makalah fiqh muamalah waqaf, sedekah, hibah
OLEH:
MAULIDA MAULAYA HUBBAH
PRODI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS HUKUM ISLAM
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr. wb.
Puji syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan yang Maha
Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya, kami dapat
menyelesaikan makalah yang membahas tentang “Waqaf, Hibah dan Sedekah” makalah
ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini.
Tiada hal sempurna terlahir dari ciptaan
manusia, oleh karenanya apabila ditemui banyak kesalahan baik yang penulis
sengaja ataupun tidak, penulis memohon maaf atas hal tersebut.
Kemudian kami sampaikan Terima kasih
yang begitu sangat kepada Ibu Zainul
Hakim M.Pd.I sebagai dosen pembimbing mata kuliah Fiqh Muamalah Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Jember
yang telah membimbing dan mengajari penulis hingga saat ini.
Demikian pengantar yang dapat kami
sampaikan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat, Akhir kata, kami sampaikan
terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan
makalah ini dari awal sampai akhir.
Wassalamu’alaikum wr.wb…....
5
- Desember - 2017
Penulis,
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1
Waqaf
2.2 Hibah
2.3 Sedekah
2.3 Sedekah
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Allah menciptakan manusia hidup
berdampingan satu dengan yang lain. Memberikan insting dalam hati serta
akal untuk berfikir, membedakan mana yang baik dan buruk serta untuk
meningkatkan peribadatan kepada tuhan yang maha ESA.
Untuk itulah, kemudia manusia tak hanya
fokus secara vertikal kepada Sang Ilahi namun Ibadah juga mampu diaplikasikan
atau diterapkan kepada sesama secara horizontal.
Kepedulian terhadap sesama dengan niat
dan tata cara syar’i sesuai dengan syara’ akan bernilai pahala. Dengan
memberikan apa yang kita punya juga merupakan bentuk penerapan dari hal
tersebut.
Untuk
itulah penulis tertarik untuk membahas seulas mengenai Waqaf, Hibah dan Sedekah yang
akan kami bahas berikutnya.
1.2.
Rumusan Masalah.
Berdasarkan hal-hal yang diuraikan di
atas maka permasalahan yang dirumuskan dalam permasalahan ini adalah sebagai
berikut:
1.
Apa dan
bagaimana waqaf dalam fiqh muamalah?
2.
Apa dan
bagaimana hibah dalam fiqh muamalah?
3.
Apa dan
bagaimana sedekah dalam fiqh muamalah?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Waqaf
Wakaf berasal dari waqf yang berarti radiah (terkembalikan),
al-tahbis (tertahan), al-tasbil tertawan) dan al-man’u (mencegah). Hal ini sebagaimana yang tercatat dalam kitab
karangan Muhammad al-Syarbini al-Khatib, al-‘Iqna fi
Hal al-Alfadz Abi Syuza.
Kata “Waqaf” berasal dari bahasa Arab “Waqafa”
yang berarti “menahan”atau berhenti atau “diam di tempat atau tetap berdiri”.
Kata “waqafa-yaqifu-waqfan” sama artinya dengan “habasa-yahbisu-tahbisan” kata
al-Waqf dalam bahasa Arab mengandung beberapa pengertian:
الوقف
بمعنى التحبيس والتسبيل
Artinya: menahan, menahan harta untuk diwaqafkan,
tidak dipindah milikkan.[1]
Sedangkan menurut istilah atau Syara’, ialah menahan
sesuatu benda yang kekal zatnya, untuk diambil manfaatnya untuk kebaikan dan
kemajuan Islam. Menahan suatu benda yang kekal zatnya, artinya tidak dijual dan
tidak diberikan serta tidak pula diwariskan, tetapi hanya disedekahkan untuk
diambil manfaatnya saja.
