
pemungutan suara (TPS) di Indonesia sangat banyak, mencapai 500 ribu.
Setiap
TPS ini ditunggui tujuh orang petugas Kelompok Penyelenggara
Pemungutan
Suara
(KPPS). Dengan demikian, total
jumlah anggota KPPS ini sekitar
3,5 juta orang. Jika honor setiap anggota
KPPS dirata-ratakan Rp 300 ribu per orang,
maka biaya yang
dibutuhkan untuk satu
pemilihan,
katakan
presiden,
adalah
1triliun. Ini belum termasuk honor PanitiaPemungutan Suara (PPS) yang berjumlah
3 orang setiap kelurahan/desa. Ada
77. 465 desa atau kelurahan di Indonesia. Belum lagi honor Anggota panitiaPemilihan Kecamatan (PPK), 5 orang perkecamatan di 6.694
kecamatan; honor anggota Panitia
Pengawas Lapangan
(PPL),
yang jumlahnya 1-5 orang per desa; honor
Panwaslu Kecamatan, yang jumlahnya tiga orang per kecamatan, dan
biaya-biaya honor lainnya untuk keseskretariatan dan sebagainya, sesuai dengan
pernyataan Komisioner Divisi Humas KPU, Dr. Ferry Kurnia Riskiansyah,
S.I.P.,M.Si. bahwa pemilu serentak akan mengefisiensi setidaknya tujuh hal;
pemutahiran data pemilih, sosialisasi, perlengkapan TPS, distribusi logistik, perjalanan dinas,
honorarium, dan uang
lembur. Total biaya yang bisa dihemat mencapai
5-10 Triliun Rupiah.
Pemilu Serentak Kepala
Daerah juga akan mengurangi militansi pada hanya satu calon kepala daerah,
pengurangan
biaya kampanye karena dapat dilakukan
bersama-sama, serta amat berkurangnya
para donatur atau; cukong ; yang bermaksud menanam modal terlebih dahulu dan
selanjutnya akan mendapatkan aneka proyek dengan cara-cara yang koruptif, hal ini sejalan dengan
pasal 33 ayat (4) UUD 45. perekonomian nasional diselenggarakan
berdasarkan atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
f. sistem pemilu yang sederhana
memberikan ruang yamg luas untuk masyarakat dalam berpartisipasi pemilu
berikutnya, warga Negara Indonesia memiliki aktifitas dan kesibukan yang
berbeda-beda, sehingga dengan pemilu yang terpisah antara legislatif dan
presiden, terdapat
selisih
yang cukup
tinggi
antara
warga Negara yang menggunakan hak pilih dalam Pemilu Legislatif dengan Pemilu
Presiden. Selain itu, terdapat sejumlah besar warga Negara yang tidak menggunakan hak
pilihnya karena keterbatasan waktu dan kesibukan dari
masing-masing
warga Negara. Dengan pemilu serentak, hak konstitusional warga negaran untuk
berpartisipasi dalam pemerintahan, yakni pemilu akan lebih terjamin setiap
orang akan mendapatkan kesempatan yang sama.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari
paparan penulis secara singkat diatas, kiranya penulis menyimpulkan sebagai
jawaban dari rumusan masalah yang termaktub diatas :
1. Adapun
pertimbangan mahkamah konstitusi pembatalan terhadap Pasal 3 ayat (5),
Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2), serta
Pasal 112 Undang-
Undang Nomor 42
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden yaitu adalah kaitan antara system pemilihan umum
dan sistem pemerintahan presidensial, original intent dari pembentuk UUD
1945, serta efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilihan
umum, serta hak warga negara untuk
memilih
secara cerdas.
2. Putusan
mahkamah konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 telah sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 8Tahun
2011
tentang perubahan
atasUndang-Undang
Nomor 24
Tahun2003 tentang Mahkamah
Konstitusi dan hukum acara mahkamah konstitusi,
meskipun dalam sifat putusannya mahkamahn konstitusi mengeluarkan putusan yang
bersifat positife legislature
akan ttapi, Mahkamah Konstitusi
telah berhasilmenerapkan
hukum progresif yang mencoba
melihat sebuah persoalan
dari berbagai perspektif dalam
rangka untuk
mewujudkan sebuah keadilan
substantif.
3.
Dari
pembatalan bebrapa pasal dalam Undang-Undang nomer 2 tahun 2008 tentang
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
terjadi implikasi hukum terhadap perubahan dalam
sistem Pemilu itu sendiri
serta
berakibat
pula terhadap penghapusan Pasal 3 ayat (5), pasal 12 ayat (1) dan
ayat (2), pasal 14 ayat (2) dan pasal112 Undang-Undang Nomor 42 tahun
2008 dan diikuti pula dengan harus
adanya
sebuah undang-undang yang
baru untuk penyelenggaraan
Pemilu itu sendiri,
berkurangnya dana pemilu dan
memberikan ruang yang
lebih
luas kepda masyarakat untuk berpartisipasi didalam pemilu itu sendiri serta melindungi hak
masyarakat.
3.2 Saran
1. Diharapkan
pemerintah untuk diharapkan pemrintah untuk menindak lanjuti putusan mahkamah
konstitusi nomer 14/PUU-XI/2013 dengan merevisi Undang-Undang nomer 42 tshun
2008 tentang pemilu presiden dan wapres dengan memasukkan substansi putusan MK
didalamnya.
2. Diharapkan
kepda KPU untuk membuat peraturan KPU yang sejalan dengan maklumat putusan MK
nomer 14/PUU-XI/2013.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Amos, Abraham. 2007. Katastropi Hukum
dan Quo Vadis Sistem Politik Peradilan Indonesia. Jakarta:
PT. Raja
Grafindo Persada.
2. Ashofa, Burhan. 1996.
Metode Penelitian
Hukum. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
3. Putusan
mahkamah konstitusin nomer 14/PUU-XI/2013
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum
Presiden
dan Wakil Presiden,
Lembaran
Negara Republik
Indonesia tahun 2008 tambahan atas lembaran.
4. Undang-Undang
Nomor 42 Tahun
2008
Tentang Pemilihan Umum
Presiden
dan Wakil Presiden,
Lembaran Negara Republik.
5. Undang-Undang
tahun nomer 8 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang 24 tahun 2003
tentang mahkamah konstitusi.
6. http://nasional.kompas.com/read/ 2014/ 01/ 24/ 0320388/ Yusril Putusan MK soal. Pemilu. Serentak. Sebabkan. Kevakuman. Hukum. diakses tanggal, 16 Oktober 2017.
7. http://nasional.kompas.com/read/ 2014/
01/ 24/ 0320388/ Yusril. Putusan. MK. soal. Pemilu. Serentak. Sebabkan. Kevakuman. Hukum. diakses: tanggal, 16 Oktober
2017.
[2] 2H.F. Abraham Amos, Katastropi Hukum dan
Quo Vadis Sistem Politik Peradilan Indonesia, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2007, hlm. 226.
[4] 4Ibid. hlm. 56.
[7] 25http://pjminews.com/index.php?page=artikel&id=368, diakses,
tanggal, 10 Oktober 2014.
Komentar
Posting Komentar