Ada
beberapa pengertian tentang wakaf antara lain:
Pengertian wakaf menurut mazhab syafi’i dan hambali
adalah seseorang menahan hartanya untuk bisa dimanfaatkan di segala bidang
kemaslahatan dengan tetap melanggengkan harta tersebut sebagai taqarrub kepada
Allah ta’alaa.
Pengertian
wakaf menurut imam Abu Hanafi adalah menahan harta-benda atas kepemilikan orang
yang berwakaf dan bershadaqah dari hasilnya atau menyalurkan manfaat dari harta
tersebut kepada orang-orang yang dicintainya. Berdasarkan definisi dari Abu
Hanifah ini, maka harta tersebut ada dalam pengawasan orang yang berwakaf
(wakif) selama ia masih hidup, dan bisa diwariskan kepada ahli warisnya jika ia
sudah meninggal baik untuk dijual atau dihibahkan.[2]
Pengertian
wakaf menurut mazhab Maliki adalah memberikan sesuatu hasil manfaat dari harta,
dimana harta pokoknya tetap/lestari atas kepemilikan pemberi manfaat tersebut
walaupun sesaat.
Pengertian wakaf menurut Peraturan Pemerintah / PP No.41
tahun 2004 adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan sebagian benda
miliknya, untuk dimanfaatkan selamanya atau dalam jangka waktu tertentu sesuai
kepentingannya guna keperluan ibadah atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Dari
definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa wakaf itu termasuk salah satu
diantara macam pemberian, akan tetapi hanya boleh diambil manfaatnya, dan
bendanya harus tetap utuh. Oleh karena itu, harta yang layak untuk diwakafkan
adalah harta yang tidak habis dipakai dan umumnya tidak dapat dipindahkan,
misalnya tanah, bangunan dan sejenisnya. Utamanya untuk kepentingan umum,
misalnya untuk masjid, mushala, pondok pesantren, panti asuhan, jalan umum, dan
sebagainya.
Hukum
wakaf sama dengan amal jariyah. Sesuai dengan jenis amalnya maka berwakaf bukan
sekedar berderma (sedekah) biasa, tetapi lebih besar pahala dan manfaatnya
terhadap orang yang berwakaf. Pahala yang diterima mengalir terus menerus
selama barang atau benda yang diwakafkan itu masih berguna dan bermanfaat.
Hukum wakaf adalah sunah. Ditegaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam
jama’ah kecuali Bukhari dan Ibnu Majah dari Abi Hurairah r.a. Sesungguhnya Nabi
SAW bersabda:
اذا مات ابن ادم انقطع عمله الا من ثلث: صدقة
جارية او علم ينتفع به او ولد صالح يدعوله (رواه مسلم)
Artinya: “Apabila anak Adam meninggal dunia maka
terputuslah semua amalnya, kecuali tiga (macam), yaitu sedekah jariyah (yang
mengalir terus), ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shaleh yang mendoakannya.”
Harta yang diwakafkan tidak boleh dijual, dihibahkan atau
diwariskan. Akan tetapi, harta wakaf tersebut harus secara
terus menerus dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum sebagaimana maksud
orang yang mewakafkan. Hadits Nabi yang artinya: “Sesungguhnya Umar telah
mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Umar bertanya kepada Rasulullah SAW;
Wahai Rasulullah apakah perintahmu kepadaku sehubungan dengan tanah tersebut?
Beliau menjawab: Jika engkau suka tahanlah tanah itu dan sedekahkan manfaatnya!
Maka dengan petunjuk beliau itu, Umar menyedekahkan tanahnya dengan perjanjian
tidak akan dijual tanahnya, tidak dihibahkan dan tidak pula diwariskan.”(HR
Bukhari dan Muslim).
2.1.1 Syarat dan Rukun Waqaf
Secara umum waqaf memiliki syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Wakaf tidak dibatasi
dengan waktu tertentu sebab perbuatan wakaf berlaku untuk selamanya, tidak
untuk waktu tertentu. Bila seseorang mewakafkan kebun untuk jangka
waktu 10 tahun maka wakaf tersebut batal.
2.
Tujuan
wakaf harus jelas, seperti mewakafkan sebidang tanah untuk masjid, mushala,
makam, pasar Islam, kuttab dan lain-lain. Namun apabila seseorang mewakafkan
sesuatu tanpa menyebut tujuannya, hal itu dipandang sah sebab penggunaan
benda-benda wakaf tersebut menjadi wewenang lembaga/orang yang menerima harta-harta
wakaf tersebut.
3.
Wakaf harus segera
dilaksanakan setelah dinyatakan oleh yang mewakafkan tanpa digantungkan pada
peristiwa yang akan terjadi di masa yang akan datang sebab pernyataan wakaf
berakibat lepasnya hak milik bagi yang mewakafkan.
4.
Bila
wakaf digantungkan dengan kematian yang mewakafkan, ini bertalian dengan wasiat
dan tidak bertalian dengan wakaf. Dalam pelaksanaan seperti ini, berlakukan
ketentuan-ketentuan yang bertalian dengan wasiat.
5.
Wakaf merupakan perkara
yang wajib dilaksanakan tanpa adanya hak khiyar (membatalkan atau melangsungkan
wakaf yang telah dinyatakan) sebab pernyataan wakif berlaku seketika dan untuk
selamanya.[3]
Adapun Rukunnya:
1.
Wakif
(orang yang berwakaf)
Syarat
wakif ialah mempunyai kecakapan melakkukan tabarru yaitu melepaskan hak milik
tanpa imbalan materi. Orang yang dikatakan cakap bertindak tabarru adalah
baligh, berakal sehat dan tidak terpaksa.
Dalam
fiqih ada istilah baligh dan rasyid. Perbedaannya, baligh dititikberatkan pada
umur sedangkan rasyid pada kematangan pertimbangan akal, maka akan dipandang
tepat bila dalam cakap tabarru disyaratkan rasyid, yang dapat ditentukan dengan
penyelidikan.
2.
Mauquf
(harta yang diwakafkan)
Syarat
yang berkaitan dengan harta wakaf (mauquf) merupakan harta yang bernilai, milik
yang mewakafkan (waqif) dan tahan lama untuk digunakan. Harta wakaf dapat juga
berupa uang yang dijadikan modal, kepemilikan usaha dan lain-lain.
Hal
yang penting pada harta yang berupa modal ialah dikelola dengan sedemikian rupa
(semaksimal mungkin) sehingga mendatangkan kemaslahatan atau keuntungan.
3.
Mauquh
‘alaih (tujuan wakaf)
Syarat
mauquf ‘alaih (tujuan wakaf) harus sejalan (tidak bertentangan) dengan
nilai-nilai ibadah sebab wakaf merupakan salah satu perbuatan ibadah. Harta
wakaf harus segera dapat diterima setelah wakaf diikrarkan. Hendaklah ada
lembaga/orang yang menerima harta wakaf.
4.
Shighat
wakaf (pernyataan wakaf)
Syarat-syarat
shighat wakaf ialah dengan lisan, tulisan ataupun dengan isyarat. Wakaf
dipandang telah terjadi apabila ada pernyataan wakif (ijab), sedangkan kabul
dari mauquf ‘alaih tidaklah diperlukan. Isyarat hanya boleh dilakukan bagi
wakif yang tidak mampu dengan lisan dan tulisan.
2.1.2 Macam-Macam Waqaf
Menurut para ulama secara umum wakaf dibagi menjadi 2 bagian :
a.
Wakaf
ahli (khusus)
Wakaf
ahli disebut juga wakaf keluarga. Maksud wakaf ahli ialah wakaf yang ditujukan
kepada orang-orang tertentu seperti kerabat, saudara, anak, cucu, seorang atau
lebih, baik keluarga wakif maupun orang lain. Misalnya seseorang mewakafkan
buku-buku yang ada di perpustakaan pribadinya untuk turunannya yang mampu
menggunakan.
Wakaf
semacam ini dipandang sah dan yang berhak menikmati harta wakaf itu adalah
orang-orang yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf. Masalah yang akan timbul
dalam wakaf ini apabila keturunan atau orang-orang yang ditunjuk tidak ada lagi
yang mampu mempergunakan benda-benda wakaf, mungkin juga yang ditunjuk untuk
memanfaatkan benda-benda wakaf telah punah. Bagaimana nasib harta wakaf
tersebut?
Bila
terjadi hal-hal tersebut, dikembalikan pada syarat umum yaitu wakaf tidak boleh
dibatasi dengan waktu. Dengan demikian meskipun orang-orang yang dinyatakan
berhak memanfaatkan benda-benda wakaf telah punah, buku-buku tersebut tetap
berkedudukan sebagai benda wakaf yang digunakan oleh keluarga jauh atau bila
tidak ada lagi, digunakan oleh umum.
b.
Wakaf
khairi (umum)
Wakaf
khairi ialah wakaf yang sejak semula ditujukan untuk kepentingan umum dan tidak
ditujukan kepada orang-orang tertentu. Wakaf khairi inilah yang benar-benar
sejalan dengan amalan wakaf yang amat digembirakan dalam ajaran Islam yang
dinyatakan pahalanya akan terus mengalir hingga wakif wafat, selama harta/benda
wakaf tersebut masih dapat diambil manfaatnya.
2.1.3 Hikmah dan Manfaat Waqaf Bagi Kehidupan
Manfaat
wakaf dalam kehidupan dapat dilihat dari segi hikmahnya. Setiap peraturan yang
disyariatkan Allah Swt kepada makhluknya baik berupa perintah atau larangan
pasti mempunyai hikmah dan ada manfaatnya bagi kehidupan manusia, khususnya
bagi umat Islam. Manfaat itu bisa dirasakan ketika hidup sekarang maupun
setelah di akhirat nantinya yaitu berupa pahala (didasarkan pada janji Allah).
Ibadah wakaf
yang tergolong pada perbuatan sunnat ini banyak sekali hikmahnya yang
terkandung di dalam wakaf ini.
Pertama, harta benda yang diwakafkan dapat tetap
terpelihara dan terjamin kelangsungannya. Tidak perlu khawatir barangnya hilang
atau piindah tangan, karena secara prinsip barang wakaf tidak boleh
ditassarrufkan, apakah itu dalam bentuk menjual, dihibahkan, atau diwariskan.
Kedua, pahala dan
keuntungan bagi si wakif akan tetap mengalir walaupun suatu ketika ia telah
meninggal dunia, selagi benda wakaf itu masih ada dan dapat dimanfaatkan.
Ketiga, wakaf
merupakan salah satu sumber dana yang sangat penting manfaatnya bagi kehidupan
agama dan umat. Antara lain untuk pembinaan mental spritual dana pembangunan
dari segi fisik.
Wakaf disamping mempunyai nilai ibadah, sebagai tanda syukur
seorang hamba atas nikmat yang telah di anugerahkan Allah Swt, juga berfungsi
sosial. Dengan wakaf, di samping dana-dana sosial lainnya, kepincangan di antara
kelompok yang berbada dan yang tidak berada dapat dipertipis atau jurang antara
si miskin dan si kaya dapat di prtipis dan di hilangkan terutama dalam bentuk
wakaf yang dikhususkan kepada kelompok yang tidak mampu. Dengan wakaf itu juga,
penyediaan sarana dan prasarana ibadah, pendidikan, seperti mesjid, mushalla
dan gedung-gedung pendidikan akan lebih memugkinkan dengan menggunakan potensi
wakaf yang ada.
Hikmah wakaf
kata Ahmad Jarjawi, dapat membantu pihak yang miskin, baik miskin dalam artian
ekonomi maupun tenaga. Silain pihak juga bertujuan unutk meningkatkan
pembangunan keagamaan. Di samping itu hikmah lain adalah dapat membentuk jiwa
sosial di tengah-tengah masyarakat. Dapat juga mendidik manusia agar mempunyai
tenggang rasa terhadap sesamanya.
Dampak positif langsung dari ibadah wakaf itu akan membentuk tali
hubungan yang errat antara si wakif dan maukuf ‘alaih atau anatara si kaya dan
si miskin sehingga terciptalah rasa kesetiakawanan sosial.
Melalui ibadah wakaf dua belah pihak memperoleh manfaatnya, baik
bagi si wakif (orang yang berwakaf) maupun bagi si maukuf’alaih (orang yang
menerima wakaf). Bagi si wakif dari segi agama mendapat pahala sedangkan maukuf’alaih
terlepas dari kesulitan. Bahkan mampu menjadi sumber dana umat Islam untuk
mengembangkan dakwah Islamiyah, tentu dengan mendayagunakan harta wakaf secara
optimal.
Dangan demikian dapat diketahui bila wakaf itu dijalankan atau
dilakukan menurut semestinya akan meningkatkan rasa sosial di tengah-tengah
masyarakat sehingga terbentuklah atau terjalinlah hubungan yang harmonis antara
si kaya dengan si miskin. Begitu juga sebaliknya dengan si miskin akan timbul
rasa syukur kepada Allah Swt yang telah memberikan rezeki kepadanya, disamping
itu akan timbul rasa hormat kepada si kaya yang telah menolongnya.
Akhirnya timbul sinar keimanan bagi setiap individu dan
terhindarlah dari segala perpecahan dan perselisihan di antara anggota
masyarakat. Memng inilah yang di harapkan dan menjadi sasaran dari ajaran agama
Islam.
Maka dapat
dirumuskan secara sederhan beberapa hal keutamaan wakaf, sebagai berikut :
1. Melalui wakaf seseorang dapat menumbuhkan sifat zuhud dan melatih
seseorang untuk saling membantu atas kepentingan orang lain.
2. Dapat menghidupkan lembaga-lembaga sosial keagamaan maupun kemasyarakatan untuk mengembangkan potensi
umat.
3. Menanamkan kesadaran bahwa di dalam setiap harta benda itu meski
telah menjadi milik seseorang yang secara sah, tetapi masih ada di dalamnya
harta agama yang mesti diserahakan sebagaimana halnya zakat.
4. Menyadarkan seseorang bahwa kehidupan di akhirat memerlukan
persiapan yang cukup. Maka persiapan itu di antaranya wakaf, sebagai tabung
akhirat.
5. Keutamaan lain, dapat penopng dan penggerak kehidupan sosial
kemasyarakatan umat Islam, baik aspek ekonomi, pendidikan, sosial budaya dan
lainnya.
2.2.
Pengertian Hibah
Secara etimologi, Hibah berarti
pemberian atau hadiah. Pemberian ini dilakukan secara sukarela dalam
mendekatkan diri kepada Allah, tanpa mengharapkan balasan apapun. Ada dua definisi yang dikemukakan para ulama.
Yang pertama jumhur ulama mendefinisikannya
dengan “Akad yang mengakibatkan pemilikan harta, tanpa ganti rugi, yang
dilakukan seseorang dalam keadaan hidup kepada orang lain secara sukarela.”. Maksudnya Hibah itu
merupakan pemberian sukarela seseorang
kepada orang lain, tanpa ganti rugi yang mengakibatkan berpindahnya pemilikan
harta itu dari pemberi kepada orang yang diberi. Definisi yang lebih rinci dan komprehensif
dikemukakan ulama Hanabillah yaitu : “pemilikan harta dari seseorang kepada
orang lain yang mengakibatkan orang yang diberi boleh melakukan tindakan hukum
terhadapharta itu, baik harta itu tertentu atau tidak, bendanya ada dan boleh
diserahkan yang penyerahannya dilakukan ketika pemberi masih hidup, tanpa
mengharapkan imbalan”.
Kedua definisi
ini sama-sama mengandung makna pemberian harta kepada seseorang secara langsung
tanpa mengharapkan imbalan apapun, kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Hibah sebagai salah satu bentuk tolong menolong dalam rangka kebajikan antara
sesama manusia sangat bernilai positif. [4]
Para ulama fiqh sepakat mengatakan bahwa hukum
hibah dalah sunat berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nisa’(4:4) yang
artinya “... kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu...”,
ada juga dalam surat al-Baqarah (2:177)
dan sabda Rasulullah SAW yang artinya “saling memberi hadiahlah
kemudian saling mengasihi” (HR al-Bukhari, an-Nasa’i, al-Hakim, dan
al-Baihaqi). Baik ayat maupun hadis
tersebut, menurut jumhur ulama menunujukkan hukum anjuran untuk saling tolong
menolong dan saling bantu antar sesama manusia. Oleh sebab itu, Islam sangat
menganjurkan seseorang yang mempunyai kelebihan harta untuk menghibahkannya
kepada orang yang memerlukan.
2.2.1
Rukun Hibah
Menurut ulama Hanafiah, rukun hibah
adalah ijab dan qabul sebab keduanya termasuk akad seperti halnya jual-beli.
Dalam kitab Al-Mabsuth, merekan menambahkan dengan qadbhu (pemegangan/penerimaan). Alasannya,
dalam hibah harus ada ketetapan dalm kepemilikan. Sebagian ulam Hanafiah
berpendapat bahwa qabul dari penerima hibah bukanlah rukun. Dengan demikian,
dicukupkan dengan adanya ijab dari pemberi. Hal hibah menurut bahasa adalah
sekedar pemberian. Selain itu, qabul hanyalah dampak dari adanya hibah yakni
pemidahan hak milik. Menurut jumhur ulama, rukun hibah ada empat yaitu:
1.
Wahib (pemberi)
yaitu pemberi hibah yang menghibahkan barang miliknya.
2.
Mauhub lan (penerima)
yaitu penerima hibah .
3.
Mauhub yaitu barang yang dihibahkan.
4.
Shighat (ijab dan qabul) yaitu segala sesuatu yang
dapat dikatakan ijab dan qabul.
Ijab dapat
dilakukan secara sharih, seperti berkata “saya hibahkan benda ini kepadamu”,
atau tidak jelas, yang tidak akan lepas dari syarat, waktu, dan manfaat. [5]
1.
Ijab disertai waktu (umuri) seperti
perkataan “saya berikan rumah ini selama saya hidup atau selama kamu hidup”
pemberian seperti itu sah sedangkan syarat waktu tersebut batal.
2.
Ijab disertai syarat (penguasaan)
seperti perkataan “Rumah ini untukmu, secara raqabi (saling menunggu
kematian, jika pemberi meninggal terlebih dahulu, maka barang miliknyalah yang
diberi. Sebaliknya, jika penerima meninggal dahulu maka barang kembali pada
pemilik), pemberian seperti itu, hibahnya batal, tetapi dipandang sebagai
pinjaman.
3.
Disertai syarat kemanfaatan seperti
pernyataan “Rumah ini untuk kamu dan tempat tinggal saya”. Ulama
Hanafiah berpendapat bahwa pernyataan itu bukan hibah tetapi pinjaman. Adapun
pernyataan “Rumah ini untuk kamu dan kamu tinggali” pernyataan ini
disebut hibah.
2.2.2 Syarat Hibah
Syarat hibah berkaitan dengan syarat wahib dan
maudhub. Ulama Hanabillah menetapkan sebelas (11) syarat yaitu:
1.
Hibah dari harta yang boleh di-tasharruf-kan.
2.
Terpilih dan sungguh-sungguh.
3.
Harta yang diperjual-belikan.
4.
Tanpa adanya pengganti.
5.
Orang yang sah memilikinya.
6.
Sah menerimanya.
7.
Walinya sebelum pemberi dipandang
cukup waktu.
8.
Menyempurnakan pemberian.
9.
Tidak disertai syarat waktu.
10.
Pemberi sudah dipandang mampu tasharruf (merdeka, mukallaf, dan rasyid).
11.
Mauhub harus berupa harta yang
khusus dikeluarkan.
a.
Syarat Wahib (pemberi)
Wahib
disyaratkan harus berakal, baligh, rasyid(pintar).
b.
Syarat Mauhub (barang)
Harus ada
waktu hibah, Harus berupa harta yang kuat dan bermanfaat, Milik sendiri, Menyendiri,
Mauhub terpisah dari orang lain, Mauhub terlah diterima atau dipegang oleh
penerima, Penerima memegang hibah atas seizin wahib.[6]
2.2.3
Hukum (Ketetapan) Hibah
1.
Hukum Hibah ~ dasar dari ketetapan
hibah adalah tetapnya barang yang dihibahkan bagi mauhublah (penerima hibah)
tanpa adanya pengganti.
2.
Sifat Hukum Hibah ~ ulama Hanafiah
berpendapat bahwa sifat kepemilikan pada hibah adalah tidak lazim. Dengan
demikian, dapat dibatalkan oleh pemberi sebagaimana disebutkan dalam sabda
Rasulullah SAW. Dari Abu Hurairah : “pemberi hibah lebih berhak atas barang
yang dihibahkan selama tidak ada pengganti”. (HR. Ibnu Majah dan
Daruquthni). Dengan demikian, dibolehkan mengembalikan barang yang telah
dihibahkan. Akan tetapi, dihukumi makruh sebab perbuatan itu termasuk menghina
si pemberi hibah. Selain itu yang diberi hibah harus ridha. Hal itu diibaratkan
adanya cacat dalam jual-beli setelah barang dipegang pembeli.
Ulama Hanafiah
berpendapat ada 6 perkara yang melarang wahib mengembalikan barang yang telah
dihibahkan, yaitu:
1.
Penerima memberikan ganti ~
pengganti yang disyaratkan dalam akad dan pengganti yang diakhirkan.
2.
Penerima maknawi ~ pahala dari
Allah, pemberian dalam rangka silaturrahmi, pemberian dalam hubungan
suami-istri.
3.
Tambahan yang ada pada barang yang
diberikan yang berasal dari pekerjaan orang yang diberi hibah.
4.
Barang yang telah keluar dari
kekuasaan penerima hibah seperti dijual kepada orang lain.
5.
Salah seorang yang akad meninggal.
6.
Barang yang dihibahkan rusak.
Ulama
Malikiyah berpendapat bahwa barang yang telah diberikan jika sudah dipegang
tidak boleh dikembalikan, kecuali pemberian orang tua kepada anaknya yang masih
kecil, jika belum bercampur dengan hak orang lain, seperti nikah atau anak
tersebut tidak memiliki hutang. Ulama Hanabillah dan Syafi’iyah berpendapat
bahwa hibah tidak dapat dikembalikan, kecuali pemberian orangtua kepada
anaknya.[7]
2.3 Pengertian
Sedekah
Sedekah asal
bahasa Arab shadaqoh yang berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seorang
muslim kepada orang lain secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu
dan jumlah tertentu. Juga berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang
sebagai kebajikan yang mengharap ridho Allah SWT. dan pahala semata.[8]
2.3.1 Hukum Sedekah
Sedekah dibolehkan pada setiap waktu dan
disunahkan berdasarkan Al-Quran dan As-Sunah, diantaranya:
a.
Al-Quran
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Artinya:
“Siapakah yang mau memberi pinjaman
kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka
Allah akan memperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang
banyak”.(QS. 2:245)
b.
As-Sunah
عَنْ سَعِيدْ بِنْ خَالِدْ عَنْ حَارِثَةْ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَمْ يَقُوْلُ : تَصَدَّ قُوْا فَإِنَّهُسَيَأْتِيْ عَلَيْكُمْ زَمَانٌ يَمْشِيْ الرَّجُلُ بِصَدَقَتِهِ فَيَقُوْلُ الَّذِيْ يَعْطَاهَا لَوْ جِئْتَ بِهَا بِاْلَا مْسِ لَقَبِلْتُهَا فَأًمَّا اْليَوْمَ فَلَا حَاجَةَ لِىْ بِهَا (أخرجه البخاري والنسائ)
Artinya:
“Dari Said bin Kholid bin Kharisah,
Rosuluallah SAW bersabda: Bersedekahlah
kamu, karena sungguh akan datang suatu masa yang pada masa itu seorang
laki-laki pergi membawa sedekah, lalu tidak ada orang yang mau menerimanya,
lalu berkatalah orang yang mau diberi sedekah: sekiranya kamu membawa sedekahmu
kemarin, tentulah aku menerimanya. Adapun pada hari ini aku tidak
membutuhkannya lagi”.(HR.Bukhari dan Nasai) Orang yang Berhak Menerima Sedekah.
Diantara orang-orang yang berhak
menerima sedekah adalah:
a.
Orang-orang yang
saleh atau orang-orang yang ahli dalam kebaikan.
b.
Orang yang
paling dekat.
c.
Orang yang
sangat membutuhkan.
d.
Orang kaya,
keturunan bani Hasyim, orang kafir, dan orang fasik.[9]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari paparan penulis secara singkat diatas,
kiranya penulis menyimpulkan sebagai jawaban dari rumusan masalah yang
termaktub diatas :
1.
Waqaf ialah menahan sesuatu
benda yang kekal zatnya, untuk diambil manfaatnya untuk kebaikan dan kemajuan
Islam. Menahan suatu benda yang kekal zatnya, artinya tidak dijual dan tidak
diberikan serta tidak pula diwariskan, tetapi hanya disedekahkan untuk diambil
manfaatnya saja.dengan syarat dan rukun yang telah ditentukan serta memiliki
manfaat dalam melakukannya di kehidupan.
2.
Hibah
berarti pemberian atau hadiah. Pemberian ini dilakukan secara sukarela dalam
mendekatkan diri kepada Allah, tanpa mengharapkan balasan apapun. Adapun hibah telah
ditentukan hukum, syarat dan ketentuan lainnya.
3.
Sedekah asal bahasa Arab shadaqoh yang berarti suatu pemberian yang
diberikan oleh seorang muslim kepada orang lain secara spontan dan sukarela
tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu. Juga
berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang sebagai kebajikan yang
mengharap ridho Allah SWT. dan pahala semata.
DAFTAR
PUSTAKA
Haroen, Nasrun. 2007. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Syafe’i, Rachmat. 2004.
Fiqh Muamalah. Bandung: CV Pustaka Setia.
Syarbini, Amirullah. 2011. The Miracle Of Ibadah. Bandung: Fajar Media.
Direktorat Pemberdayaan Waqaf. 2007. Fiqih
Waqaf. Jakarta: Departemen Agama RI
Halim, Abdul. 2005. Hukum Perwaqafan di
Indonesia. Ciputat: Ciputat Press
Al-Qur’an dan Terjemah https://www.google.co.id/amp/s/blogmuamalah.wordpress.com/2010/09/21/fiqih-muamalah-bab-5-wakaf/amp/ diakses tgl 5 Desember 2017
http://rezanurhidayat29.blogspot.co.id/2013/05/makalh-fiqih-wakaf.html?m=1 diakses tgl 19 November 2017
Komentar
Posting Komentar